Seorang Laki-laki terbangun di lautan luas di tengah terik matahari . Dia tampak mengerjap- ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan diri dari terpaan sinar matahari. Terdengar derap ombak membelai permukaan laut , sementara terik matahari membakar tubuhnya. Dalam kebingungannya, pandangannya terfokus pada kejernihan biru laut yang tak berujung, tanpa tanda-tanda kehidupan di sekitarnya.
Kepalanya terasa berat, mengingatkannya pada rasa perih yang melintas seperti kilat. Rasa perih itu semakin menusuk-nusuk kulit kepalanya , tapi dia tidak ingat apa yang menyebabkan kepalanya bisa terasa begitu perih, mungkin karena terantuk batu karang saat dia terombang-ambing di tengah lautan luas , itu pikiran yang muncul di benak lelaki itu. Lelaki itu tampak binggung menatap ke sekeliling air yang mengelilinginya. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa berada di lautan luas ini. Dia sama sekali tidak ingat bagaimana dia bisa terjatuh dan mengapung sendirian di lautan luas tanpa batas ini. Dia melihat keadaan dirinya yang berpegangan pada sebuah gallon air bekas supaya tidak tenggelam. Gallon ini, sepertinya adalah juru selamat baginya. Lelaki ini juga tidak ingat, sudah berapa lama dia terapung di lautan ini, dia hanya bisa merasakan bibirnya dan mulutnya yang kering. Dia juga sudah tidak ingat berapa kali dia pingsan dan terjaga, bagai gelombang yang tak terduga, perasaannya terombang-ambing di antara harapan dan ketakutan. Dalam kondisi yang melumpuhkan ini, dia terjebak dalam siklus yang tak berujung, pterjaga hanya untuk kembali terlelap, menyisakan jejak-jejak kebingungan dan keputusasaan yang semakin dalam. Tidak ada petunjuk, tidak ada sinyal, hanya langit biru dan lautan luas yang terpampang di pelupuk matanya.
Dia mencoba menjerit untuk minta pertolongan ,tapi suaranya tidak keluar. Tubuhnya terlalu lemah tak berdaya, bahkan untuk meneriakkan kata-kata TOLONG !!!!
Apa yang harus aku lakukan? Lelaki itu berpikir sambil kembali mencoba memandang ke sekeliling. Saat ini dia sepertinya berada sangat jauh dari daratan, sepanjang matanya memandang hanya nampak air laut berwarna biru yang tampak tenang.
Aku harus menyimpan tenagaku. Aku harus bisa sampai ke daratan. Aku tidak boleh melawan arus, biarkan arus ini membawaku ke daratan yang terdekat , agar aku bisa mendapat pertolongan. "Harus bertahan. Harus," gumamnya kepada dirinya sendiri, suaranya hampir terbawa angin. Namun, tekadnya tetap teguh. Mengumpulkan setiap serpihan kekuatan yang tersisa, ia memusatkan pikirannya pada satu tujuan: bertahan sampai bantuan datang atau arus laut membawanya ke daratan.
Tapi akankah ada bantuan yang datang dari kapal yang lewat . Akankah arus laut membawanya ke daratan? Akankah dia selamat, atau belum sampai daratan saja, dia sudah mati tenggelam diterjang ombak atau mati dimakan hiu. Lelaki itu menghela nafas dan menutup matanya kembali. Tubuhnya terasa letih, namun tekadnya tetap berapi-api. Dalam keterbatasan yang tak terelakkan, lelaki itu kembali terlelap, tubuhnya seperti lumpuh dalam kedalaman samudera yang tak kenal belas kasihan. Keheningan laut menjadi pengantar dalam tidurnya yang tak pasti, sementara dia terus terombang-ambing dalam lautan yang membisu.
Di sore yang sama, nun jauh di seberang lautan, seorang wanita, berkulit gelap nan eksotis dengan rambut panjang di ekor kuda tampak terjun ke lautan luas, berenang gaya bebas menghampiri pulau-pulau kecil berkarang untuk memeriksa perangkap lobster yang telah di taruhnya, di sekeliling karang. Wanita ini berharap ada lobster yang masuk ke perangkapnya, biar hatinya sedikit senang, setelah seminggu ini, hatinya gundah gulana karena ibu tercintanya harus dirawat di rumah sakit. Ibu wanita ini di rawat karena jatuh dari tangga saat hendak mengganti bohlam di kamar mandi.
Dia menapak kaki jenjangnya ke pulau karang itu dan menarik perangkap lobster yang terbuat dari jaring di sisi karang bagian dalam. Jaring pertama,nihil tanpa ada satu lobsterpun yang terjebak di dalamnya. Dia berjingkat-jingkat menuju ujung karang di sisi yang berbatasan dengan lautan luas, biasanya perangkap lobster yang berada di sisi pulau ini, pasti akan berhasil memerangkap lobster Mutiara yang berharga ratusan ribu sekilonya. Wanita berkaki jenjang ini pun menunduk dan tangannya terulur menarik jaring kedua . Jerit kesenangan langsung terdengar dari mulut tipis wanita ini
“ Hello , My green baby.. maafkan aku ya, kamu hari ini harus ikut aku dan berpisah dari teman-temanmu. ” Katanya kepada lobster berwarna hijau dengan bintik-bintik di sekujur tubuhnya. Perlahan dengan lembut dia mengeluarkan lobster itu dari jaring-jaring, agar kakinya tetap utuh dan agar lobster itu bisa tetap bertahan hidup karena harga lobster hidup itu lebih bernilai dibandingkan dengan lobster yang sudah mati. Meskipun jaringnya bukan memerangkap jenis lobster Mutiara seperti keinginannya tapi lobster hijau ini, harganya juga tidak murah dan ukuran di dapatnya kali ini cukup besar untuk boleh di jual. Ada peraturan dari pemerintah Indonesia, sejak zaman Mentri kelautan dan Perikanannya Ibu Susi, hanya lobster dengan berat di atas 200 gram baru boleh di tangkap untuk jual, kalau nelayan mendapatkan lobster dengan ukuran di bawah itu, harus dikembalikan ke laut agar lobster-lobster itu bisa berkembang biak.
Saat dengan lembut mengeluarkan lobster hijau itu, tiba-tiba mata sang wanita tertumpu pada benda putih yang terombang-ambing di laut. Dia menatap dengan heran? Apakah itu manusia? Atau hanya plastic bekas yang dilempar ke lautan oleh orang-orang tak bertanggung jawab? Mungkin itu hanya plastic besar berwarna putih, mana mungkin ada manusia terapung-apung sampai ke Pulau kecil milikku ini. Pulau kecil milikku ini terletak di dekat Pulau Weh atau lebih dikenal dengan Pulau Sabang yang merupakan pulau vulanik kecil yang berasa sebelah barat Indonesia.
Wanita itu memicingkan matanya agar bisa melihat lebih jelas.Tiba-tiba ombak besar datang menghantam pulau karang , membuat wanita itu harus mundur dari tepi karang. Ombak-ombak yang bergulung-gulung melambai riuh rendah, memenuhi lautan luas ini dengan gemuruh yang tak kenal henti. Angin bertiup kencang, menerpa wajah wanita manis ini, sesekali membawa butiran air laut yang menari-nari di udara sebelum jatuh kembali ke samudera. Langit biru yang tadi cerah kini berubah menjadi mendung, awan-awan hitam menggelayut, memprediksi hujan bakal segera turun . Saat ombak mereda, benda putih itu menjadi sangat dekat dengan pulau karang sehingga tampak jelas benda itu adalah sesosok pria yang bergelantungan di sebuah gallon air dan pria itu tampak lemas tidak sadarkan diri.
“ Oh NO…” Wanita itu menjerit lalu terjun secepat kilat ke dalam lautan untuk menolong lelaki tak berdaya itu, dia melupakan lobster hijau berbintiknya yang masih tergeletak di keranjang di ujung pulau karang, dia mengabaikan titik-titik hujan yang mulai jatuh ke lautan. Dalam benaknya hanya ada satu tujuan untuk menyelamatan lelaki tak berdaya itu.
Wanita itu berenang dengan gesit menerobos ombak besar yang datang silih berganti sehingga kadang membuat lelaki ini menjauh darinya. Kayuh tangannya semakin kuat agar dia bisa mencapai lelaki ini. Dengan ketrampilannya berenang dan kekuatan otot lengannya akhirnya dia berhasil menggapai lelaki tak sadarkan diri itu lalu dengan sekuat tenaga dia menarik lelaki itu menuju daratan. Semoga lelaki ini belum mati. Semoga lelaki ini bisa diselamatkan, doa wanita ini saat berhasil menarik lelaki tak berdaya ini ke bibir pantai.
Dia masih mencoba menyambung nafasnya yang terengah engah ketika ada suara seorang lelaki terdengar di belakangnya
“ Siapa dia Bu Nara ? Darimana kamu menolongnya? Apakah dia terdampar? Kamu mengenalnya? Apakah dia mati?”