Timo menghela napas lega saat Numa muncul ke dapur dan wajahnya yang ternyata tidak cemberut. “Mama sudah pulang?” tanyanya.
“Iya. Dia tadi ke kamarku.”
Numa duduk di depan Timo.
Timo tersenyum kecil melihat Numa yang menjaga jarak darinya, dan dia memahami sikap yang diambil Numa, dia pun menyetujuinya, karena keadaan tidak mendukung mereka untuk berdekatan, ada pak Edi yang masih sibuk di belakang, juga dua pekerja rumah tangga lain yang santai di taman. Belum lagi papanya yang mungkin saja pulang lebih awal.
“Numa, tadi pagi aku sudah menepati janjiku untuk tidak bertemu Molly,” ujar Timo.
Numa mengerti kenapa Timo menyinggung Molly, dia ingin menunjukkan kesungguhannya.
“Ya, Molly mengeluh nggak ketemu Om di bengkel. Dia kecewa banget dan … dia juga meminta nomor hape Om, aku … aku bilang akan memberikannya.”
Timo terkekeh. “Nggak perlu.”
“Sudah aku iyakan, Om. Lagi pula menurutku nggak ada masalah kalo dia menghubungi Om.”
Timo diam, tidak mau berdebat soal Molly.
“Dia suka banget sama Om.”
“Numa…”
“Aku tahu, aku hanya ingin cerita apa yang Molly kesalkan tadi.”
Numa mengetuk-ngetuk jari-jarinya di atas meja makan sambil menatap wajah Timo. “Semalam papa datang ke kamarku juga. Dia bilang mama bakal sering datang ke rumah ini. Karena … mama ingin bertemu dengan Om, ingin dekat … ingin menikah.”
Timo berdecak kecil sambil memejamkan matanya, terdengar umpatan kecil keluar dari mulutnya. Menurutnya Irfan sangat keterlaluan menjodohkannya dengan mantan istrinya.
“Papa mengkhawatirkan hidup Om, dia bilang hidup Om kacau dan dia ingin hidup Om lebih baik—“
“Cukup!” Timo tidak mau mendengar penjelasan Numa lagi. Dia tidak setuju Irfan melibatkan Numa jika ingin menjodohkannya dengan Hesti.
“Mama juga barusan mengaku ingin dekat sama Om, dan dia bahkan berencana menikah dengan Om—“
“Sudah, Numa.”
Timo tahu niat Irfan baik, tapi dia tidak setuju jika sampai melibatkan Numa. Terlebih, dia sudah terikat perasaan mendalam kepada gadis itu. Timo mengasihani Numa yang baru saja mengalami kegagalan dalam percintaan, lalu kedua orangtuanya membebani pikirannya dengan rencana perjodohan.
“Aku … aku nggak mau kehilangan Om Timo.”
“Kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Kamu nggak perlu memikirkan soal itu karena aku nggak akan menikah dengan mamamu.”
Bergetar d**a Numa mendengar suara berat dan tegas Timo, perasaannya pun sangat tenang. Dia memandang wajah Timo dengan ekspresi memohon, menunjukkan bahwa perasaannya kini sudah terlanjur dalam.
Baru saja Numa hendak beranjak dari duduknya ingin mendekati Timo, tiba-tiba datang Irfan, dan dia cukup terkejut melihat Timo dan Numa duduk berhadap-hadapan.
“Hei, apa ini sebuah pendekatan?” tanya Irfan, duduk di antara keduanya. Dia menyangka Numa sedang menginterogasi Timo, calon papa barunya.
“Tumben pulang cepat?” tanya Timo.
“Aku dihubungi Hesti barusan dan dia bilang baru pulang dari rumah ini, dia sudah bertemu kamu, tapi dia tidak cerita detail tentang pertemuannya denganmu. Aku jadi buru-buru pulang, ingin tahu langsung darimu.”
Timo mencebikkan bibirnya mendengar penjelasan Irfan. “Tidak ada yang spesial dari pertemuanku dengan Hesti. Dia … menawarkan posisi tinggi di perusahaannya, dengan gaji yang lebih besar dari yang kamu berikan kepadaku.”
“Tawaran yang menarik, ‘kan?”
Timo mendengus tersenyum, dia menggeleng sambil memperhatikan Numa. “Numa juga cerita tentang kamu yang menjodohkan aku dengan Hesti.”
Irfan terkekeh, dari raut wajah Timo dan nada suaranya, Timo sepertinya enggan dijodohkan dengan mantan istrinya. “Aku … kasihan kamu, Timo.”
“Aku nggak perlu kamu kasihani. Aku nggak suka perjodohan ini.”
Irfan menghela napas kecewa.
“Atau aku berhenti bekerja di bengkelmu, aku bisa pindah—“
Numa tampak cemas, hingga tanpa sadar dia memanggil Timo. Namun, dengan cepat pula dia menguasai emosi, dia tidak ingin papanya mencurigainya.
“Timo. Maaf.”
“Aku nggak mau membahas ini sebenarnya, Irfan. Ini masa lalu dan aku nggak suka melihat ke belakang. Apalagi sampai melibatkan putrimu.”
Irfan menoleh ke Numa, tersadar akan apa yang telah dia lakukan, yang membuat gadis itu kecewa. “Oke, aku … aku nggak akan ikut campur soal kamu dan Hesti. Dia … dia pasti akan sering ke mari. Timo, kamu mengenalnya, ‘kan?”
Timo mengangguk, memahami maksud dari kata-kata Irfan. Hesti adalah wanita keras kepala dan kemauannya yang harus dipenuhi.
“Aku bisa mengatasinya,” ujar Timo dengan gaya santainya. Entahlah, dia jadi mencurigai Irfan dengan perjodohan konyol yang dia lakukan, menduga Irfan yang mungkin saja mulai tidak menyukainya. “Kalo kamu keberatan denganku, aku bisa pindah dari sini—“
“Timo, Timo. Bukan itu maksudku. Terus terang aku … ck, aku nggak tega melihat kamu—“
“Aku bisa mengatasi masalahku, Irfan. Kamu yang kenal aku. Aku juga nggak mau terus-terusan terpuruk, tapi biarkan aku dengan caraku.”
Tangan Numa mendadak gemetar membayangkan Timo yang mungkin saja pergi dari rumahnya. Dia mulai tidak kuat melihat perdebatan antara papanya dan Timo.
Numa berdiri dari duduknya, dan pergi meninggalkan dapur tanpa sepatah kata.
“Lihat apa yang kamu lakukan kepadanya, dia kecewa, ‘kan?” ujar Timo setelah sekilas melihat punggung kecil Numa menghilang dari pintu dapur.
Irfan ikut menoleh ke arah Numa dan merasa bersalah. “Apa dia keberatan kamu menjadi papanya?” tanyanya.
Timo mendengus tersenyum, tentu saja Numa tidak setuju Timo berhubungan dekat dengan mamanya, karena Numa yang telah menjalin asmara dengannya. Lagi pula dia juga tidak mau berhubungan dekat dengan Hesti, meskipun dia sedang berada dalam kesulitan. “Dia hanya bertanya apa aku mau menikah dengan mamanya. Aku bilang nggak. Hm … dia dan Hesti nggak akur?”
Irfan menghela napas panjang, mengingat kembali pertengkaran hebatnya dengan Hesti dan berujung perceraian, dan itu membuat Numa sedih berkepanjangan.
“Numa sempat ikut dengan Hesti di awal-awal perceraian, tapi hanya satu tahun, setelah itu dia ingin aku jadi pemegang hak asuhnya.”
“Hesti selingkuh?”
“Kamu tahu? Numa cerita kepadamu?”
Timo menggeleng dan tertawa kecil, “Irfan, aku juga mengenal Hesti. Waktu dia pacaran denganmu dulu dia pernah bilang menyukaiku, aku pikir kelakuannya tidak berubah saat menikah, dan….” Timo sekilas mengingat cerita Numa penyebab perceraian kedua orangtuanya adalah mamanya yang telah berkhianat, tapi dia tidak bertanya pengkhianatan seperti apa yang dimaksud Numa. Namun, dia yakin Hesti yang telah berselingkuh dari Irfan.
Irfan mendongakkan kepalanya, lagi-lagi menghela napas berat. “Ya, dan Numa sendiri yang telah melihatnya berhubungan dengan laki-laki muda, sebelum dan setelah kami bercerai.”
Timo berdecak dan melihat sinis ke Irfan. “Dan kamu menawarkan pengkhianat itu untuk aku nikahi.”
“Timo, aku hanya ingin membantumu, lagi pula aku tidak lagi mendengarnya berhubungan dengan laki-laki muda.”
“Who knows? Perempuan sangat pandai menjaga rahasia.”
Irfan menggeleng. “Maafkan aku.”
“Nggak usah minta maaf, aku tahu niat baikmu.”
Timo menepuk pelan pundak Irfan dan pergi keluar dapur meninggalkan Irfan sendirian di sana. Dia menyesal telah larut dalam percakapan mendalam dengan Irfan yang tidak seharusnya didengar Numa.
Bersambung