Sementara itu Numa menikmati snack berupa kentang goreng sambil memainkan ponsel. Tapi pikirannya kurang fokus, dia mengingat mamanya dan Timo yang begitu dekat. Perasaannya mulai khawatir, sekiranya Timo justru menyukai mamanya, dan mereka yang menikah? Numa menyesalkan dirinya yang cepat terbuai dalam perhatian Timo, dan dia sudah memiliki perasaan yang cukup dalam kepada Timo. Numa tidak yakin bisa mengikhlaskan keduanya menikah.
Numa tidak mengerti kenapa dia tidak meledak-ledak saat melihat Timo berbincang akrab dengan mamanya. Dia justru mampu mengendalikan emosi dan sikapnya yang lebih tenang. Ini mungkin karena saingannya adalah mama kandungnya sendiri, dan dia merasa segan berkompetisi meskipun yakin bisa memenangkannya.
Numa menelan ludahnya kelu, tiga perempuan sudah jatuh hati kepada Timo, teman dekatnya, mamanya, dan dirinya. Dia ingin sekali bisa lepas dari masalahnya.
***
“Kamu mau rujuk dengan Irfan?” tanya Timo tiba-tiba. Kedatangan Hesti yang mendadak tentu saja memicu pertanyaan. Irfan pernah mengaku bahwa dia dan Hesti tidak pernah saling bertemu sejak resmi bercerai. Ah, begitu banyak cerita Irfan yang terlewatkan oleh Timo, dan dia mengerti mereka semua memiliki kesibukan masing-masing yang sangat padat.
“Ck, kenapa tanya tentang Irfan? Kamu biasanya selalu tanya bisnisku.”
“Oh, artinya kamu tidak rujuk.”
Hesti tersenyum kecil.
“Jadi bagaimana butikmu?” tanya Timo.
“Aku butuh bantuan kamu, Timo.”
Timo menelan ludahnya saat menatap bibir mungil Hesti yang sangat mirip bibir Numa yang dia lumat puas beberapa kali akhir-akhir ini. Dia membasahi bibirnya saat memperhatikan Hesti.
Hesti memperbaiki posisi duduknya, gelisah diperhatikan Timo dan dia merasa Timo mulai beraksi. Padahal apa yang dia pikirkan tidak sama dengan apa yang sedang Timo pikirkan.
“Aku nggak tertarik dengan bisnis pakaian, meskipun sangat menggiurkan,” ujar Timo.
“Tapi aku akan memberimu gaji yang sepadan, bisa lebih dari yang Irfan berikan kepadamu. Aku tawarkan posisi manajer di butikku, Timo.”
Timo tertawa renyah.
“Jangan meremehkan perusahaanku.”
“Aku nggak meremehkan kamu, Ibu direktur. Aku hanya tidak tertarik. Aku bekerja di bengkel Irfan karena aku menyukai otomotif, dan aku merasa sangat hidup.”
“Sangat hidup?” Hesti melirik pangkal paha Timo, tangannya bergetar seolah ingin menjamah sela paha Timo yang tebal.
Timo mulai mengerti keadaannya, dia menghabiskan makan sorenya, dan beranjak dari tempat duduk menuju tong sampah, membuang kotak makanan plastik ke dalamnya.
“Pikirkan tawaranku, Timo. Kamu bahkan bisa membalas dendam perbuatan mantan mertuamu,” ujar Hesti, berusaha membujuk.
“Aku nggak mau balas dendam dan aku nggak memiliki dendam kepada siapapun, Hesti.”
Hesti menghela napas panjang. “Baiklah.”
Hesti beranjak dari duduknya, mendekati Timo dan menyentuh lengan berotot Timo sambil menatapnya dengan tatapan menggoda. “Kamu … selalu muda dan muda, Timo,” ucapnya sambil tersenyum genit.
“Hei, ada anak kecil,” ujar Timo berbisik, mendekati telinga Hesti.
Wajah Hesti memerah saat merasakan hangat napas Timo.
“Aku mau istirahat,” ujar Timo, cukup jengah dengan sikap Hesti, dan pikirannya kini tertuju ke Numa yang dia yakin sedang kesal sekarang ini.
“Oh, ok. Maaf telah mengganggumu,” ucap Hesti.
Timo berjalan menuju pintu luar, namun, langkahnya tertahan, dia berbalik menghadap Hesti sebentar. “Mobilmu bagus, aku suka.”
“Bagaimana dengan yang punya? Apa kamu juga menyukainya?”
“Kamu tambah cantik saja,” puji Timo sambil mengedipkan matanya. Dia menggeleng kecil saat melangkah menuju kamarnya, dia tidak sedang memuji, dia hanya ingin menjaga perasaan janda anak dua tersebut.
***
Begitu sudah berada di dalam kamar, Timo langsung menghubungi Numa.
“Halo.”
Suara Numa terdengar lemah di ujung sana, dan Timo memahaminya. “Ada apa dengan suara kamu?”
“Aku—“
“Aku ingin bicara denganmu.”
Numa terdiam di ujung sana, disertai helaan napas panjang.
“Aku akan ke kamarmu, Numa.”
“Om. Jangan, aku ke dapur setelah mama pulang. Nanti malah repot kalo papa juga pulang.”
Timo berpikir sejenak. Dia lupa satu hal bahwa dia belum memastikan Hesti pulang dari rumah Irfan, dan mungkin masih berada di dapur atau di dalam rumah Irfan.
“Tunggu, Om. Kayaknya mama yang mengetuk pintu kamarku.”
“Oh, oke.”
Timo menghela napas pendek, gusar dengan keadaan yang sedang dia hadapi sekarang. Sepertinya keadaan semakin rumit, karena dia mulai mengendus gelagat Hesti yang mulai menggodanya. Dia cukup mengenal Hesti yang pantang menyerah, menyukainya sejak dulu. Timo yakin Hesti kembali ingin mengambil hatinya, dan wanita itu pasti malu jika tahu sedang bersaing dengan putrinya. Timo menggeleng, menyadari pikirannya yang terlampau jauh.
Dia duduk di tepi tempat tidur, menunggu kabar dari Numa.
***
Numa buru-buru mematikan ponselnya, karena mamanya yang langsung membuka pintu kamar.
“Habis teleponan sama siapa?” tanya Hesti dengan mata awas.
“Teman.”
“Oh, pacar?”
Numa menggeleng.
Hesti duduk di atas bangku kecil di depan Numa.
“Kamu mengenal Timothy?”
“Om Timo?”
Hesti mengangguk.
“Ya, aku kenal.” Numa mengamati wajah mamanya yang semakin kencang karena perawatan. Sejak bercerai, mamanya rajin merawat tubuh, dari senam, gym, juga perawatan wajah dan kulit yang biayanya selangit. Itu adalah salah satu alasan papanya bercerai dari mamanya, yang hanya memikirkan diri sendiri sampai berhutang. Sepertinya bisnis dan usaha mamanya mengalami kesuksesan, sehingga bisa membiayai kebutuhannya, terutama perawatan wajah dan tubuh. Mamanya memang semakin cantik saja sekarang. Numa jadi khawatir Timo tergoda.
“Mama berencana akan mendekatinya dan mungkin tahun ini akan menikah dengannya.”
“Oh. Baguslah.”
“Tapi, mungkin Mama mengalami kesulitan, belum tentu juga om Timo mau dengan rencana Mama.”
Numa sedikit merasa senang dengan kalimat terakhir mamanya.
“Mama mengatakannya kepadamu supaya kamu nggak risih dengan kedatangan Mama ke sini, yang mungkin akan lebih sering.”
“Oh, oke.”
Hesti menghela napas lega setelah mengungkapkan keadaannya di depan Numa, juga anak itu yang sepertinya mau diajak bicara.
“Bagaimana dengan kuliah kamu?” tanya Hesti.
“Ya, lancar, Ma.”
“Pacar kamu?”
“Oh, ya … hm … namanya Daniel.” Tidak tahu kenapa Numa merasa dirinya harus berbohong.
“Teman satu kelas?”
“Ya.”
“Kenalin Mama dong.”
Numa tersenyum tipis.
“Kenapa? Kamu malu ngenalin Mama ke pacar kamu?”
“Nggak, Ma. Aku … belum serius—“
“Oh, Mama ngerti.”
Hesti mengerti Numa yang sepertinya enggan diajak bicara dan ingin dia cepat-cepat pergi.
“Maafkan Mama, Sayang.”
“Ya, Ma.”
“Semoga kedatangan Mama ke rumah ini nggak bikin kamu terganggu.”
Numa menggeleng.
Setelah beberapa saat, Hesti pamit pergi dan dia tidak lupa memberikan pelukan dan ciuman ke Numa.
Setelah memastikan mobil mamanya pergi dari pekarangan rumah, Numa langsung menghubungi Timo. “Aku ke dapur, Om.”
“Aku sudah di dapur.”
Numa dengan cepat melangkah menuju dapur.
Bersambung