“Kamu tenang saja. Papamu berniat baik, dan kamu nggak perlu sampai memusuhinya. Aku nggak akan menikah dengan mamamu. Aku lebih dulu mengenalnya dari kamu.”
Perasaan Numa tenang setelah mendengar suara dan kata-kata Timo di telinganya. “Ok, Om,” lirihnya.
“Hei, aku nggak suka mendengar suara sedihmu.”
Numa tersenyum kecut, tanpa sadar dia tertawa kecil. Lalu terdengar suara tawa rendah Timo dan perasaannya menghangat. “Aku sayang Om Timo, dan aku nggak mau Om sama yang lain.”
“Aku akan selalu bersamamu, jauh dekat … sama saja. Nggak mengubah perasaanku sama kamu, Cantik.”
Numa tertawa lagi, dan tawanya dibalas kata-kata sayang dari Timo. “Aku bisa tidur nyenyak malam ini, Om.”
“Aku juga.”
***
Sejak perbincangannya dengan Irfan di dapur suatu sore, Timo tergerak lagi ingin berbincang akrab dengan Irfan. Dia menyadari bahwa keadaan keluarga Irfan tidak jauh berbeda dengan nasib keluarganya, sama-sama duda, bedanya Irfan yang menggugat cerai istrinya dan Timo yang digugat. Sekarang Timo merasa terlibat dalam kehidupan Irfan, terlebih dirinya yang sudah dekat dengan Numa. Tapi tentu saja dia menyembunyikannya dari Irfan.
Hari ini Irfan mengajak Timo makan siang di warung soto Betawi yang tidak jauh dari bengkelnya. Irfan mengajaknya dengan alasan ingin mentraktirnya karena pendapatan usahanya mengalami kenaikan sejak Timo bekerja di bengkelnya bulan ini. Timo tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berbincang akrab dengan Irfan, kembali menyinggung Hesti.
“Aku perhatikan Hesti sangat berbeda dengan Numa,” ujar Timo sambil menikmati soto Betawi.
“Oh, benar sekali. Mereka sangat berbeda, Hesti ramah dan memiliki jiwa bisnis yang kuat, Numa cenderung menyendiri. Dia persis papaku, yang kurang ramah dan orang-orang yang menganggapnya antisosial.”
“Aku tidak sampai berpikir jauh seperti itu, Irfan. Numa juga pandai berteman, tapi tidak seekstrim Hesti yang kelewat ramah.”
Irfan tertawa kecil. “Tapi dia memang sangat menyukaimu, Timo.”
“Numa?”
“Bukan, maksudku Hesti.”
“Oh.”
Hampir saja Timo berpikir bahwa Irfan akan memberinya peluang untuk dekat dengan Numa, ternyata pikiran Irfan masih tentang Hesti.
“Sejak dulu dia memang mengidolakanmu. Saat tahu kamu runtuh dan cerai dari Astrid, aku melihat kebahagiaan di matanya, juga dipenuhi dengan rencana-rencana besar bersamamu.”
“Kamu masih sering bertemu dengannya?”
“Ya, jika ada acara pertemuan bisnis dengan pemerintah, kami bertemu dan saling sapa. Hm, dia tidak pernah menginjak rumahku sejak kami resmi bercerai. Saat dia tahu kamu tinggal di rumahku, dia beberapa kali menghubungiku bertanya-tentang kamu dan aku katakan kepadanya bahwa ini mungkin kesempatan untuknya. Lalu dia tertawa, dan aku yakin otaknya sedang berjalan untuk memilikimu.”
Timo tertawa mendengar cerita Irfan tentang Hesti.
“Aku benar-benar memikirkan keadaan kamu. Lagi pula dia sedang sukses sekali sekarang, makanya dia berani mendekatimu. Aku sendiri … sama sekali nggak masalah, aku sudah selesai dengannya. Aku pikir kita sudah saling mengenal dekat, hm … dengan kamu menikah dengannya, kita semakin dekat. Entahlah, aku sama sekali nggak berpikir macam-macam. Aku … juga memikirkan Nathan, dia butuh sosok papa dan aku pikir dia akan cocok denganmu.”
Sepertinya Irfan masih berusaha membujuk Timo, tapi Timo tetap dengan pendiriannya, tidak mau bersama Hesti, sekalipun Numa tidak hadir dalam hatinya. Timo sudah mengenal Hesti lama dan dia tidak mau terjebak lagi. Di matanya, Hesti dan Astrid tidak jauh berbeda, maunya ingin menang sendiri dan bertindak sesuka hati.
“Aku sudah tidak punya perasaan sama Hesti, Timo. Kita sudah punya kehidupan masing-masing, aku dan bengkelku, dan dia dengan bisnis bajunya. Dia ingin bahagia dengan siapa saja aku kasih jalan, termasuk menginginkanmu,” ujar Irfan pelan.
“Fu**,” umpat Timo pelan.
“Jadi dia sudah nyatakan perasaannya kepadamu?” tanya Irfan. Meskipun dia tahu Timo akan tetap menolak tawaran mantan istrinya, dia senang-senang saja dengan perbincangan akrab siang ini dengan Timo. Siapa tahu Timo berubah pikiran.
“Seperti yang sudah aku ceritakan kepadamu di dapur, hm… aku bahkan merasa mengkhianati sahabat,” ujar Timo, enggan membicarakan Hesti.
“Haha, Timo. Kita sudah bercerai, tidak ada lagi saling berkhianat.” Irfan berhenti makan beberapa saat karena tertawa, menyadari sahabatnya yang agak naif.
“Aku benar-benar bodoh,” umpat Timo. “Ah, aku harus lebih berhati-hati,” gumamnya, agak kesal karena seolah Irfan menjebaknya.
“Timo, aku nggak menjebak,” ujar Irfan seakan tahu apa yang sedang Timo pikirkan tentang dirinya.
“Dia sedari awal sudah ingin bertemu kamu sejak kamu bercerai, dan dan aku bilang silakan saja. Waktu itu isu perceraian kamu masih panas-panasnya dan banyak yang kaget, termasuk dia.”
Timo mengamati wajah Irfan dengan seksama, ingin tahu apakah Irfan benar-benar dengan kata-katanya tentang perasaannya terhadap Hesti yang sudah lenyap. Dia mengakui bahwa Hesti memang perempuan matang yang sangat cantik, banyak yang mengaguminya dan Irfan yang pernah menjadi pemenangnya.
“Ya, siapa tahu kalian jodoh, dan hidupmu bisa lebih baik,” ucap Irfan lagi.
Timo diam tidak menanggapi, pikirannya sibuk tertuju ke Numa.
“Bagaimana? Kamu tertarik?” tanya Irfan.
“Menurutmu?” tanya Timo balik, dia iseng saja dan tidak sungguh-sungguh dengan pertanyaannya.
Irfan tertawa menyeringai, “Timo, aku hanya menyediakan fasilitas, jika kamu tertarik kepadanya, aku tidak bisa menahanmu.”
Timo menggeleng, dan melanjutkan makan makanannya yang hampir habis. “Rasanya lebih baik bekerja di bengkelmu daripada berurusan dengannya,” ujar Timo akhirnya.
Irfan sudah menghabiskan soto daging Betawinya dan sekarang lanjut menikmati es campur.
“Satu hal, aku malah memikirkan hubungan Numa dan mamanya,” ujar Timo hati-hati.
Irfan menghela napas berat. “Sebenarnya ada banyak hal yang membuat Numa bersikap memusuhi mamanya. Tidak semata-mata Hesti yang main belakang. Dulu mereka pernah bertengkar hebat, Numa memakai perhiasan Hesti tanpa seizin Hesti saat ikut acara perpisahan SMP. Hesti marah besar, karena cincin puluhan juta hilang di toilet sekolah saat Numa buang air. Numa sudah meminta maaf dan mereka berdamai. Tapi damai mereka berupa diam dan tidak saling tegur sapa.”
Timo mengangguk-anggukkan kepalanya, “Dibenci pasangan rasanya memang biasa, tapi dibenci darah daging itu rasanya luar biasa … menyedihkan,” gumamnya, mengingat Morgan.
“Ya, mungkin itu bisa menyatukan kalian berdua yang bernasib sama,” ujar Irfan yang tampaknya masih saja berusaha membuka peluang Timo untuk dekat dengan mantan istrinya.
Timo berdecak kesal mendengar ocehan Irfan. “Kompensasi apa yang akan diberikan Hesti kepadamu sehingga kamu ingin sekali aku bersamanya.”
Irfan terkekeh, “Nggak ada, Timo. Maksudku, aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa aku nggak masalah seandainya kalian bersama. Tapi kalo kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Itu lebih bagus untukku, karena kamu yang akan terus bekerja di bengkelku.”
“Jadi, kamu masih senang aku bekerja di bengkelmu?”
“Tentu saja, Timo. Tapi aku tahu kamu nggak akan lama, terkait Hesti atau tidak, cepat atau lambat kamu akan sibuk dengan kehidupanmu.”
“Kamu yang paham aku. Bukan Hesti.”
Irfan tersenyum hangat.
Bagaimanapun, Timo senang dengan perbincangan ini, bahwa ternyata Irfan masih sama seperti dulu, tetap santai dan berterus terang. Begitu pula dengan Irfan, yang tampaknya enggan berusaha untuk mendekatkan Timo dengan mantan istrinya.
Bersambung