"Aku bisa hajar kamu kalau kamu berani sentuh aku!" teriak Ari ketika Marvel berdiri. Ia menurunkan kakinya karena bersiap untuk mempertahankan diri jika pria itu kembali hendak menyerangnya.
"Siapa yang mau sentuh kamu?" Marvel mendengkus pelan. Ia mengambil ponselnya di atas nakas yang ada di sebelah posisi Ari duduk.
Ari mencelos. Benarkah Marvel tidak berniat menyentuhnya? Tadi, pria itu sangat dekat dengannya. Ia takut, tetapi ia tak ingin terlihat lemah tentu saja.
"Aku peringatkan kamu sekali lagi, jaga jarak!" gerutu Ari seraya duduk kembali ke posisinya di sandaran ranjang.
Marvel mengusap tengkuknya dengan penuh kekesalan. Jika begini terus ia bisa kena darah tinggi rasanya. "Aku juga capek, jangan main tendang atau pukul lagi."
Ari mengangkat alisnya. Ia tetap harus bersikap waswas. Apalagi malam semakin bergulir. Bagaimana jika Marvel menggerayanginya ketika ia jatuh tertidur. Ia tak akan tidur malam ini!
Marvel membanting dirinya di ranjang usai mengganti jubah mandinya dengan piyama. Ia menarik selimut bersamaan dengan Ari. Keduanya saling tatap dengan tajam.
"Lepasin selimut aku!" seru Marvel.
"Aku juga mau pakai selimut!" Ari menarik ujung satunya.
Marvel yang sudah sangat kesal langsung menarik lebih keras. Aksi itu membuat tubuh Ari ikut tertarik dan hampir menimpa tubuh Marvel.
Aroma segar sampo Ari membuat darah Marvel berdesir. Apalagi wajah mereka begitu dekat dan ia bisa melihat wajah polos Ari yang tidak jelek-jelek amat.
"Lepasin!" Ari memukul d**a Marvel ketika ia menyadari Marvel mulai menyentuh pinggangnya.
Marvel menarik tangannya. Ia duduk lalu menghentakkan kakinya di ranjang. "Sebenarnya, apa yang salah dengan kamu? Kita ini suami-istri! Wajar kalau aku sentuh kamu. Aku boleh menyentuh kamu sesuka hati aku dan itu nggak dosa sama sekali. Kamu yang dosa kalau nggak nurutin hasrat suami!"
Ari merengut. "Pernikahan kita bukan pernikahan normal. Kamu cuma mau balas Salsa, aku tahu itu. Dan ini cuma pernikahan bisnis. Nggak usah ngarep banyak, kita bisa cerai kalau pembangunan real estate perusahaan kita udah beres."
Marvel menatap Ari dengan bibir ternganga. "Cerai?" Marvel tertawa pelan. Ia menggeleng. Sungguh gila, belum ada 24 jam menikah, Ari sudah membahas perceraian.
"Iya, cerai! Aku nggak mau terjebak dalam pernikahan ini!" seru Ari. Ia melipat kedua tangannya di depan d**a lalu memalingkan wajahnya dari Marvel. Ia mengatur napas karena ia sangat marah.
Setelah lebih tenang, ia menoleh lagi pada Marvel. "Ingat! Jangan berani sentuh aku! Aku nggak bakal tidur, jadi kamu siap-siap. Sekali kamu sentuh aku, aku bakal bikin kamu bonyok!"
Marvel memutar bola mata. Sesungguhnya ia tidak ingin menyentuh gadis yang menolaknya. Tak mungkin ia memperkosa istrinya sendiri. Dan Ari sangat menyebalkan, ia sudah muak.
"Kamu nggak mau tidur? Oke, kita begadang!" Marvel meraih ponselnya. Ia duduk bersandar di headboard seperti Ari dan mulai berseluncur di dunia maya. Sesekali ia melirik Ari yang juga memegang ponsel.
"Malam pertama macam apa ini?" batin Marvel. Di sebelahnya Ari asyik bermain game online sementara ia membaca banyak sekali komentar tentang foto pernikahannya yang diunggah oleh beberapa teman dan menandai akunnya.
Ari menggeleng pelan. Kepalanya mulai terasa berat saat waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Tubuhnya sangat lelah dan kelopak matanya semakin berat. Ia menahan kantuknya karena Marvel masih terjaga. Ia tak ingin kalah. Ia mungkin lebih baik berpindah kamar.
Namun, untuk mengangkat ponselnya saja ia sudah tidak kuat. Matanya juga tak bisa dikondisikan lagi. Ia mulai memejamkan mata setelah berusaha keras menjaganya tetap terbuka. Marvel menoleh ketika ponsel Ari tiba-tiba tergeletak di atas ranjang.
"Katanya nggak bakalan tidur," ledek Marvel. Ia menggeleng saat mendapati Ari telah tertidur dengan posisi janggal karena bersandar di headboard. Kepalanya agak miring ke bantal, bibirnya yang merah sedikit terbuka sementara tangannya terkulai lemah
"Dasar cewek aneh," desis Marvel tersenyum. Ia memindahkan ponsel Ari ke atas nakas dan mencolokkan pengisi daya karena melihat sisa baterainya tinggal sedikit.
Setelahnya, ia duduk di samping tubuh Ari. Ia menatap jeli wajah Ari. "Dia emang cantik, tapi ... apa dia nggak nyadar kalau dia itu cantik?"
Marvel mengerutkan keningnya. Ia menunggu beberapa menit agar Ari benar-benar terlelap. Ia lantas menyibak selimut dan menggeser posisi tidur Ari agar gadis itu bisa tidur dengan lebih nyaman.
"Ehm ... jangan," gumam Ari saat Marvel membaringkannya di atas bantal.
"Aku nggak apa-apain kamu," ujar Marvel. Ia membelai kepala Ari dengan lembut. "Apa yang terjadi dengan kamu? Kenapa kamu ... begini?"
Marvel menatap Ari yang baru saja memiringkan badannya lalu memeluk guling. Wajah Ari yang polos membuat Marvel sekali lagi tersenyum. Ia lalu menurunkan tatapannya ke pinggang Ari. Kaos Ari tersibak sedikit dan ia bisa melihat kulit putih mulus Ari. Darahnya kembali berdesir.
"Kamu selamat malam ini karena aku juga capek sama pesta tadi. Tapi ... besok kita bakal bulan madu. Aku bakal bikin kamu berubah pikiran dan takluk sama aku di atas ranjang," kata Marvel. Ia menyelimuti tubuh Ari lalu mematikan lampu dan ikut berbaring.
***
Marvel terbangun saat ia merasakan sinar matahari telah masuk ke kamarnya. Apakah ia kesiangan? Marvel mendesahkan napas panjang. Ia ingat kemarin ia baru saja menikah dengan gadis aneh bernama Ariana. Dan semalam ia melewati malam pertama yang tak masuk akal dengan gadis itu.
"Wife ... My Wife," panggil Marvel seraya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Tangannya menyeberangi guling lalu meraba ranjang.
Kosong! Marvel langsung membuka mata, ia mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat apakah benar ranjangnya telah kosong?
"Astaga, Wife!" Ia memanggil Ari seraya mendudukkan diri. Ia menoleh ke jendela. Ini belum terlalu siang, masih pukul tujuh pagi.
Marvel menelengkan kepalanya ke kanan-kiri lalu turun dari ranjang. "Apa kamu mandi duluan, My Wife?" tanya Marvel dengan nada menggoda.
Ia mengetuk pintu kamar mandi yang ternyata tak tertutup. "Apa ini? Dia nggak ada?"
Marvel mengedarkan matanya. Ia tak menemukan Ari di sana. Ia lalu menoleh ke kanan-kiri lagi. "Di mana dia? Apa udah turun sarapan?"
Karena libur dan berniat bulan madu, Marvel tidak perlu bangun pagi. Ia tak harus ke kantor hari ini. Ia melangkah cepat menuju pintu, tetapi ia berhenti saat menyadari ponsel Ari tak ada lagi di atas nakas. Koper Ari yang semalam ada di sini pun tak terlihat.
"Apa dia pergi?" Marvel menggeleng. Itu tak mungkin!
Marvel bergegas membuka pintu. Ia menuruni anak tangga dengan setengah berlari lalu menemui Lana, kepala pelayan di rumahnya.
"Bi, di mana istri saya?" tanya Marvel. Ia juga tak melihat Ari di ruang makan.
"Ehm ... nona Ari tadi udah berangkat, Tuan," jawab Lana.
"Apa? Be-berangkat ke mana?" Marvel berkacak pinggang.
Lana menelan saliva. Melihat Marvel sangat marah, pasti ada sesuatu yang terjadi. "Saya nggak tahu pasti, Tuan. Tapi, katanya Nona udah bilang sama Tuan dan harus segera ke bandara karena ada penerbangan jam delapan pagi ini."
"Apa kata kamu? Bandara? Penerbangan?" Marvel seperti kena serangan jantung saat ini. Bagaimana bisa Ari pergi begitu saja? Apakah gadis itu ke luar negeri atau ke luar kota?
"Maaf, Tuan. Saya pikir Nona beneran udah bilang sama Tuan. Tadi ... Nona bawa koper dan langsung pergi."
Marvel membalik badan. Ia keluar dari rumahnya untuk mencari Rudi. Pria itu tinggal di rumah kecil yang ada di sisi rumahnya. Karena ia libur, pria itu pasti juga masih santai.
"Rud! Rudiii!" teriak Marvel seraya memukuli daun pintu rumah kecil itu.
Rudi tengah menikmati paginya. Ia meletakkan kopinya di atas meja dan langsung mengernyit saat mendengar teriakan Marvel.
"Buka pintunya, Bego!"
Rudi segera berdiri. Mendengar Marvel mengumpat membuat ia terlonjak dan langsung membuka pintu. "Ya, Tuan. Ada apa?"
"Temukan di mana istri aku!" seru Marvel.
"Apa?" Rudi semakin bingung. Seharusnya pagi ini menjadi pagi yang membahagiakan untuk Marvel. Marvel akan berbulan madu dengan istrinya. Namun kini, Marvel berdiri marah di depannya dan sedang mencari Ari.
"Apa yang terjadi, Tuan?" tanya Rudi.
"Ari ke bandara! Dia mau pergi dan aku mau nyari dia. Buruan! Anterin!"
"Tapi, Tuan ...."
"Kamu berani menolak? Mau aku pecat sekarang juga?" tanya Marvel kasar.
"Ng-nggak, Tuan. Mari."
Rudi segera berlari ke mobil lalu menyetir. Ia berhenti di tempat Marvel berdiri dan membiarkan pria itu masuk.
"Ke mana istri aku pergi? Penerbangannya jam delapan ini!" Marvel mulai marah-marah di belakang.
Rudi membuang napas panjang. "Kalau penerbangannya jam delapan, itu artinya Anda sudah terlambat, Tuan. Ini sudah hampir setengah delapan."
"Sial!" Marvel menendang jok Rudi dari belakang. "Kira-kira, ke mana dia pergi?"
Rudi tentu saja tak tahu. "Kita bisa cari tahu, Tuan. Mungkin urusan pekerjaan. Sebaiknya, Anda pulang lagi."
"Kenapa?" Marvel melotot. "Istri aku pergi di hari pertama kami menikah! Aku harus temuin dia."
"Saya mengerti, Tuan. Tapi ... tapi Anda masih pakai piyama dan belum mandi," ujar Rudi.
Marvel mengerjap. Ia menunduk dan baru sadar, ia memang masih memakai baju tidur. Bahkan ia hanya mengenakan sandal rumahan. Sial, ia begitu ingin menemukan di mana Ari.
Rudi menahan tawanya saat ia melihat wajah merah Marvel. Baru kali ini Marvel kalang kabut saat kehilangan seorang wanita. Rasanya lucu sekali melihat Marvel yang sekarang.
Marvel menyugar rambutnya ke belakang. Ia sadar, ini sangat konyol. Dan ia sadar, ia sudah terlambat untuk menyusul Ari ke bandara.
"Cari tahu apa saja kemungkinan Ari pergi dan siapkan tiket buat nyusul dia!" titah Marvel.
"Baik, Tuan. Kita pulang lagi."