Ikrar pernikahan pun akhirnya menyatukan Marvel dan Ari sebagai pasangan suami istri. Ari berdebar tak keruan saat ini karena kini ia telah menjadi istri dari sosok pria arogan dan menyebalkan seperti Marvel.
Sesungguhnya, Ari tak pernah membayangkan akan menikah. Andai bisa, ia tak ingin menikah saja. Namun, nasi telah menjadi bubur. Ia sudah terlanjur menjadi seorang istri.
"Pengantin pria dipersilakan mencium mempelai wanita."
Kepala Ari berputar saat pinggangnya ditarik oleh Marvel. Dalam sekejap, ia sudah berhadap-hadapan dengan pria yang menjadi suaminya itu.
"Awas kalau berani cium aku!" bisik Ari penuh kecemasan. Ia menggigit bibir bawahnya dan tanpa ia sadari itu justru membuat Marvel merasa gemas.
"Ternyata aku menikahi gadis cantik," ujar Marvel dengan nada nakal.
Ari memukul kembali wajah Marvel dengan buket bunganya. Pria itu melepaskan pelukannya lalu menarik tangannya ke mata.
"Oh, sial! Mata aku!" umpat Marvel.
Ari terkikik. Entah bagaimana, Marvel mendadak kesakitan. Barangkali tertusuk ujung dedaunan yang ada di buketnya. Sekarang ia selamat. Ia menatap para tamu yang ikut tertawa dengan ekspresi jengkel Marvel.
"Aku bersumpah bakal cium kamu malam nanti!" ledek Marvel sambil mengucek matanya.
"Hanya dalam mimpi kamu!" Ari menjulurkan lidahnya.
Marvel mendengkus. Namun, diam-diam ia tersenyum karena ia lega sekali. Ia mengira telah menikah dengan gadis jadi-jadian yang jelek. Ternyata Ari sangat cantik dan memiliki tubuh yang indah. Mendadak, ia merasa beruntung sekali. Hanya saja perangai Ari sungguh tidak biasa.
Usai peresmian pernikahan, Ari dibawa ke sebuah gedung untuk acara resepsi pesta. Pakaiannya diganti dengan gaun lain yang juga indah dan menampakkan bentuk tubuhnya yang indah.
"Pakai heels!" Marvel melempar satu kotak sepatu ke pangkuan Ari.
Ari hanya mencibir. Seumur-umur, ia tak pernah memakai sepatu seperti itu dan ia yakin ia akan kesakitan nanti.
"Aku nggak mau."
"Kamu itu pendek, kecil kayak bocil. Kalau kamu nggak pakai heels nanti kamu kelihatan kayak kurcaci di sebelah aku," kata Marvel kesal.
"Apa kamu bilang?" Ari berdiri sambil mengangkat gaunnya sedikit. Keningnya terdorong oleh ujung jari Marvel saat hingga ia hampir terjungkal ke belakang.
"Liat, kamu emang pendek!" Marvel mengukur tinggi badan Ari yang tak melebihi bahunya. Gadis itu hanya sebatas dadanya. "Buruan pakai heels biar cantik."
"Cantik itu di hati bukan di kaki, Bego!" Ari begitu kesal karena sejak pagi semua orang mengatur dirinya. Mereka pikir, ia bisa sepenuhnya jinak? Oh, tentu saja tidak!
Marvel tak tahu lagi bagaimana cara meminta Ari agar mau memakai sepatu berhak tinggi. Pada akhirnya ia menyerah. Mereka berdua kini ada di panggung pengantin sambil sesekali berdiri ketika ada tamu yang datang untuk bersalaman dan berfoto.
Ari sangat lelah, sesekali ia membuang napas berat dan memijat kakinya. Pinggangnya juga terasa seperti mau copot karena ia memakai gaun ketat. Ia tidak leluasa ditambah ia harus memasang wajah penuh senyuman.
"Apa tamunya masih banyak?" tanya Ari pada Marvel.
"Ya. Masih banyak banget," jawab Marvel. Ia melirik Ari yang sangat cemberut.
Semuanya sangat canggung bagi mereka berdua. Pada tamu sejak tadi berbisik lantaran mempelai wanita diganti bahkan foto prewedding yang dipajang di depan gedung dan dekorasi juga berbeda dengan di undangan.
"Kenapa sih harus ngundang banyak orang? Kalau mau nikah ... mendingan bikin intimate wedding aja. Ngirit, nggak capek juga!" gerutu Ari.
Ari kembali berdiri. Ia menyalami para tamu yang sama sekali tidak ia kenal. Namun, hampir semua orang mengenal Marvel. Kebanyakan dari mereka mengobrol sejenak dengan Marvel dan ia dikenalkan secara singkat oleh pria itu. Mau tak mau, ia terus nyengir. Ia harap giginya tidak kering gara-gara ia terus tersenyum.
"Ya ampun, akhirnya ...." Ari duduk, mengipasi wajahnya dengan tangan ketika semua tamu telah keluar dari gedung.
"Nak Ari ... pasti capek banget, ya?" tanya Sandrina, ibu mertuanya.
"Ehm, iya, Tante." Ari yang sedang menyandarkan punggungnya pun kembali menegakkan diri.
"Panggil mama dong, sekarang kamu kan udah jadi anak mantu Mama," kata Sandrina. Ia lalu menunjuk ke arah suaminya. "Panggil papa juga ke Om Leon. Mulai sekarang kamu udah jadi bagian dari keluarga Pratama."
Ari tersenyum tipis. Apalah arti keluarga baginya? Ia tak tahu. Ia agak berjengit ketika Sandrina dengan lembut merangkul dan mengusap bahunya.
"Kamu cantik banget hari ini, tahu nggak?"
Ari kembali nyengir. "Makasih, Ma. Sebenarnya aku nggak suka kayak gini. Aku nggak biasa."
Sandrina menepuk bahu Ari. "Nggak masalah. Kamu bisa selalu jadi diri kamu sendiri."
Ari mengangguk. Ia agak senang ibu mertuanya tidak menuntut. Apakah ini hanya pura-pura? Apakah wanita itu benar-benar baik? Ia tak tahu. Ia tidak akur dengan ibu tirinya dan ibunya telah lama meninggal dunia.
Usai makan malam bersama keluarga, Ari langsung dibawa ke rumah Marvel. Ari agak cemas karena ia belum pernah tinggal di rumah seorang pria dewasa. Ia sudah sering berkemah dan naik gunung dengan pria-pria temannya di hutan. Namun, ini jelas berbeda. Pria yang bersamanya adalah suaminya!
"Apa aku bakal punya kamar sendiri di rumah kamu?" tanya Ari ketika mobil Marvel mulai melambat dan masuk ke gerbang sebuah rumah super besar.
Marvel mengantuk, ia juga lelah dengan pesta. Dan pertanyaan Ari berhasil melunturkan kantuknya. "Kamar sendiri? Dih, nggak usah konyol. Kamu ini istri aku. Tentu aja kita bakal tidur sekamar."
Ari mengepalkan tangannya. Ia tak ingin tidur seranjang dengan Marvel.
"Dan kamu ... tunjukkan rasa hormat kamu ke suami kamu," ujar Marvel seraya mencopot sabuk pengamannya. "Kamu ini istri aku dan kamu jauh lebih muda dari aku. Jadi panggil yang bener."
"Emangnya kamu mau dipanggil apa, Vel?" tanya Ari.
Marvel mendesis kesal. Gadis ini sungguh keras kepala. "Ehm ... apa, ya? Mas ... itu biasa banget. Udah sering dipanggil mas. Kakak ... itu kurang romantis. Coba kamu panggil Abang. Abang Marvel."
Ari mengerutkan wajahnya dengan ekspresi jijik sementara Marvel mengangkat alisnya. "A-Abang? Abang ... Abang tukang bakso?"
"Sialan!" umpat Marvel.
Di sebelahnya, Ari langsung tertawa. Begitu juga dengan Rudi yang duduk di belakang kemudi. Marvel melirik keduanya bergantian.
"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus belajar panggil aku dengan hormat," kata Marvel. Ia mengedikkan dagunya ke arah rumah. "Ayo kita turun."
Ari membuka pintu mobil dengan sedikit gugup. Ia akan menendang Marvel jika pria itu macam-macam padanya nanti di kamar. Toh, ia tahu Marvel mau menikah dengannya hanya untuk balas dendam pada Salsa. Marvel bahkan ingin menghamilinya—hanya untuk membalas perselingkuhan Salsa.
Ari tentu tak mau dijadikan mainan oleh Marvel. Begitu tiba di kamar, Marvel langsung melepaskan jas yang ia kenakan. Ia melirik Ari. Gadis itu sedang membongkar kopernya yang telah diantar kemarin oleh orang kiriman orang tuanya.
"Aku mau mandi dulu. Kamu mau bareng?" tanya Marvel.
Ari memutar bola mata. "Aku bukan anak kecil. Aku bisa mandi sendiri."
Ujung bibir Marvel tertarik membentuk seringaian. "Ya. Karena bukan anak kecil, kita bisa mandi dengan cara yang menyenangkan."
Ari mendengkus lalu berdiri dengan tangan berada di pinggang. "Buruan mandi sana! Aku juga mau mandi! Gerah tahu nggak! Udah sumpek!"
Marvel terkesiap karena omelan Ari. Ia buru-buru ke kamar mandi dengan kesal. "Dasar istri kasar. Tapi ... dia manis juga kalau dilihatin." Marvel cepat-cepat mandi. Ia lalu keluar tanpa memakai apa pun selain jubah mandi di tubuhnya.
Aroma segar Marvel membuat hidung Ari kembang kempis. Ia segera ke kamar mandi dengan membawa tas peralatan pribadinya. Marvel sudah menyiapkan banyak hal di kamar mandi mereka, tetapi ia memilih memakai miliknya sendiri.
"Hah, akhirnya biar bernapas," ujar Ari saat gaun ketat itu terlepas dari tubuhnya. Ia melemparkan gaun itu ke keranjang pakaian kotor lalu mulai mandi.
Usai mandi, Ari berpakaian. Ia memakai kaos oversize dan celana longgar seperti biasa. Tak lupa, ia sudah memakai kain sebagai kemben untuk menutupi bentuk dadanya. Ia tak akan membiarkan Marvel menyentuhnya malam ini.
Marvel bersiul riang saat mendengar pintu kamar mandi dibuka. Ia sangat lelah setelah pesta tadi, tetapi di kamarnya ada gadis muda yang cantik. Ia pasti masih sanggup melakukan ritual malam pertama dengan Ari.
"Kenapa kamu kayak gini?" tanya Marvel yang duduk di ranjang hanya dengan jubah mandinya.
Ari mengangkat bahunya. Wajahnya kini kembali polos tanpa riasan. Tubuhnya yang indah tertutup oleh pakaian super longgar. Marvel pasti tak tertarik dengan penampilannya saat ini.
"Maksud kamu?" Ari balas bertanya. Ia duduk di tepi ranjang lalu mengatur dua guling di tengah-tengah ranjang.
"Kenapa kamu nggak dandan seksi?" tanya Marvel marah.
"Oh ... aku nggak bakal dandan lagi," jawab Ari. Ia menyandarkan punggungnya di headboard lalu membuka ponselnya. "Aku capek, aku nggak mau berantem, jadi buruan tidur aja."
Marvel sungguh kesal. "Apa aku menikahi dua gadis dalam satu tubuh? Tadi ... kamu kelihatan ... wah ... sekarang kenapa kamu pakai baju kayak gitu? Aku udah nyiapin lingerie seksi di kamar mandi. Apa kamu nggak liat? Aku bahkan nggak pakai apa-apa ini!"
Ari melotot saat Marvel membuka jubah mandinya di bagian atas. Ia bisa melihat d**a dan perut kotak-kotak saat ini. Ia langsung berpaling.
"Nggak usah aneh-aneh. Aku tahu kamu nggak niat nikahin aku. Kamu cuma mau balas dendam ke Salsa," kata Ari. Ia duduk dengan lebih waspada karena takut Marvel akan menyerangnya.
"Apa? Salsa? Siapa Salsa? Aku udah lupa!" gerutu Marvel. Yah, niat awalnya memang ingin balas dendam, tetapi setelah tahu ia menikahi gadis cantik, ia agak terhibur.
"Jangan coba-coba deketin aku! Aku nggak mau!" Ari memasang kuda-kuda karena Marvel tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arahnya. "Aku nggak bercanda! Awas kamu!"
"Aahh!" Marvel memekik saat tubuhnya terhempas ke lantai akibat dua tendangan Ari. Ia melotot sempurna pada Ari yang ngos-ngosan di atas ranjang. "Kamu ... kamu ...."