Bertemu sang kekasih

1153 Words
“Kau ingin bertemu?” Rizal kembali bertanya? “Iya, dok. Aku ingin ketemu, apa boleh? Sebentar juga tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara sebentar saja,” ucap Lina sedikit terdengar sedikit memohon. “Oh tidak apa-apa, hari ini… coba aku liat dulu jadwalku. Tunggu sebentar…” Hening, Lina menunggu jawaban Rizal, entah kenapa ia tiba-tiba saja ingin menceritakan semuanya kepada Rizal tentang mimpinya itu. “Lina… kau masih di sana…? tanya Rizal setelah beberapa saat terdiam. “Bagaimana kalau pagi ini saja, aku punya waktu di jam 9 pagi sampai 11. Setelah itu aku akan menangani pasien sampai malam. Bagaimana?” tanya Rizal. “Iya, dok. Aku bisa. Jadi kita ketemu jam 9, ya. Nanti kalau aku sudah sampai di kafe aku akan kirim lokasinya?” “Aku yang akan menjemputmu di rumah. Tunggu saja,” ucap Rizal. “Ah, be-begitukah? Terima kasih kalau begitu,” ucap Lina dengan wajah memerah. “Iya, baiklah kalau begitu sampai nanti…” Sambungan telepon terputus, Lina menghela nafas panjang dan kembali berusaha mencoba memejamkan mata. Pintu kamar terbuka dan sang ibu masuk. “Mama…” sapa Lina saat melihat ibunya masuk dan menghampirinya. Yuanita merasa senang karena melihat anaknya terlihat sudah lebih baik. “Bagiamana perasaanmu, sayang?” tanya sang ibu. “Aku merasa jauh lebih baik, Ma.” jawab Lina sambil tersenyum. “Syukurlah kalau begitu sayang, Mama senang sekali mendengarnya,” ucap Yuanita. Lina pun memeluk sang ibu dengan erat. Terlebih saat ia mengingat mimpinya semalam. Membayangkannya saja ia merasa sudah tidak sanggup apalagi hal itu akan menjadi kenyataan. Lagi pula, itu hanya mimpi belaka. Tidak mungkin dirinya adalah anak angkat. “Aku sayaaaang sekali sama Mama,” ucapnya dengan manja. “Iya, sayang. Mama juga sayang sekali dengan Lina. Kau adalah kesayangan mama sayang,” ucap Yuanita. Lina jadi merasa sedikit lebih tenang. “Mama, tidak akan mengusirku dari sini, kan?” “Kau ini bicara apa, sih? Tentu tidak dong sayang, rumah ini kan milikmu. Kau akan menjadi nona muda di sini, mendapatkan kasih sayang dari kami orang tuamu.” “Lantas apa yang harus aku berikan kepada kalian sebagai balasan atas kebaikan kalian terhadapku selama ini?” “Kau hanya perlu berubah menjadi lebih baik, sayang. Sembuh dari depresimu dan bisa menjalani kehidupan seperti biasa…” Lina kembali memeluk erat tubuh ibunya. “Mama, aku tahu selama ini Mama dan Papa pasti sudah sangat kerepotan karena diriku, kan? aku minta maaf…” ucap Lina terdengar penuh penyesalan. “Tidak sayang, Mama dan Papa selalu mencintaimu. Kau adalah bintang hati Mama. Kau segalanya untuk Mama,” balas sang ibu. “Terima kasih, Mama…” ucap Lina sambil tersenyum. Akan tetapi lama-kelamaan, senyumnya menjadi senyuman miring penuh misteri. Beberapa hari berlalu, Rizal terlihat sudah bersiap-siap. Wajah tampannya terlihat berseri-seri. Senyumnya tidak pernah hilang dari bibirnya yang indah. Ia tampak semakin tampan dengan setelah jeans biru dan kaos berwarna senada dengan luaran jaket denim yang menyempurnakan penampilan kerennya. Ponselnya berdering, Nama my babe tertera di layar ponsel. “Halo, kau sudah di mana, sayang.?” tanya Rizal dengan semangat. “Aku sudah sampai…!” jawab seorang wanita dari seberang telepon. “Oke, aku segera ke sana,” jawab Rizal sambil melangkah menyambar kunci dan berjalan tergesa-gesa menuju mobilnya. Saat ia sudah menyalakan mobilnya, ponselnya kembali berdering. Nama Lina terlihat di layar. “Ya halo, Lina?” sapanya sambil menjalankan mobilnya. “Halo, dokter. Apa kita bisa bertemu sebentar saja? ada sesuatu yang ingin aku ceritakan,” ucap Lina terdengar ragu-ragu. “Oh, maaf sekali, Lina. Hari ini aku tidak bisa membuka konseling karena …” “Maksudku, bukan konseling seperti biasa. Tapi aku hanya ingin bicara dengan dokter,” ucap Lina akhirnya memperjelas maksudnya. “Iya, aku mengerti. Tapi untuk hari ini, aku sama sekali tidak bisa karena hal pribadi,” ucap Rizal. “Oh begitu, ya. Baiklah kalau dokter tidak bisa. Maaf kalau sudah mengganggu,” jawab Lina. “Lina, jangan di tutup dulu…!” “Ada apa, dokter?” “Aku akan kembali menghubungimu kalau urusanku selesai, oke? Kau tunggu saja, ya?” Rizal memberikan harapan, ia khawatir Lina akan melakukan tindakan yang akan merugikan dirinya. “Oh, iya, dokter. Saya akan ingat pesan dokter,” jawab Lina lalu memutuskan telepon. Lina terlihat menghela nafas dalam, sambil meminum jus yang ada di hadapannya. Ia berada di sebuah restoran tempat dimana ia dan dokter Rizal selalu berbincang untuk konseling atau hanya sekedar berbincang saja. “Tidak biasanya dokter Rizal berhalangan seperti ini, mungkin hal pribadinya itu memang sangat penting,” gumannya sambil menyantap cemilannya. Rizal pun melaju membelah malam dengan penuh semangat. Betapa tidak, ia akan bertemu dengan sang pujaan hati setelah sekian lama. Rasa rindunya sudah menggebu-gebu. Ia ingin sekali bertemu dengan Winda dan memeluknya dengan erat. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, ia sampai ke tempat tujuan. Rizal menghubungi kekasihnya itu. “Halo, aku sudah ada di lokasi,” ucapnya memberitahu. “Iya, aku bisa melihat mobilmu dari sini, tunggu aku!” ucap Winda yang juga terdengar begitu bersemangat. Rizal sudah tidak sabar menunggu kekasihnya, tiba-tiba wajahnya merona, darahnya berdesir saat melihat seseorang yang berjalan dengan anggun sambil menarik koper menuju ke arahnya. Mata Rizal pun tidak berkedip memandang seseorang itu. Ia membuka pintu dan keluar, menyambut Winda dengan senyum hangatnya. “Selamat datang, sayang…” sapa Rizal sambil merentangkan tangannya menyambut Winda yang terlihat setengah berlari menuju Rizal. Pelukan hangat yang mereka rasakan, menyatu dengan kerinduan yang menyiksa mereka selama ini. Kehangatan yang sangat menenangkan. “Aku sangat merindukanmu, sayang!” Winda terus memeluk Rizal, sampai-sampai orang-orang melihat mereka tapi sedikitpun mereka berdua tidak peduli. Keduanya bahkan merasa jika yang hidup di dunia ini hanya mereka berdua saja. Mereka tidak peduli dengan tatapan heran orang-orang. Winda bahkan dengan bertani mencium bibir Rizal, membuat dokter itu sedikit terkejut. “Jangan kebablasan di tempat umum, sayang. Kita bisa memilih tempat yang lebih privasi. “Maaf hehe… habisnya aku sudah sangat rindu padamu,” ucap Winda. “Baiklah, kita masuk ke mobil saja dulu,” ucapnya lalu memasukkan koper Winda dan menuntun sang kekasih masuk ke dalam mobil. Begitu sampai di dalam mobil, Winda kembali menyosor Rizal dengan agresif. Pria itu hanya pasrah diperlakukan seperti itu oleh kekasihnya. “Cukup, sayang. Kita harus meninggalkan tempat ini. Kau ini tinggal di Kanada malah semakin menakutkan,” ucap Rizal sambil mengelus pipi mulus Winda. Gadis itu hanya tersenyum tersipu. “Aku bersikap begini hanya dengan pacarku, sayang,” belanya “Oh ya, kita singgah makan dulu, ya.” Rizal menawarkan. “Terserah kau saja, aku memang lapar ini, tapi sebenarnya aku hanya ingin memakanmu saja, pak dokter,” ucap Winda tanpa melepas pautan tangannya dari lengan Rizal yang kokoh. “Kau semakin m***m rupanya, awas saja nanti.” Keduanya lalu tertawa. Mobil masuk ke dalam pekarangan sebuah restoran dan berhenti di tempat khusus parkir. Rizal keluar terlebih dahulu lalu dengan penuh perhatian, ia membuka pintu mobil untuk Winda. Mereka kemudian masuk ke dalam restoran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD