Intim

1211 Words
Rizal dengan penuh perhatian membuka pintu mobil untuk kekasihnya, lalu mereka bergandengan mesra masuk ke dalam restoran. Winda seakan tidak ingin lepas walau sedetikpun dengan Rizal, begitu halnya dengan Rizal sendiri. Mereka terlihat seperti dua insan yang di mabuk asmara. “Zal, gimana kalau kita pesan tempat yang lebih privasi lagi?” tanya Winda. Ia tidak mau makan sambil bergabung dengan orang lain. Apalagi ia ingin terus berada di dekat Rizal sehingga ia ingin tempat yang lebih tertutup supaya ia bebas mengekspresikan rindunya tanpa khawatir terlihat oleh orang lain. Ia tidak ingin membuang waktu dengan menunggu hingga mereka tiba di apartment, karena setiap detik sangat berharga untuknya saat ini. “Tapi kita tidak bisa langsung memesan begitu saja, sayang. Kita harus memesan terlebih dahulu jauh sebelum kita kemari. Kau tidak lihat, tempatnya penuh,” ucap Rizal. “Coba aja dulu, siapa tahu ada,” keukeh Winda. “Ya sudah kau duduk di sini dulu, aku coba bicara ya dengan manajernya, ya.” Winda mengangguk dan Rizal pun pergi menghampiri manajer restoran itu. Winda duduk dengan diam di kursi sambil menatap semua orang-orang yang sedang menikmati santapan bersama keluarga mereka. Ia jadi membayangkan, suatu saat dirinya dan Rizal akan seperti itu juga. Ia tersenyum, membayangkannya saja ia sudah merasa sangat bahagia, apalagi jika bisa merasakannya secara langsung. Tiba-tiba ia ingin ke toilet, ia beranjak dari tempatnya lalu tergesa-gesa berjalan menuju kamar kecil restoran. Namun, dari arah berlawanan, seseorang yang juga tengah buru-buru langsung menabraknya sehingga keduanya hampir terjatuh. “Oh, maaf saya tidak sengaja. Apa Kakak tidak apa-apa?” Winda yang masih memegangi pundaknya yang sakit mengangkat wajah dan melihat seorag gadis muda yang sangat cantik sedang menatapnya dengan tatapan khawatir. “Wah, gadis ini cantik sekali…” pikirnya. “Kakak…” panggil gadis itu lagi karena Winda hanya bengong sambil menatapnya tanpa berkedip. “Oh, aku tidak apa-apa. Lagi pula saya juga salah, tidak melihat sekeliling,” ucap Winda lalu berdiri dengan benar. “Oh Syukurlah, tadi saya sangat cemas karena kakak terlihat kesakitan,” ucap gadis cantik itu lagi. “Ah tidak kok. Saya hanya kaget saja tadi,” jawab Winda sambil tersenyum. “Ya sudah kalau begitu, saya lanjut dulu kak, sampai jumpa. Maaf sekali lagi…” Winda mengangguk dan gadis itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Dari jauh Rizal pun berjalan menghampiri Winda. “Hei, bengong saja. Pandanganmu kok ke arah sana terus? Ada apa?” tanya Rizal ikut penasaran. Ia menatap ke arah Winda memandang tapi ia tidak melihat sesuatu yang istimewa di sana. “Oh enggak, tadi aku tidak sengaja bertabrakan dengan gadis yang sangat cantik. Aku kira tadi dia itu artis, tapi sepertinya bukan, deh. Makanya aku ngeliatin dia terus sampai menghilang. Aku jadi takut, kalau kau lihat dia, bisa jadi kau jatuh cinta padanya,” ucap Winda sambil memegang tangan Rizal dengan posesif. “Ah kau ingin ngomong apa sih? Mana ada gara-gara gadis itu cantik aku langsung jatuh cinta, sih? Berarti setiap kali aku liat artis cantik, aku lansung cinta padanya, begitu?” sanggah Rizal sambil tertawa. Ia merasa kekasihnya itu cemburu tanpa alasan. “Ih malah ketawa, aku ini serius. Pokoknya jangan sampai kau melihatnya. Firasatku, kalau kau bertemu dengannya , kau akan langsung jatuh cinta,” ucap Winda tidak mau mengalah. “Eh, jangan ngomong begitu. Bagaimana kalau omonganmu itu benar, omongan itu doa, loh. Kamu mau?”pancing Rizal. “Enggak…! Tidak ada yang boleh memilikimu selain diriku. kau mengerti…?!” Winda menggeleng dengan keras. Mendengar Rizal bakal jatuh cinta dan berpaling darinya saja, ia sudah tidak kuat apalagi hal itu benar kejadian. “Makanya, kalau bicara itu yang baik-baik saja, lagi pula, kau itu aneh, masa gara-gara lihat cewek cantik saja aku langsung jatuh cinta, tidak masuk akal. Hah, sudahlah, ayo kita ke arah sana. aku berhasil mendapat ruangan privasi,” ucap Rizal. “Wah yang benar? ah, senangnya…” Winda kegirangan. “Ya, sabar dong. Yuk…” keduanya pun berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan itu tidak terlalu luas, hanya ada sofa dan meja. Pendingin udara dan jendela kaca lebar yang mengarah ke sebuah taman hijau yang luas. Pemandangannya begitu sangat indah sempurna. Tidak heran tempat ini menjadi pilihan banyak orang-orang, tidak hanya sekedar berkunjung tapi juga berekreasi. “Seorang pelayan masuk dan memberikan daftar menu untuk mereka. Setelah Rizal dan Winda memesan makanan masing-masing, pelayan itu meninggalkan tempat. “Rizal, masih ada setahun lagi sebelum aku benar-benar pulang ke sini. Tapi aku merasa sudah tidak ingin lagi berpisah denganmu. Bagaimana ini?” ucap Winda, kepalanya menyandar di pundak Rizal sedangkan dokter tampan itu mengelus kepala sang kekasih dengan penuh kelembutan. “Jika kita berjodoh, kita pasti akan dipersatukan oleh yang kuasa. Tidak perlu merasa cemas karena ketentuannya itu sudah pasti, Winda. Dan aku yakin, kita akan bersama karena selain mempercayai takdir, aku juga mengakui kekuatan cinta. Kau mencintaiku seperti aku mencintaimu, kan? jadi, waktu setahun itu tidak seberapa, sayang. Anggap saja, setahun itu adalah ujian untuk kesetiaan kita. Bagaimana kita melalui semua rintangan dan akan saling menguatkan setelah itu. Kita hanya perlu menunggu dengan sabar dalam waktu setahun, aku berjanji padamu, cintaku tidak akan berubah sedikitpun dan akan terus bertambah sampai kita dipertemukan dalam ikatan yang halal. Kau percaya padaku, kan?” Sorot mata Rizal yang tajam namun penuh keteduhan, membuat Winda terbawa suasana. Ia mengangguk perlahan dan tersenyum bahagia. Betapa beruntungnya ia memiliki pria tampan dan baik hati seperti Rizal. Betapa sempurnanya hidup yang ia rasakan sekarang. “Peluk aku…” pinta Winda dengan manja. Rizal pun memeluk tubuh Winda dengan penuh rasa cinta dan kehangatan. Setelah puas, mereka pun menyantap makanan mereka dengan lahap. Setelah selesai, Rizal kembali memesan makanan penutup, 2 gelas champange juga menghias meja dengan cantiknya. “Minum ini, bukankah kau selalu ingin minum champange? Aku memesannya khusus untukmu,”ucap Rizal sambil memberikan gelas cantik berisi cairan kuning keemasan kepada Winda. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk, Ia pun menerima pemberian kekasihnya itu dengan suka cita lalu meminumnya. “Ini enak sekali…” ucapnya memuji rasa dari minuman yang ia minum itu. Winda menyandarkan tubuhnya di tubuh Rizal sedangkan Rizal mengelus lembut kepalanya. “Aku bahagia sekali, pak Dokter,” ucap Winda dengan suara lirih. “Hmm, aku juga begitu,” balas Rizal. Winda mengangkat wajahnya dan menatap Rizal dengan tatapan dalam. Kedua mata mereka saling beradu, sesaat mereka seakan terbawa suasana tapi detik kemudian Rizal seolah bisa menguasai diri. Pada saat tangan Lina bergerak untuk meraih kepalanya, pria itu dengan lembut menunduk dan mencium keningnya dengan lembut. “Kau selalu menolak setiap kali aku memintamu menciumku, pak dokter? Aku heran, kenapa sampai sekarang kau masih tidak ingin mencium bibirku?” Winda yang selama ini merasa terus ditolak jika menyangkut hubungan yang lebih intim, merasa harga dirinya sedikit terluka. Kekasihnya ini beda dengan yang lain, pada saat seorang pria sangat mengingankan ciuman panas dari kekasihnya, Rizal malah menolak segala kenikmatan itu dengan alasan ia takut kehilangan kendali. Tapi kali ini, Winda tidak akan menerima penolakan lagi. Ia sudah jauh-jauh datang kemari dan hanya menikmati wajah tampannya saja, kesempatan ini harus ia gunakan sebaik mungkin. Ia akan menghilangkan kepolosan kekasihnya itu. Sedangkan Rizal hanya tersenyum sambil menggeleng. Winda lalu menatap tajam kekasihnya itu. “Rizal, selama ini aku hanya mengalah saja, tapi kali ini, aku tidak akan menerima penolakanmu lagi. Sekarang, cium aku…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD