Mengkhawatirkannya

1039 Words
Lina tidak sanggup mengikuti mereka lagi, ia jadi terduduk lemas di pasir. Ia bingung kenapa ia merasakan sesak di hatinya? Seharusnya perasaannya biasa saja, karena hubungannya dengan dokter Rizal memang hanya sebatas pasien dan dokter. Tapi kenapa perasaannya menjadi seperti ini setelah mendengar dokter Rizal memiliki kekasih dan akan menikah. Ia bersikap seperti seseorang yang mencintainya sebelah tangan. “Hah… kenapa aku bodoh sekali? pasangan yang sedang bahagia-bahagianya malah diikuti seperti seorang stalker. Memangnya kenapa kalau dokter Rizal mau menikah dengan kekasihnya? itukan hak dia. Aku siapa mau menghalanginya? Kenapa aku bahkan sampai punya pikiran untuk menghalangi mereka?! ya ampun.. tidak, aku bukan orang seperti itu. Huh… lupakan semuanya Lina, lebih baik kau kembali dan bersikap seperti biasa. Iya, aku pasti hanya sedikit bingung karena tidak menyangka saja kalau dokter sebaik itu punya kekasih.” Lina terus menyakinkan hatinya untuk tidak merasakan hal aneh itu lagi. Lagipula, tidak sepantasnya ia memiliki perasaan dengan dokter Rizal. Pria itu sangat sempurna untuknya yang hanya seorang pesakitan. Setelah menenangkan perasaannya, ia pun kembali berjalan menuju tempat di mana teman-temannya berada. ‘’Kau kemana, sih? tiba-tiba pergi begitu saja,” tanya salah seorang temannya. “Iya, kami pikir kau akan langsung pulang. Mana ponselmu gak aktif lagi.” Teman yang lainnya menimpali. “Lupakan saja, bukan apa-apa. Tadi itu aku seperti melihat seseorang yang kukenal, tapi ternyata salah orang.” Lina mengarang bebas. “Oh, begitu…” Mereka pun kembali berbincang hingga malam, lalu kembali berjalan-jalan menikmati angin laut yang mulai dingin. Menyusuri pantai dan bercanda di bawah temaram sinar rembulan. Lina berusaha melupakan kejadian tadi, ia memang harus melakukannya, kalau tidak ia sendiri yang akan sakit. Bisa-bisanya ia mulai menyukai Dokter psikiaternya sendiri yang jelas-jelas sudah memiliki calon istri. Ia harus segera menghentikan perasaanya dan dengan kejadian itu, bisa membantunya mengetahui perbedaan kebaikan dan perhatikan secara profesional sehingga hatinya tidak lagi kebingungan menerima semua kebaikan dokter Rizal. “Kita pulang aja, yuk,” salah satu temannya sudah terlihat lelah. Malam sudah semakin larut, hawa dingin pun semakin menusuk. Orang-orang yang berkunjung juga satu persatu sudah meninggalkan lokasi. Hanya tinggal beberapa saja yang tersisa, mungkin untuk menginap. “Iya, aku juga sudah capek. Pulang, yuk,” ajak temannya yang lain. “Kalian pulang saja duluan, aku sepertinya ingin tinggal lebih lama di sini. Mungkin aku akan menginap,” ucap Lina saat temannya mengajaknya untuk pulang. “Loh, kamu serius mau nginep sendiri di sini?” “Iya, kalian pulang saja duluan. Aku masih ingin tinggal di sini.” Lina kembali menegaskan. “Ya sudah kalau begitu. Kami pulang, ya. Jangan lupa hubungi orang tuamu. Nanti mereka khawatir, lagi. Kami pergi, ya. daahh…” kedua teman Lina pun meninggalkan tempat itu. Meninggalkannya seorang diri. Lina hanya duduk di hamparan pasir sambil terus memandangi ombak laut, semakin lama ombak itu semakin besar saja. Saling kejar dengan suaranya yang bergemuruh, namun hilang seketika saat tiba di tepi pantai. Sama seperti perasaannya sekarang, harapan yang mulai tumbuh indah bersemi seperti besarnya ombak laut yang saling mengejar ke tepian pantai, seketika hilang begitu saja dan menyisakan rasa sakit. Ternyata semua keyakinannya tadi itu hanya omongan belaka. Kenyataannya, perasaan yang selama ini tumbuh tanpa ia sadari telah berakar kuat sehingga ia sulit mematikannya. Bara itu semakin besar hingga sulit untuk memadamkannya. Ia masih merasa sedih walau seberapa keras ia berusaha, bagiamana ia harus menghadapi dokter Rizal nanti kalau perasaannya seperti ini? jika ketahuan bagaimana. Bukankah dokter Rizal ahli dalam membaca pikiran? Apalagi kalau ia sudah menggunakan hipnoterapinya. Bisa ketahuan semua. “Hah…” Lina kembali menghela nafas dalam. Ia melihat ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia lalu mengubungi orang tuanya agar mereka tidak khawatir. Setelah itu ia kembali berjalan menyusuri pantai yang mulai sunyi. Hanya tersisa beberapa orang saja yang masih bertahan di pantai. Lina juga sama sekali tidak merasa takut karena kawasan pantai itu memiliki keamanan yang lumayan baik, sehingga pengunjung tidak akan merasa cemas dan bisa menikmati waktu mereka dengan lebih tenang. Lina pun terus berada di pantai hingga malam semakin larut. Sementara itu, Rizal dan Winda sudah berada di dalam mobil yang sedang melaju. Mereka sedang menuju rumah Winda. Rizal mengantar kekasihnya itu pulang ke rumah meskipun Winda masih ingin berlama-lama bersamanya. Gadis itu bahkan merengek untuk menginap saja di penginapan yang ada di pantai tadi, tapi dengan tegas Rizal menolaknya. Mobil berhenti di depan halangan sebuah rumah mewah, Winda tidak langsung turun, ia masih bergelayut manja di lengan kekasihnya. Ia sama sekali tidak ingin berpisah dengan Rizal. “Sayang, besok sore, aku ada waktu luang. Setelah proses terapi beberapa pasienku, kita akan ketemu lagi. Ini sudah sangat larut, orang tuamu pasti sudah menunggu sejak tadi. Untung tadi aku sempat beri kabar ke mereka kalau kau bersamaku.” Alex berusaha membujuk kekasihnya itu agar mau keluar dari mobil. “Besok sore itu lama, aku kan liburnya hanya seminggu saja. masa aku tidak ketemu kamu besok seharian sih? Waktuku akan habis sia-sia,” rengek Winda. “Bagaimana bisa waktumu habis sia-sia, kau bisa menghabiskan waktumu dengan kedua orang tuamu sembari menungguku. Aku juga tidak bisa membatalkan jadwal pasienku, kau bisa mengerti hal itu kan?” Rizal berusaha memberi pengertian kepada kekasihnya yang manja ini kalau tugas seorang dokter itu sangat berat. “Hmm, ya sudah. Aku mengerti, kok. Aku hanya mencoba egois untuk diriku sendiri karena terbawa perasaan. Maafkan aku, ya sudah aku turun dulu. Tapi kau harus janji, besok sore kita ketemu,” ucap Winda akhirnya mengalah. “Iya, sayang. Terima kasih atas pengertianmu. Kita akan ketemu lagi besok, aku janji,” ucap Rizal sambil mencium kening winda dengan penuh kelembutan. Winda tersenyum lalu membuka pintu dan turun dan keluar dari mobil. seorang pelayan dengan cepat membuka bagasi mobil Rizal dan mengeluarkan koper Winda dari dalam sana. Setelah itu, Rizal pun pergi meninggalkan tempat itu. Rizal melaju dengan kencang, ia terlihat gelisah. Mobilnya berbelok ke arah jalan menuju pantai. Rupanya ia kembali lagi ke tempat itu. Setelah melaju agak lamban, mobilnya berhenti. Rizal turun dari mobil dan berjalan menuju pantai. Ia terlihat mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru pantai seolah mencari seseorang. Saat ia melihat seorang wanita yang sedang duduk sendiri di atas pasir, ia pun berjalan ke arahnya. “Lina…” Lina menoleh ke arah sumber suara dan melihat Rizal berdiri menatapnya dengan dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD