Patah

1227 Words
Rizal terhenyak mendengar ucapan itu dari kekasihnya. Selama mereka berhubungan, baru kali ini ia mendengar ucapan berani seperti itu. Kekasihnya itu semakin lama semakin nakal saja selama tinggal di kanada. Winda menjadi lebih berani dan agresif. Jauh berbeda saat masih tinggal di tanah air. Keluguannya seakan hilang tak berbekas. Terus terang ia sedikit terusik dengan perubahan sikap kekasihnya ini, tapi tetap saja, ia sangat menyayanginya. “Winda, dari mana kau dapatkan keberanian seperti itu? aku tidak mengingat pernah mengajarimu hal semacam itu? apakah kau banyak mempelajarinya di Negara orang?” tanya Rizal. Meskipun hal itu wajar, tapi Rizal tidak mau jika Winda bersikap seperti itu terus-terusan. Akan tetapi, bukannya menjawab, gadis itu malah semakin mendekati Rizal dan memeluknya dengan erat. Ia bahkan sudah mendekatkan wajahnya ke wajah Rizal membuat Rizal tersudut. Dan, pada saat wajah mereka semakin mendekat, Winda pun berhasil menyentuh sedikit kulit bibir Rizal yang sangat lembut itu. Wajah Risal memerah, tapi bukan marah melainkan rasa malu bercampur terkejut. Sentuhan itu membuatnya membeku untuk sesaat. “Wah sayang, wajahmu memerah. Maaf, aku sengaja. Hi..hi…” sudah membuat kekasihnya itu malu, Winda malah semakin menggodanya. “Winda, kau…” Rizal tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Winda telah kembali mencium bibir Rizal dan kali ini ia sudah mengulum bibir itu dengan lembut. Ciuman itu adalah untuk yang pertama kali bagi mereka. Rizal menyentuh tengkuk Winda agar posisi mereka tetap bertahan, sentuhan bibir mereka mengantarkan kehangatan, perasaan yang menggebu dengan nafas yang menderu. “Rizal…” lirih Winda disela ciuman mereka yang semakin lama semakin dalam. Rizal melepas ciumannya, menatapnya dengan dalam. Gadis yang ada di hadapannya ini adalah hidupnya, masa depannya dan segalanya. Ia mencintainya sepenuh hati, ia segala-galanya. “I love you…” ucap Rizal dengan lembut. Winda tersenyum mendengarnya. “I love you more…” balas Winda. Ia pun memeluk Rizal dengan sangat erat. Winda kembali ingin mencium bibir Rizal tapi dokter itu menolaknya dengan menghalangi bibir kekasihnya dengan tangan. “Sudah cukup, kalau seperti ini terus, akan bahaya. Sebaiknya kita pulang saja, aku akan antar kamu pulang,” ucap Rizal, sambil beranjak dari tempat itu. Winda pun dengan malas berdiri dari posisi duduknya yang nyaman lalu mengikuti langkah Rizal keluar dari ruangan itu. Di dalam mobil pun, mereka tidak pernah melepas tautan tangan, sambil menyetir, beberapa kali Rizal mencium tangan Winda dengan lembut dan penuh cinta. Winda pun membalasnya dengan tak kalah mesranya. Keduanya benar-benar dibuai asmara. “Sayang, bagaimana kalau kita jangan langsung pulang ke rumah dulu, aku tidak ingin pisah denganmu malam ini. Atau bagaimana kalau kita pesan kamar hotel, atau ke apartemenmu saja?” ucap Winda penuh semangat. Mendengar itu Rizal pun menggeleng tidak setuju. “Kalau ke tempat lain misalnya ke pantai atau taman, aku setuju. Tapi dua tempat yang kau sarankan tadi itu adalah hal tidak boleh kita lakukan. Winda, kita memang pacaran, tapi untuk membawamu ke tempat di mana hanya kita berdua, itu adalah hal yang tidak akan pernah aku lakukan sebelum kita menjadi halal, sayang. Benar, aku mencintaimu, tapi jika untuk merengkuh kesucianmu tanpa tanggung jawab, aku tidak akan pernah melakukannya. Jadi, tolong bersabarlah sedikit lagi, ada saatnya nanti kita akan menyatu dalam ikatan halal yang penuh bahagia. Bagaimana, kau setuju?” tutur Rizal. Mendengar hal itu jantung Winda semakin berdegup kencang. Sungguh. Ia begitu sangat beruntung memiliki pria seperti Rizal. Pria penuh tanggung jawab yang memiliki prinsip hidup yang sangat mulia. Meskipun tidak apa-apa jika Rizal melakukan hal lebih dengannya, tapi ucapan bermartabat itu, seolah memberikan segunung harga diri untuknya. Winda merasa sangat dihargai dan diperlakukan istimewa oleh kekasihnya ini, pria yang hanya miliknya seorang. “Kau tahu, aku adalah wanita yang paling beruntung telah memilikimu,” ucap Winda sambil bergelayut manja di lengan kekasihnya. “Maka dari itu kau harus bersyukur, aku bukannya tidak ingin tapi berusaha menahan diri saja. Kau tidak tahu saja, betapa buasnya laki-laki jika menyangkut masalah seperti ini. Jadi, sebelum kau membangunkan macan yang sedang terlelap, kau seharusnya bersiap.” Rizal mencubit pipi Winda dengan gemas membuat gadis itu meringis. “Hmm, padahal aku sudah sangat siap. Ya sudah deh, bagaimana kalau kita ke pantai saja. Aku sudah sangat rindu dengan air laut negaraku,” ucap Winda dengan penuh semangat. “Baiklah, kita berangkat!” Rizal kemudian tancap gas menuju tempat yang mereka rencanakan. Sementara itu, Lina terlihat sedang berbincang dengan 2 orang sahabatnya. Sejak sore, ia menghabiskan waktu dengan mereka. Entah kenapa, perasannya tidak tenang karena seharian ini ia tidak pernah mendengar kabar dari Rizal. Terakhir ia mendengar suaranya pagi tadi. Padahal sebelum ini, dokter Rizal selalu menanyakan keadaannya, mungkin karena perhatian kecil itulah, hatinya jadi menuntut. “Li, kenapa bengong? Lihat di sana deh, ada cowok cakep banget,” ucap salah satu temannya. “Yang mana, sih? Kok aku gak lihat?” timpal temanya yang satu lagi. “Ah, biasa aja. Gantengan juga pacarku…” komentar temannya lagi. “Ah kamu kan selalu bilang begitu. Pacarmu selaku yang paling cakep. Paling Lina juga mau bilang begitu. Secara, Alex kan juga super ganteng,” seloroh teman Lina. Lina hanya mengunyah makannya dengan cuek tanpa merespon kehebohan mereka berdua saat melihat lelaki tampan. “Lina, ada ada sih? Dari tadi kamu bengong aja, loh.” Protes sahabatnya. “Memang kalian lagi bahas apa sih? paling juga liatin cowok orang,” respon Lian acuh tak acuh. “Yee.. biasanya kan kamu yang selalu semangat kalau soal ginian.” Sanggah temannya lagi. “Memangnya aku harus berkomentar apa tentang mereka? setahuku tidak ada yang lebih genteng dari pada dokter Psikiaterku,” ujar Lina akhirnya. “Benarkah? Apakah dia lebih tampan dengan cowok yang di sana itu? wah, sumpah, dia ganteng banget, Li. Sayangnya sudah ada wanita yang menggandeng tangannya. Duh, ceweknya posesif banget lagi. Beruntungnya dia, liat deh, Li.” Keduanya pun terpana melihat seorang pria bersama pasangannya berjalan melewati tempat mereka duduk “Li… kamu pasti akan rugi kalau gak melihat yang ini. Kau ha…” temannya tidak melanjutkan uacapnnya karena terkejut melihat raut wa wajah Lina yang tadinya biasa-biasa saja menjadi kelam dan suram melihat pasangan yang baru saja lewat itu. Pandangan Lina tidak lepas dari pasangan itu. Lina bahkan berdiri dari duduknya. “Teman-teman, Aku akan kembali…” ucapnya lalu bergegas mengikuti pasangan itu. Meninggalkan kedua temannya yang kebingungan. Rizal menggenggam erat tangan Winda sambil berjalan menyusuri pantai malam yang bersih. Hembusan angin patai yang sejuk menambah suasana romantis di sekeliling. Cahaya temaram dari rembulan menambah syahdu susana malam itu. Sungguh, malam yang sangat sempurna untuk mereka berdua yang saling melepas rindu. “Zal, andai kita bisa selamanya seperti ini, pasti akan sangat menyenangkan,” ucap Winda. “Iya, tapi kan sekarang kita sudah merasakannya. Apa kau belum puas juga?” tanya Rizal. “Belum, aku ingin selamanya di sisimu. Aku takut, jika aku kembali ke Kanada nanti, aku tidak bisa bersamamu seperti ini lagi,” ucap Winda. “Hus, jangan asal bicara Winda. Itu tidak baik. Tentu saja kita akan terus bersama selamanya. Saat kau menyelesaikan kuliah dan pulang ke tanah air, saat itu pula kita akan menikah.” Winda memeluk erat Rizal merasakan kebahagiaan itu. Lina yang mendengarkan semua percakapan itu membeku di tempatnya. Entah kenapa, hatinya menjadi sakit mendengar ucapan demi ucapan lembut yang keluar dari bibir Rizal untuk kekasihnya. Seharusnya ia tidak boleh merasakan hal itu, tapi ini terjadi begitu saja. Bahkan tanpa ia sadari. “Apa? Rizal sudah punya kekasih dan mereka akan menikah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD