Ketakutan

1193 Words
Lina masih duduk sendiri memandangi laut malam sambil menikmati deburan ombak. Perasaannya hampa dan kosong. Ia seakan hilang harapan, ia merutuk dirinya sendiri kenapa bisa sampai seperti ini. Benar-benar memalukan. “Lina…” Lina tersentak mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Ia pun menoleh dan melihat Rizal tengah berdiri menatapnya dengan dalam. “Loh, dokter? Kenapa di sini?” tanya Lina berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang mulai bergemuruh. “Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau masih di tempat ini di waktu seperti ini?” tanya Rizal sambil duduk di samping Lina. mendengar itu, perasaan Lina merasa sangat miris. Kenapa pria ini masih saja memperlakukannya berlebihan? Kenapa ia tidak bisa bersikap biasanya saja layaknya dokter dengan pasien-pasiennya yang lain? “Tidak apa-apa dokter, aku merasa ingin sendiri saja sambil menikmati udara pantai malam,” ucap Lina sambil memandangi laut luas. “Tapi kan angin malam ini sudah tidak sehat lagi untuk tubuh, sebaiknya kau pulang. Mari aku antar,” ucap Rizal. “Aku masih ingin sendiri, dokter. Doktwr saja yang pergi,” ucap Lina. Ia mulai merasa kalau sikap Rizal sudah berlebihan. “Lina, ayo kita pulang. Tidak baik berlama-lama di sini.” Rizal masih. Lina merasa jengah, apalagi ia berusaha untuk melupakan pria ini, bagaimana ia bisa berhasil kalau pria baik ini selalu saja meperlakukannya dengan berlebihan. “Aku kira, dokter tidak berhak mencampuri kehidupanku sampai sedetail ini. Kalau masalah berhubungan dengan orang yang dokter anggap akan menghalangi proses penyembuhanku, aku masih bisa terima. Tapi, alu keberatan jika kebebasanku untuk melakukan sesuatu yang aku inginkan juga dibatasi. Dokter tidak bisa mencampuri kehidupanku sampai sejauh ini.” Lina terpaksa kembali bersikap dingin kepada Rizal untuk meredam perasaannya yang kini terasa sakit. Semakin Rizal menunjukkan perhatian kepadanya, semakin bertumbuh cintanya , semakin sakit perasaannya. “Lina, kau tahu kan, angin malam tidak baik untuk kesehatan? Aku tidak ingin kau jatuh sakit gara-gara ini dan membuat orang tuamu khawatir lagi. Aku melakukan semua ini hanya untuk kesembuhanmu, bukan bermaksud lain,” Rizal menjelaskan maksudnya. ‘Justru itulah yang aku tidak ingun dengar darimu, dokter. Kau melakukannya hanya untuk kesembuhanku saja,' batin Lina. “Iya, aku tahu dokter! Memangnya dokter melakukannya untuk apa lagi?! Tapi aku minta, tolong kali ini saja, biarkan aku melakukan apa yang aku mau. Tolong tinggalkan aku sendiri. Dokter pulang saja dan istirahatlah, bukankah besok Dokter ada jadwal terapi pasien termasuk aku? jadi lebih baik dokter fokus saja dengan kesehatan dokter sendiri, jangan banyak begadang!” ucap Lina. Rizal terdiam, ia jadi tidak tahu harus membalas apa. Ia sadar apa yang dilakukannya ini sedikit berlebihan untuk tindakan kepada pasien. Tapi, ia terlanjur sudah bertekad bahkan berjanji kepada kedua orang yang ia hormati bahkan melebihi kedua orang tuanya untuk melakukan apapun agar anak kesayangan mereka ini lekas sembuh. Akan tetapi, mungkin perlakuannya ini membuat Lina terusik. Walau bagaimana pun seharusnya ia mengetahui batasannya sebagai seorang dokter. Dan ini adalah batasan yang tidak boleh ia lewati karena pasiennya kurang nyaman. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk pulang. Tapi tolong jaga dirimu, kau juga jangan tidur larut, segeralah masuk ke penginapan dan beristirahatlah. Kita bertemu di konseling besok. Selamat malam…” Rizal pun pergi meninggalkan tempat itu. Lina hanya bisa menatap sendu melihat kepergian Rizal. Air matanya menetes begitu saja. Hatinya sakit entah apa sebabnya. Ia begitu ingin Rizal tetap di dekatnya dan menemaninya bahkan hingga pagi menjelang. Ia ingin Rizal ada di sampingnya memeluknya dengan kehangatan tubuhnya. Tapi semua keinginan itu hanya akan menjadi ilusi yang akan pernah menjadi kenyataan. Setelah beberapa lama, ia pun meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju penginapan. Ia pun segera mengambil kunci kamar yang ia pesan dan masuk ke dalamnya. Ia lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia kembali teringat wajah Rizal yang terlihat khawatir. Betapa lembut dan tulus sikapnya itu. Andai saja sikap lembut itu hanya untuknya dan bukan karena sikap profesional semata. “Aku memang sangat bodoh, sudah tahu dokter Rizal punya kekasih dan ingin menikah, kenapa malah nekat menyukainya? Apa yang aku harapkan dengan perasaan sepihak ini? sadarlah Lina, sadar…!” Lina menggeleng beberapa kali berusaha menghilangkan semua perasaannya. Sampai ia pun terlelap dengan harapan yang masih menggantung. Pagi cerah menyapa bumi, cahaya hangat mentari menyinari, memberikan kesegaran sekaligus rasa hangat yang menyejukkan. Lina membuka mata, ia melirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Sudah saatnya ia pulang ke rumah. Ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah siap, ia keluar dari kamar dan menyerahkan kuncinya ke penjaga motel penginapan itu. Ia berjalan menuju mobilnya terparkir. Mobilnya melaju ke jalan raya yang mulai padat. Tiba-tiba ponselnya berdering, ia melihat sekilas, ternyata nomor tidak dikenal. Ia langsung menerima panggilan itu. “Halo, siapa ini?” tanyanya sambil mengunyah permen karet dengan santai. “Halo… Liana…” terdengar suara wanita menyebut nama seseorang, dan itu bukan namanya. “Halo, Bu. Maaf, tapi mungkin anda salah nomor. Aku bukan Liana…” jawab Lina berusaha sopan. “Tidak, jangan matikan teleponnya sayang. Aku tidak mungkin salah. Kau putriku, namamu Liana…” wanita itu masih bersikeras menyebut nama orang lain dan mengaggap Lina ada orang itu. Lebih parahnya lagi, ia menyebut jika Lina adalah putrinya. “Apa-apaan ini? anda jangan asal bicara, ya? apa anda tahu dengan siapa anda bicara?!” karena mulai emosi, Lina menepikan mobilnya. “Tidak sayang, kau memang putriku. Aku tahu kau dibesarkan dengan sangat baik oleh orang yang tepat dan aku bersyukur kau tumbuh dengan bahagia di sisi mereka,” ucap wanita itu lagi. Lina menjadi sangat kesal mendengar ucapannya. “Hei Bu atau siapapun kau! Jangan asal bicara. Kau siapa aku tidak peduli, dan aku tidak mau peduli. Hentikan omong kosong ini dan jangan pernah menghubungiku lagi atau aku akan melaporkanmu ke polisi, mengerti?!” Lina yang mulai geram mengancam wanita itu. Namun, bukannya berhenti, wanita itu malah tertawa. “Kau benar-benar semakin mirip denganku, nak. Baiklah aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi jangan bilang kalau kau tidak ingin aku hubungi lagi. Bagaimana bisa aku tahan tanpa mendengar suaramu? Di saat aku sudah mengetahui keberadaanmu dan bagaimana kondisimu sekarang, aku benar-benar sangat lega dan bahagia. Tetaplah, hid up bahagia sayang, sampai jumpa.” Telepon terputus. Jantung Lina berdegup kencang, nafasnya mulai sesak. Tapi ia berusaha agar tetap tenang agar reaksi tubuhnya tidak berlebihan. Apalagi ia sendiri di tempat yang sunyi pula. Ia harus pergi dari tempat itu menemui ibunya. “Siapa wanita tidak waras itu? kenapa ia tiba-tiba mengaku sebagai ibu kandungku dan menyebutku Liana,” gumannya penasaran. Entah kenapa, semakin ia menolak mempercayai semua ucapan wanita itu, semakin gelisah perasaannya. “Aku harus bertemu dengan mama. Aku harus meyakinkan diriku kalau semua yang aku dengar barusan itu hanyalah omong kosong. Aku anak kandung daru Nyonya Yuanita dan tuan Kizara yang terhormat. Bukan anak dari wanita gila itu…” Lina terus menyakinkan hatinya sembari melaju bersama mobilnya. Begitu sampai di depan pintu, Lina segera turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Ia berlari menuju kamar ibunya. “Mama… tolong buka pintu…” ucapnya sambil mengetuk pintu kamar ibunya. Saat pintu terbuka, ia melihat ibunya berdiri sambil tersenyum. “Kau sudah pulang sayang?” sapa sang ibu dengan senyuman lembutnya seperti biasa. “Mama…!” Lina langsung menghambur ke pelukan sang ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD