Bertemu Musuh

1163 Words
“Kalau begitu saya permisi dokter.” Setelah melewati rangkaian tanya jawab yang mendebarkan, Lina akhirnya meninggalkan ruangan dan masuk ke dalam mobil. Ia menghela nafas dalam sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Semua arahan dan saran bahkan nasehat bijak yang ia peroleh dari dokternya itu membuatnya merasa jauh lebih baik. Untuk sesaat ia seperti menjadi manusia baru, tenang tanpa pikiran negatif yang membebani hati. Selalu seperti itu, setiap selesai terapi, Lina pasti merasakannya dan itu tentu membuatnya tenang. “Ah, leganya. Terima kasih dokter Rizal-ku. Kau yang terbaik, meskipun aku tidak bisa memilikimu, aku puas karena bisa bertemu denganmu setiap aku merasa butuh, itu sudah cukup buatku. Hanya pikiran sederhana itu yang ada di dalam otaknya, ia tidak menyadari jika hatinya yang lugu dan polos itu akan terus terkikis oleh rasa obsesi yang akan membuat perasaannya sakit jika kenyataan tampak didepannya suatu saat nanti. Lina melaju bersama mobilnya menuju mall, hari ini ia akan bertemu dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di sana. Ia akan belanja sepuasnya, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali merasa lebih baik. Setelah menyerahkan mobilnya kepada penjaga untuk diparkirkan, ia pun memasuki Mall menuju teman-temannya berada. Melihat 2 orang gadis sedang melambaikan tangan kearahnya, Lina membalasnya dengan senyuman sambil terus berjalan menuju mereka. “Hai cantik…” sapa kedua temannya sambil bergantian memeluknya. “Kalian sudah lama?” tanya Lina sambil duduk di sofa. “Enggak juga, kamu baru aja sampai. Kami baru aja pesan makanan, kok,” ujar salah satu dari temannya menjawab. “Kamu juga cepat pesan, gih. Tunggu biar aku yang memanggil pelayannya. Mbak…!” seru temannya memanggil salah satu pelayan di restoran. Pelayan pun menghampiri mereka. setelah memilih makanan yang ia inginkan, pelayan itu pergi untuk menyiapkan. Beberapa menit kemudian, pelayan datang membawa makanan yang mereka pesan. Mereka pun makan dengan lahap sambil berbincang. “Habis ini kita kemana?” tanya salah satu temannya. “Iya, nih. Kita baru ketemu lagi. setelah beberapa minggu. Pokoknya kita harus puas-puasin hari ini. Karena besok aku sudah masuk kuliah lagi. Pokoknya kita habiskan waktu seharian ini untuk bersenang-senang,” timpal temannya yang lain. “Terserah kalian deh, aku ikut saja. kalau niatku sih mau shopping,” Jawab Lina. “Oh iya, Fir, kuliahmu sudah hampir selesai, ya?” tanya Lina. Rupanya setelah mendengar kata kuliah, sepertinya ia tertarik. “Eh belum sih. Masih semester 5 kan? aku ingin selesai tepat waktu agar bisa membantu papaku untuk mengurus perusahaan. Aku kan anak tunggal, siapa lagi yang akan dilimpahkan tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan papa kalau bukan aku, “ tutur Fira lalu meneguk air putihnya. “Iya, kuliah itu penting. Kita membekali diri kita dengan ilmu juga, kan? Meskipun orang tua kita kaya dan kita mendapatkan semua kemewahan dari itu, kita juga harus serius menuntut ilmu. Orang tua tidak selamanya hidup, suatu saat nanti mereka akan meninggalkan kita. Apa jadinya jika kita tidak mampu mengelola hasil dari pengorbanannya?” temannya yang satu lagi memberikan komentar. Lina jadi terdiam mendengar keterangan mereka, apa yang teman-temannya itu ucapkan memang sangatlah benar. Ia jadi selama ini ia tidak pernah mau melanjutkan pendidikan, ia pikir sekua itu tidak perlu, toh semua yang ia butuhkan telah ia dapatkan. Orang-orang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan menghidupi diri dan keluarga, kan? Jadi ia pikir, dirinya tidak perlu capek-capek kuliah untuk mendapatkan semua itu. Akan tetapi setelah mendengar ucapan mereka, entah kenapa ia merasa menyesal, kenapa tidak sedari dulu berpikir untuk kuliah? Seketika ucapan Winda terngiang dalam benaknya. Bagaimana ia dengan congkaknya menyebut dirinya sangat pantas untuk Rizal hanya karena melihatnya tidak kuliah. Harga dirinya langsung tercoreng saat itu. Awas saja, jika sudah kuliah nanti, aku akan membalasnya degan telak. “Entah kenapa mendengar ucapan kalian, aku jadi kepikiran untuk kuliah juga,” ucap Lina dengan suara pelan. Kedua temannya terkejut, mereka saling pandang, tidak percaya dengan apa yang baru saja terdengar. Benarkan temannya yang sama sekali anti dengan pendidikan ini berpikiran untuk kuliah. Gadis yang taunya hanya shopping dan berdandan serta berfoya-foya tanpa kontrol ini berubah pikiran untuk meneruskan pendidikan? Selama ini usaha mereka untuk membujuknya untuk kuliah selalau gagal, bahkan ada saat di mana teman mereka ini marah dan tidak mau bertemu lagi, hanya karena tidak henti-hentinya mempengaruhinya untuk kuliah. Dan sekarang, setelah sekian lama, akhirnya keajaiban itu muncul. “Hei, kenapa kalian menatapku seperti itu? kalian tidak percaya?” Lina jadi kesal melihat reaksi terkejut dari kedua temannya itu. “Bu-bukan begitu maksudku. Aku hanya kaget mendengar ucapanmu barusan, iya kan Fir?” jawan temannya. Fira pun mengangguk membenarkan. “Aku sepertinya ingin kuliah. Aku tidak mau terus-terusan di pandang enteng oleh orang. Benar kata kalian, jika orang tua kita meninggal, dan kita tidak punya bekal untuk meneruskan pekerjaannya. Disitulah sosok musuh baru akan muncul dan menghancurkan apa yang kita miliki. Sayangnya aku menyadarinya setalah mendengar ucapan kalian itu,” ucap Lina dengan penuh penyesalan. “Ah…!” Kedua temanya itu langsung memeluk Lina. Mereka merasa bahagia mendengar Lina benar-benar sadar arti pentingnya pendidikan. “Kami senang akhirnya pikiranmu terbuka juga…” ujar mereka. Ketiganya pun berpelukan merasakan kebahagiaan itu bersama. “Wah, ternyata kau di sisi, sayang?” Lina membeku, ia kenal suara ini. Mereka lalu melepas pelukan dan menoleh ke arah sumber suara tadi. Ketiganya berdiri hampir bersamaan dan menatap seorang wanita cantik berpakaian seksi yang sedang berdiri di hadapan mereka dengan senyum mengembang. Mata Lina melotot geram melihat wanita itu. Apalagi wanita itu kini menatapnya dengan dalam. “Kalian teman-temannya Lina, ya? wah ternyata kau punya banyak teman, sayang. Aku senang melihatnya.” Dengan sok akrab wanita itu mengusap kepala Lina dengan lembut. Tidak suka dengan perlakuan wanita itu, Lina menepis tangannya dengan dengan kasar. Kedua teman Lina terkejut. Mereka menatap ke arahnya seolah bertanya siapa wanita itu. Tanpa menjawab, Lina langsung menarik tangan wanita itu pergi menjauh dari teman-temannya. Membuat kedua temannya semakin kebingungan. “Kau ini apa-apaan? Jadi kau sengaja ingin membongkar kedokmu di hadapan teman-temanku? Kau berniat mengumumkan jika kau adalah ibu kandungku yang tidak bertanggung jawab itu, begitu?” hardik Lian penuh emosi. Kenapa wanita ini selalu muncul dan mengganggu ketenangan hidupnya? Wanita itu dengan santainya tersenyum seolah kemarahan Lina itu hanya angin lalu. “Sayang, jangan emosi begitu. Kau mau pingsan lagi seperti dulu? aku jadi sedih setelah mengetahui kau memiliki penyakit mental dan sedang menjalani terapy. Aku pikir mereka merawatmu dengan baik, tapi ternyata mereka membuatmu seperti itu ini. Mereka harus diberi perhitungan!” ucap wanita itu dengan emosi. “Kalau kau tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur. Kau tidak punya hak untuk bersikap seperti itu untukku,” sanggah Lina. “Jangan marah anakku, aku bersikap begini karena sangat menyayangimu. Aku sengaja menemuimu hanya untuk memastikan jika kau baik-baik saja setelah meninggalkanmu sendiri saat pingsan waktu itu,” jelas wanita itu. Lina menjadi semakin emosi, tapi kali ini ia bisa sedikit mengontrol dirinya agar amarahnya tidak memuncak. “Dengar, ya nyonya Laura. Aku sama sekali tidak butuh perhatianmu yang memuakkan itu. Aku kira kau sudah tahu keputusanku. Aku tidak sudi membantumu!” hardiknya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD