Menjadi lebih dekat

1140 Words
Lina mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke arah dokter Rizal. “Baik, Dokter. Hanya saja, tubuhku masih sedikit lemas.” Lina mulai menyampaikan keluhannya. “Apa dadamu tidak sesak lagi?” Lina menggeleng. Rizal tersenyum lagi. Melihat itu jantung Lina berdebar. Duh, kalau tersenyum kenapa tampannya gak ketulungan, sih? Ingat Lina, kontrol perasaanmu! Keluhnya dalam hati. “Aku periksa sebentar, ya?” ucap Rizal sambil memasang stetoskop di telinganya. “Hah?! me-memeriksa dadaku?” wajah Lina memerah, ia menjadi gugup. Rizal ingin menyentuh dadaku dengan tangannya itu? tapi tidak apa-apa sih, dokter kan memang selalu melakukan itu terhadap pasiennya. Ada apa denganku, sih. Sadar Lina-sadar… Lina menggeleng menghilangkan pikiran aneh yang tiba-tiba menjalar di benaknya. “Kamu bisa rebahan sebentar di kasur? kita akan cek interval nafasmu sekarang,” ucap Rizal sambil beranjak menuju kasur. Lina semakin gugup, kalau Rizal memeriksa degup jantungnya, sudah pasti ia akan tahu kalau dirinya sekarang tidak sedang baik-baik saja. Bagaimana ini? “Lina, ayo .” Rizal memanggil karena Lina hanya berdiri di tempatnya. “Ah, i-iya Dokter…” Lina lalu berjalan dengan pelan menuju ranjang khusus pasien. “Apa yang harus aku lakukan di sini, Dokter?” tanyanya gugup. Tamatlah riwayatnya, kali ini dirinya pasti akan ketahuan. Dan yang lebih parah, Rizal akan menyentuh… ah…rasanya ingin menghilang saja sekarang. “Kamu berbaring dan tidur menyamping,” ucap Rizal memberi arahan. Lina pun melakukan apa yang dokter Rizal minta. Ia tidur menyamping menghadap ke arah dokter Rizal. “Ah, bukan ke arahku, berbaliklah. Aku akan mengeceknya lewat punggungmu saja,” ucap Rizal memintanya untuk mengubah posisi. “Hah? ternyata seperti itu, hampir saja aku mati karena gugup. Lagipula, apa yang kupikirkan sebenarnya. Apa aku berharap dokter Rizal menyentuhku? Dasar otakku ini…" Lina tidak berhenti menggerutu dalam hati. “Lina, coba tarik nafasmu yang dalam lalu hembuskan perlahan, ya.” Lina pun menghela nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. ‘’Ya, seperti itu. Lakukan lagi sebanyak 3 kali,” perintah dokter. Lina lalu kembali menghela nafas dan membuangnya, melakukannya berulang sesuai dengan arahan dokter Rizal. Seketika ia merasa tenang, jantungnya yang berdebar cukup kuat berangsur tenang dan normal. “Baik, cukup. Kau boleh bangun,” ucap dokter Rizal sembari melepas alat di telinganya itu. “Jika kau merasa jantungmu berdebar tidak normal, lakukan terapi ini, sebanyak yang kau butuhkan. Ingat, obatmu jangan pernah sekalipun jauh darimu seperti tadi malam,” ucap dokter Rizal sambil menatapnya dengan dalam. Mereka kemudian pindah ke sofa. “Terus terang apa yang terjadi semalam, membuatku syok. Ternyata masih ada hal yang belum kau sampaikan padaku. Sekarang coba ceritakan apa yang terjadi? kenapa kau sampai sesak lagi?” tanya dokter itu. Mendengar pertanyaan itu, Lina menghela nafas dalam. Orang yang ada di hadapannya ini adalah dokternya, sudah seharusnya ia menceritakan semua yang terjadi untuk mencari solusi yang tepat untuknya. Ia harus bersikap profesional untuk sementara. “Ma-malam itu aku mendapat telepon dari Leo, dan kami pun berbincang…” Lina kemudian menceritakan apa pun terkait peristiwa malam itu, Rizal mendegarkan dengan seksama. Saat Lina masuk ke inti yang mengakibatkan Hyperventilasinya kambuh, Rizal merasa kesal. Berani-beraninya pria konyol itu bersikap seperti itu kepada pasien yang sudah mati-matian ia usahakan untuk sembuh. Ia sudah peringatkan Leo, tapi pria itu ternyata tidak mengerti juga. Namun, sebagai seorang ahli yang profesional, ia tidak mungkin menunjukkan emosinya atau ekspresi apa pun di hadapan pasien. Ia harus tetap tenang agar emosi pasien juga tidak terpengaruh. “Baik. Untuk solusi sementara, hindari mengangkat telepon darinya, sebisa mungkin jangan bertemu dengannya. Jikapun kalian terpaksa bertemu atau tidak sengaja berpapasan, kau yang haru lebih dahulu menghindar. Jangan hiraukan dia, kalau dia tetap nekat, lakukan tindakan defensif, seperti teriak atau hal yang akan memancing perhatian orang-orang. Pokoknya jangan memberinya kesempatan untuk mendekatimu. Kau mengerti?” ucap dokter. “Baik dokter, akan aku lakukan,” jawab Lina sambil tertunduk. “Lina, aku ingin kau sembuh seperti orang sehat pada umumnya, tapi proses itu akan memakan waktu yang lama. Akan bertambah lama jika orang di sekitarmu berpengaruh buruk. Jadi aku minta hindari hal-hal yang akan membuatmu stress. Emosimu sangat mudah meluap tapi tubuhmu tidak bisa mengontrolnya. Sebagai gantinya, lakukanlah hal atau apapun yang menyenangkan hatimu saja. Misalnya, rekreasi, membaca buku, novel atau apapun. Intinya, coba lakukan sesuatu yang akan membuatmu merasa terus bahagia,” jelas Rizal. “Dokter…” panggil Lina. “Iya, silakan bicara,” “Dokter bilang aku harus melakukan hal yang akan membuat hatiku bahagia. Sebenarnya ada satu hal yang sangat membuatku bahagia jika terus melakukannya,” ucap Lina. “Oya, bagus kalau begitu. Terus aja melakukannya. Terapi ini memang dibutuhkan untuk menguatkan mental dan emosimu untuk membiasakan pikiranmu tetap tenang.” “Apa dokter ingin tau, apa itu?” kembali Lina mengajukan pertanyaan. “Oh, bisa. Memangnya apa? rekreasi? Berenang, atau shopping?” dokter Rizal menebak. Lina menggeleng. “Lalu…? Rizal mulai penasaran. “Menyukaimu…” Hening, Rizal membeku di tempatnya. Apakah ia tidak salah dengar? Ia sedikit bingung. “Maksudmu?” Rizal bertanya. Seolah sadar dengan apa yang baru saja ia katakan, Lina pun berusaha untuk tetap tenang. “Ah, maksudku aku menyukai segala hal tentangmu. Kisah asmaramu dengan kakak Winda, kehidupanmu, dan mungkin cerita hidupmu. Jadi, jika dokter tidak keberatan, apakah bisa membaginya denganku?” ucapnya memberi alasan. 'Apa yang kau katakan itu, dasar bodoh. Sebentar lagi dokter Rizal akan tahu perasaanmu yang sebenarnya dan setelah itu, ia akan menghindari. Kau sedang menggali kuburanmu sendiri Lina. “Oh, begitu rupanya. Tidak masalah, aku akan membagi cerita hidupku jika itu yang kau inginkan. Tapi kau jangan berharap banyak, cerita hidupku tidak seindah yang orang-orang lihat di permukaan.” Tidak di sangka, pria ini menerima permintaanya begitu saja? itu berarti, langkahnya untuk menjadi lebih dekat dengan dokter tampannya ini bisa lebih mudah. Itu tidak salah, kan? aku hanya ingin sedikit lebih dekat dengannya. Bisa berbagi cerita dan saling mendukung. Lina pikir hal itu sangat wajar dilakukan. Ah, memikirkannya saja hatinya sudah berbunga-bunga. “Kenapa kau tersenyum? kau sesenang itu?” tanya dokter Rizal. “Ah i-iya dokter. Sebagai pengagum, wajar kan kalau aku sesenang ini?” jawabnya malu-malu. Rizal tersenyum ia lalu mengacak lembut kepala Lina. “Akan aku lakukan apapun untuk membuatmu bahagia agar kau bisa sembuh lebih cepat.” “Deg…!” Ucapan Rizal tak pelak menggetarkan relung hatinya. Kalimat itu, sungguh mampu meruntuhkan semua yang ia bangun agar bisa melupakannya, hancur berantakan. “Apa dokter serius?” tanyanya dengan suara bergetar. Rizalmenatapnya dengan dalam, seolah memberi keyakinan untuk pasiennya ini. “Iya, asal jangan memintaku untuk mencintaimu saja, ya…” ucapnya sambil terkekeh. Ah, sesaat Lina merasa di jatuhkan dari puncak yang tinggi sampai ke dasar. “Ah, dokter membuatku kecewa," protesnya dengan bibir cemberut. “Loh, kau tidak boleh mencintaiku, kan aku sudah punya kekasih. Aku tidak mau poligami,…” Rizal tersenyum. “Ah, dokter…” mereka pun tertawa lepas membuang segala ketegangan yang sempat mereka rasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD