Takut Akan Nasib Buruk

1104 Words
Wanita itu menatap Lina dengan sendu, mendengar perkataan kasar dari mulut putri kandungnya sendiri terasa seperti ribuan duri yang menusuk relung hatinya. Ia sadar, mungkin ini adalah karma dan hukuman untuknya karena telah menyia-nyiakannya waktu masih bayi. Sehingga sekarang dia sedang merasakan balasan dari apa yang ia perbuat. “Liana, apakah kau sadar dengan ucapanmu yang kasar itu, Nak? hati mama sedih. Kau tentunya tahu kan, dosa seorang anak jika membentak orang tuanya? mama tidak mau kau jadi anak yang durhaka.” Laura mencoba mengingatkan. “Hah… sekarang kau berbicara tentang dosa. Apakah kau masih ingat apa yang kau lakukan terhadapku di masa lalu? dan apa yang sedang kau rencanakan untuk orang tua yang telah berjasa besar dalam hidupku? Kau tidak tahu kalau semua itu adalah tumpukan dosa yang telah menimbunmu selama ini?” sergah Lina. “Aku tahu, aku sudah banyak melakukan dosa. Bahkan dosaku ini tidak mungkin bisa dimaafkan. Untuk itu, aku tidak ingin kau menjadi sepertiku, sayang. Kau jangan membenciku karena alasan aku melakukan itu demi hidup mewah dan nyamanmu sekarang. kau mengerti?” sahut Laura. Ia tidak suka ia disalahkan oleh anak yang selama ini ia lindungi. “Kau jangan menceramahi ku tentang dosa. Lebih baik kau pulang sekarang dan jangan pernah muncul dari hadapanku lagi.” Lina melangkah meninggalkan Laura. Sungguh, harinya seketika berubah buruk. Ia ingin penyembuh sekarang juga, dan penyembuhnya adalah dokter Rizal. Lina masuk ke dalam mobilnya, memukul-mukul setir dengan emosi, pikirannya kacau, ia sangat marah. Wanita itu kini selalu menemuinya, dan terus mengganggunya. Apa yang harus ia lakukan? ia ingin menyelesaikan masalah ini dengan cepat tapi ia belum menyampaikan hal ini kepada siapapun termasuk psikiaternya sendiri. Bagaimana jika wanita itu malah nekat dan lebih dulu mengatakan kepada orang tuanya? kalau orang tuanya tahu, apakah mereka akan mengusirnya? Ia tidak menapik kekhawatirannya tentang kehilangan segala kemewahan yang ia miliki sekarang, tapi ia lebih mencemaskan akan seperti apa pikiran ibunya apabila ia tahu selama ini ia membesarkan anak dari musuhnya. Keturunan dari orang yang telah menculik anak kandungnya dan menyiksanya. Ia tidak bisa bayangkan betapa hancur perasaan wanita yang sangat menyayanginya itu, sudah bisa dipastikan ibunya itu akan syok dan akan berubah dingin padanya dan setelah itu ia hanya tinggal menunggu waktu untuk diusir dari rumah yang telah memberinya semua kenyamanan dan kehangatan seumur hidupnya. Ia akan hidup terlunta, semua teman-teman dan sahabatnya akan ikut menghujat dirinya, dan meninggalkannya. Pada akhirnya ia tidak memiliki teman. Jika sudah demikian, bagaimana ia bisa bertahan? Air matanya terjatuh, hatinya berat sekali, tangannya menggenggam setir dengan kuat seakan hanya itu yang bisa menguatkan hatinya sekarang. Seketika nafasnya kembali merasa sesak, dadanya terasa seperti di hantam palu dan itu sangat menyakitkan. “Obat…obatku di mana?” dengan tangan gemetar memeriksa dashboard dan mencari botol penyelamatnya. Beruntung ia segera menemukannya. Ia lalu mengeluarkan 2 butir pil berwarna putih lonjong itu dan langsung menelannya, ia meneguk air putih seperti orang kehausan. Lega rasanya, dadanya langsung berangsur sembuh, nafasnya tidak sesak lagi. Ia lalu berusaha menenangkan pikirannya dengan menghela nafas dan menghembuskan ya berkali-kali sampai perasaannya kembali tenang. Tapi air matanya tidak kunjung berhenti mengalir. Hatinya sangat sedih, membayangkan hal yang akan menantinya nanti saat semua yang ia pikirkan tadi benar-benar terjadi. Siapa yang akan menolongnya? “Rizal….” tanpa sadar ia menyebut nama dokternya itu. Pikirannya seakan langsung tertuju dengan pria itu. Ah, bodoh, bagaimana bisa ia menolongnya dengan situasi seperti ini? Rizal sudah banyak kepetingan yang harus ia penuhi, bagaimana bisa ia memiiki waktu untuk menolongnya? Ia juga akan menikah dengan kekasihnya suatu hari dan tentu saja semua perhatian yang ia berikan itu pasti akan berakhir dan meninggalkannya, hubungan hangat itu akan berubah sangat dingin dan canggung. Pada akhirnya ia akan sendiri dalam penderitaan dan terjebak selamanya di dalam kondisi mental yang tidak stabil ini. “Aku baru menyadari, ternyata aku tidak memiliki siapa-siapa, semuanya akan pergi meninggalkanku. Tidak ada yang peduli denganku, mereka kan menertawakan ku dan mencampakkanku.” Lama ia terdiam merenungi nasib yang akan ia terima, ia menudukkan kepala di atas stir dan menangis. Tapi, seketika ia tersentak, seakan tersadar akan sesuatu. “Tidak, aku harus melakukan sesuatu. Sebelum itu terjadi aku akan berbicara dengan mama. Tapi sebelum itu aku harus menemui dokter Rizal dulu untuk membahas solusi tentang ini. Iya, aku akan menemui dokter sekarang juga,” gumannya dengan penuh semangat. Detik kemudian mobilnya pun melaju membawanya ke tempat yang ia ingun tuju. Lina memarkirkan mobilnya kembali ke halaman klinik. Tapi ia tidak melihat mobil dokter lagi. Apakah ia sudah selesai bekerja? ia pun segera turun dari mobil dan masuk ke dalam. “Permisi, Suster. Apa dokter Rizal ada?” tanyanya kepada suster Yuli. Suster yang terlihat sedang membereskan ruangan itu menoleh ke arahnya. “Oh, nona Lina? dokter baru saja pulang. Beliau sengaja menutup klinik lebih cepat karena ada hal yang harus ia selesaikan. Oh iya, ada apa?” Suster itu menjelaskan. “Oh, tidak suster. Sebenarnya ada sedikit hal yang ingin saya konsultasikan saat ini, tapi sepertinya dokter sibuk, ya? baiklah, kalau begitu saya permisi,” ucap Lina lalu melangkah meninggalkan tempat itu. “Oh, tunggu sebentar Nona!” Lina menghentikan langkah dan menoleh ke arah suster itu. “Kalau memang penting, dokter sebenarnya tidak membatasi pasiennya untuk meminta bantuan kapanpun. Jadi Nona bisa datang ke apartemennya. Tunggu sebentar, saya beri alamatnya,” ucap suster itu sambil membuka laci dan mengeluarkan dan pulpen dari dalam. Ia lalu menulis sesuatu di atas kertas kecil lalu menyerahkan kepada Lina. “Ini..” “Oh, terima kasih, suster baik sekali.” Lina menyanjung. “Ini sudah kewajiban saya, Nona.” Ucap suster itu sambil tersenyum. Setelah berpamitan, Lina pun bergegas masuk ke dalam mobilnya dan melaju menuju alamat yang tertulis. Dengan perasaan yang sedang berkecamuk, ia terus menyetir dengan fokus menuju tempat itu. Mobilnya berhenti di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi, ada beberapa bangunan yang sama yang bersebelahan, Bangunan itu adalah salah satu kawasan apartemen mewah yang juga biasa ditempati para konglomerat dan para artis ternama. Ia menghela nafas dalam lalu mengeluarkan ponselnya. Ia pun menelepon Rizal. “Ha-halo dokter, saya ingin bertemu sekarang.” ucapnya memberi tahu. “Oh, apa harus sekarang, ya? Apa terjadi sesuatu?” dokter Rizal terdengar sedikit keberatan walaupun ia menyampaikannya dengan sangat halus. “Ah, i-iya sih. Tapi kalau dokter sibuk aku bisa menunggu. Oh, iya, tapi aku kembali ke klinik tapi suster memberikanku alamat dokter. Jadi sekarang aku sudah berada di lobi. Tapi, saya akan pulang kok. Nanti kalau dokter sudah punya banyak waktu aku baru akan kembali. Maaf ya dokter.” Lina hendak menutup sambungan teleponnya tapi dokter Rizal menahan. “Hmm, baiklah. Aku akan turun menjemputmu. Tunggu di sana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD