Cinta yang terus bersemi

1133 Words
Cinta tak terprediksi kapan akan merasuk, Cinta juga tak mengenal di hati siapa akan bertahta. Tapi cinta bisa memilih untuk tidak pamrih. *** Dengan penuh kelembutan Rizal memeluk tubuh Lina, seketika kehangatan dari tubuh pria itu mengalir merasuk ke dalam tubuh Lina menciptakan rasa tenang dan bahagia. Lina tersenyum di dalam dekapan pria yang ia cintai ini. Ingin sekali menghentikan waktu agar ia bisa merasakan setiap detik rasa indah itu. Sakit yang terasa di bagian d**a, berangsur menghilang digantikan dengan rasa bahagia tak terhingga. Lina menjadi semakin mencintainya. “Apa sekarang kau sudah lebih baik?” suara Rizal seketika membuyarkan impiannya, membuatnya menyadari jika semua yang sedang ia rasakan ini hanya ilusi semata. Ia mengangguk. “Iya,” lirihnya. “Kita pulang sekarang, ya. Mobilmu akan di bawa ke bengkel,” ucap Rizal, dengan perlahan ia melepas pelukannya dan menggantinya dengan selimut agar Lina tidak terlalu kedinginan, bagi Lina, berat sekali rasanya melepas pelukan hangat itu. “Dokter…” panggilnya. “Iya?” Rizal menoleh dan menatapnya. “Terima kasih telah menolongku…” ucapnya. “Iya, sama-sama.” Rizal tersenyum lalu melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. *** Lina membuka mata saat ia merasa tubuhnya berpindah tempat. Saat menyadari jika ia digendong oleh Rizal masuk ke dalam kamarnya, Lina pura-pura tertidur. Ia tidak ingin dokter Rizal menurunkannya saat menyadari jika ia ternyata sudah terbangun sejak tadi. Jantungnya berdegup kencang saat pria itu menaruhnya di atas kasur. Ah, kenapa pria ini selalu memberinya perlakuan yang manis? membuatnya gagal untuk berpaling. ‘Kau seharusnya jangan memperlakukanku seperti ini, dokter. Apakah kau tahu, sekarang ini aku berusaha menghilangkanmu dari hatiku. Akan tetapi, jika kau terus bersikap seperti ini, bagaimana aku bisa melupakanmu? “Untuk sementara jangan nyalakan pendingin udara dulu. Tunggu sampai tubuhnya berkeringat. Tapi Tante tidak perlu khawatir, dia sudah baik-baik saja,” ucap dokter Rizal kepada ibu Lina. “Kenapa akhir-akhir ini Lina kerap mengalami sesak, dokter? Padahal beberapa bulan belakangan ini, penyakitnya itu sudah jarang muncul,” tanya sang ibu “Lina kemungkinan terkena stress akut. Sikap over reaktif yang selama ini tidak terkontrol serta pergaulan bebas, menyebabkan kebiasaan buruk yang sudah mengakar dalam pikirannya, tidak akan mudah hilang begitu saja. sehingga, Saat ia menjalani mengobatan, dan mencoba meninggalkan semua itu, pikiran alam bawah sadarnya secara tidak langsung mengontrol otak untuk siaga. Dimana saat ia menghadapi tekanan atau sesuatu yang membuat pikirannya itu terganggu, emosinya akan mengambil alih. Alhasil, reaksi tubuhnya juga akan beraksi berlebihan. Menangani masalah kejiwaan seperti ini, kita dituntut untuk bersabar. Karena prosesnya tidak mudah, waktu yang di gunakan juga tidak sebentar. Tapi, kalau aku perhatikan, Lina sudah banyak perubahan. Itu kemajuan yang baik. Tinggal bagaimana cara kita untuk menjaga emosinya tetap stabil. Sehingga syok tubuhnya juga akan jarang terjadi dan hilang secara perlahan,” tutur dokter Rizal panjang lebar. “Iya, Dokter. Selama ini aku juga berusaha yang terbaik untuk membantu proses penyembuhan Lina. Aku harap seiring dengan bertambahnya waktu, Lina akan semakin membaik,” ucap Yuanita. Rizal mengangguk, ia juga berharap keinginan orang tua Lina akan terwujud. Karena ini adalah tanggung jawabnya, ia akan bekerja semaksimal mungkin untuk Lina. “Iya, saya juga sangat mengharapkan itu tante. Oh iya, malam semakin larut. Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Rizal pamit. “Iya, terima kasih dokter. Hati-hati di jalan,” ucap Yuanita sambil mengantar dokter itu keluar. Lina membuka mata, ia menghembuskan nafas lega. Akhirnya dokter itu pergi juga. Ia sudah sangat khawatir, jika dokter Rizal bertahan sebentar saja di dalam kamarnya, ia pasti akan ketahuan. “Hah… bisa gila aku jika seperti ini.” gumannya di dalam hati. Pintunya terbuka dan sang ibu masuk. Lina kembali berpura-pura tertidur. “Mama tahu kalau sejak tadi kau sudah terbangun, sayang,” ucap Yuanita tiba-tiba. Lina terkejut, ia tidak menyangka aktingnya akan semudah itu dibongkar oleh ibunya. “Ah mama, kok tahu sih kalau aku hanya pura-pura? Padahal aku sudah berusaha maksimal,” ucap Lina memasang wajah kecewa. Yuanita tertawa, ia lalu mencium kening sang putri. “Kamu sudah berakting dengan baik, kok, sayang. Buktinya dokter Rizal tidak menyadarinya, kan? Kalau Mama ini adalah ibumu, seorang ibu akan dengan cepat mengenal tabiat anaknya degan mudah. Karena perasaan seorang ibu sangat tajam jika menyangkut buah hatinya. “Ah, mama, aku sayang sekali padamu…” Lina merentangkan tangannya dan meminta sang ibu untuk memeluknya. Yuanita menyambutnya dan mereka pun berpelukan erat. “Kalau Mama tahu, itu berarti, Mama bisa membaca pikiran dan isi hatiku, dong?” tanya Lina. “Mama tidak bisa mengetahui isi hatimu, sayang. Tapi insting Mama sangat tajam. Tentu saja Mama tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya terhadap doktermu itu.” “Apa?” wajah Lina memerah, ia seketika merasa malu, ada orang lain yang menyadari perasaannya terhadap Rizal. Meskipun orang itu adalah ibunya sendiri. “Ti-tidak kok, Ma. Aku hanya menyukainya sebatas profesionalisme semata. Aku tidak sungguh menyukainya seperti yang mama pikirkan?” bantah Lina membela diri. Ia tidak mau jika ibunya sampai berpikir yang bukan-bukan. Kening Yuanita berkerut, “ Loh memangnya kau tahu apa yang Mama pikirkan? Dan, memangnya mama pernah bilang jika kau menyukai dokter Rizal? Mama kan hanya bilang kalau mama tahu perasaanmu yang sebenarnya. Siapa sangka kau sendiri yang ternyata membongkarnya,” ucap Yuanita, ia tersenyum melihat putrinya ini gelagapan dengan wajah memerah. “Eh, ah… ke..kenapa mama menipuku seperti ini, sih? Mama curang!” protes Lina dengan bibir manyun, wajahnya yang cemberut terlihat semaki menggemaskan. Yuanita membelai rambut putrinya itu dengan lembut. “Sayang, Dokter Rizal memang pria yang sangat baik, wajar jika kau menyukainya. Tapi Mama harap kau tidak lupa kalau dia sudah memiliki orang yang dia sayangi. Perasaan yang terlanjur tumbuh memang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja, tapi tetaplah berusaha untuk menghilangkannya, sebelum perasaan itu akan menjadi boomerang untuk dirimu sendiri. kau mengerti kan , Lina?” terang sang ibu. Lina hanya terdiam, “Aku tahu aku salah, Ma. Tapi sepertinya perasaan ini sudah terlalu kuat mengakar di dalam relung hatiku. Sehingga jika aku berusaha untuk menghilangkannya, aku juga akan merasakan sakit. Biarlah aku terus merasakan cinta ini, aku tidak akan mengharapkan apa-apa. Biarlah hanya aku saja, yang merasakannya,” ucapnya dalam hati. “Iya, ma…” “Bagus, ini sudah larut malam. Kalau begitu Mama kembali ke kamar, ya? kau juga harus istirahat. Besok jadwal terapimu, kan? ingat kontrol persaanmu,” ucap sang ibu lalu meninggalkan ruangan. Lina menghela nafas panjang, ia tidak yakin bisa mengontrol Perasaannya. Ini sangat indah untuk dihentikan, Mama. Sangat indah… Lina tersenyum lalu memejamkan mata hingga mimpi mengambil alih kesadarannya membawanya terbang jauh. *** Lina sudah duduk di hadapan dokter Rizal, menunggu proses konseling yang sebentar lagi akan dijalankan. Ia duduk dengan sedikit gelisah, tapi berusaha untuk bersikap tenang. “Dokter Rizal memegang ponsel di tangan dan menatap Lina dengan senyum indah yang menghiasi wajah tampannya. “Bagaimana kabarmu, sekarang?” Dokter Rizal memulai pertanyaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD