6. Through the Mirror

1963 Words
"Aku membencinya," kata Lamia tiba-tiba. Anna mengerti siapa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. "Aku juga tidak menyukainya." Masker di wajah Lamia hampir retak saat dia tertawa. "Kau harus melihat wajahnya, Anna. Buruk rupa seperti hantu basah kuyup." "Kau sengaja mendorongnya ke kolam?" tanya Anna. "Aku tidak sengaja. Serius." Sekelebat ingatan masuk ke dalam kepalanya. Sudah seminggu sejak dekorasi pesta di kelab milik Rex waktu itu. Sejak insiden Rose tanpa sengaja terdorong masuk kolam, Lamia tidak datang saat acara utama kelab itu berlangsung keesokan harinya. Lamia menyerahkan tugas penuh pada para bawahan. Malam itu dia telah puas dimaki-maki oleh Rose dengan rentetan kalimatnya yang tajam. Lamia memang tidak membalasnya dan bersikap seperti tidak sengaja melakukannya. Memang tidak sengaja, tapi dia senang melihat wanita itu tercebur. Pada akhirnya kecoak mainan itu hanyut entah ke mana. Dan Rex bahkan tidak membela siapa pun setelah keributan itu terjadi—meskipun dia punya banyak celah untuk menyalahkan Lamia, tapi dia lebih memilih untuk menenangkan Rose. Pria itu netral. "Aku penasaran mengenai hubungan mereka," kata Lamia tiba-tiba. "Jangan begitu, rasa penasaran bisa membunuh seekor burung." Lamia memutar bola mata. "Seharusnya seorang lelaki harus membela pacarnya ketika dia sedang mendapat masalah, 'kan?" Wajah Anna yang berlumuran masker hijau akhirnya menoleh. "Maksudmu kau lebih suka dimaki oleh Rex? Aku tak tahu kalau kau itu masokis." Kejadian di kelab malam itu tak bisa hilang dari pikiran Lamia sampai saat ini. Selain mengingat bagaimana tajamnya mulut Rose memaki, dia juga harus ingat bagaimana tubuhnya menindihi Rex di bawahnya. Untung saja tidak ada yang menyoraki mereka, mungkin takut, dan bahkan tidak ada yang menolong mereka hingga adegan itu berlangsung sekian menit lamanya. Lamia segera mengibaskan ingatan itu. "Bukan begitu maksudku, aku—" Anna melambaikan tangannya acuh tak acuh sambil membalas, "Ya, ya, aku mengerti, tak perlu kau jelaskan." Alis Lamia naik. "Apa yang kau mengerti?" "Tidak ada." Ruang khusus anggota di salon kecantikan itu hening sesaat, terdengar suara kertas tergores di suatu tempat di ruangan itu, sehingga Lamia teringat dengan Mikhail. Anak berusia empat tahun itu sedang sibuk pada buku gambar yang membuatnya diam dan fokus. Anna dan Lamia sejujurnya hampir pengangguran karena sekarang adalah weekend. Jadi keduanya memutuskan untuk mempercantik diri. Ini jelas ide Annabeth Federe. "Miki, jangan jauh-jauh dari Mom." Lamia bersuara hanya untuk mencairkan suasana sementara. Tetapi anak kecil itu tidak menjawab sama sekali, pasif seperti robot mainan. "Mia, penawaranku masih berlaku omong-omong." Lamia menatap sahabatnya lagi. "Apa?" "Tentang Richie," Anna menggesek ujung kuku-kukunya dengan nail file. "Sepupu Klaus yang single. Ingat?" Bagaimana mungkin dia lupa tentang lelaki yang disebut Anna setiap saat? Sahabatnya itu pasti berharap Lamia akan tertarik. Meskipun niat Anna sebenarnya baik, bukan berarti Lamia bisa menyetujuinya begitu saja. Baginya untuk mengenal lelaki lagi, itu bukan urusan yang mudah. Jika pada akhirnya dia memutuskan untuk melakukan itu, banyak ritual yang akan dia jalani; seperti mengenal satu sama lain dengan proses yang rumit, membuat calon pacarnya itu menerima Mikhail, dan lain-lain. Lamia jelas tidak bisa menerima lelaki sembarangan. Apalagi yang tidak bisa menerima kehadiran Mikhail di belakangnya. Sekarang sudah terlalu banyak penipu, di satu sisi kau melihat seseorang terlihat baik dan ramah, tapi di sisi lainnya dia menyembunyikan keburukannya yang busuk. Sungguh, Lamia tidak ingin melewati permasalahan seperti itu—dia tidak bisa membuat Mikhail disakiti. "Aku rasa itu tidak perlu," kata Lamia dengan yakin. "Hei! Dia kaya, tampan dan mapan. Apalagi masalahnya?" Anna menambahkan setelah mendengar sahabatnya menghela napas. "Tapi tidak sekarang, Anna, aku—" "Apa?" potong si wanita blonde itu tajam. "Kau takut dengan 'kutukan R' yang terjadi padamu?" Lamia melirik kebingungan. "Kau selalu sial dengan pria berinisial R. Perlu aku sebutkan? Yeah. Reiner dan Rex, kalau kau menerima Richie juga, mungkin kau takut sial lagi, bukankah begitu pikiranmu? Apa aku benar?" Mulut Lamia menganga. "Aku bahkan baru menyadarinya. Mereka benar-benar punya inisial yang sama." Dan baginya, mungkin seluruh pria yang punya nama berawalan huruf R adalah bajingaan. Sebelum Anna menjawab, Lamia menambahkan, "Dan sebenarnya itu bukan alasannya, aku hanya memikirkan Miki. Aku harus mempertimbangkan banyak hal. Aku tidak mau, dia merasa tidak nyaman." Setelah kata-kata itu jatuh, pandangan Lamia jatuh pada anak kecil berusia empat tahun yang sedang menggambar. Anak kecil itu bahkan tidak tahu bahwa tatapan cinta mengalir padanya hampir seperti sepuluh juta kunang-kunang yang terbang di udara. Itu adalah ketulusan seorang ibu. Anna ikut melihat di mana pandangan cinta kasih itu dan mendesah. Tidak bisa berkomentar apa pun. Setengah jam berikutnya, dua pelayan salon masuk ruangan dan duduk masing-masing di bawah kaki tempat duduk. Dua pelayan itu nampaknya sudah mengingat service apa yang diminta pelanggaann mereka sehingga langsung bertindak. Kuku-kuku Lamia yang kering digosoknya dengan lembut, dibaluri beberapa jenis kutek dari yang transparan sampai yang berwarna, ditambah glitter warna-warni juga. Kegiatan itu tak butuh waktu lama. Selama itu pula pikiran Lamia melayang entah ke mana karena memikirkan banyak hal. Matanya yang cokelat gelap menatap lurus pantulan kaca di depannya, namun tidak ada yang benar-benar dilihatnya. Hanya saja otaknya secara penuh diisi oleh nama Rex. Sial sekali. Seharusnya Lamia sudah lupa dengan lelaki bajingaan itu sejak dia melahirkan Mikhail. Apalagi tidak ada tanda-tanda bahwa Rex akan bertanggung jawab, lelaki itu mungkin hanya akan pura-pura lupa terus menerus, bahkan akan terus menyangkal sampai janggutnya memutih. Apa memang bukan Rex orangnya? Tunggu dulu. Ini menjadi hal yang yang dipikirkan Lamia juga sejak kemarin-kemarin, apa mungkin Rex sebenarnya memang tidak mengenalnya dan Lamia salah orang? "Apa yang kau pikirkan, Mia? Sudah selesai," tegur Anna, mengagetkannya dalam sekejap, wanita itu sudah berdiri dan pelayan yang melayaninya sedang menunggunya. "Kau harus mencuci wajahmu." "Eh, oh, tentu." Walaupun tidak berkomentar lebih, Anna tetap saja merasa aneh dengan sikap Lamia. Selama ini Anna-lah yang menemani single mother itu menjalani hari-hari terpuruknya dan dia tahu bagaimana penderitaan wanita itu. Sedikit banyak dia merasa bersalah karena dulu pernah menyeret Lamia dalam lingkarannya. "Anna, aku sedang memikirkan sesuatu," tukas Lamia tiba-tiba, sebelum melanjutkan, "Bagaimana menurutmu, jika ternyata aku salah orang?" Kalimat itu begitu ambigu untuk diterima Anna, maka dahinya mengerut dalam-dalan sebagai tanda bingung. Mereka telah duduk di depan cermin setelah membilas wajah. Air mengalir di pipi segera diusap dengan hati-hati oleh si pelayan. Karena Lamia tidak melanjutkan kalimatnya, Anna bertanya, "Apa maksudmu?" "Kau yakin, orang yang kau kenalkan padaku adalah Rex?" "Tentu saja dia Rex, apa maksud ucapanmu?" "Apa kau yakin dia pemilik kelab itu?" "Mia, apa kau pikir pemilik Bar Malochre ada dua orang?" Dahi Anna mengerut pedih. "Kuberi tahu kau, Rex tidak punya saudara laki-laki dan ... kelab itu sudah menjadi milik Rex sejak pertama kali dibangun, bukan diberikan oleh orang lain." "Tapi, apa kau tidak merasa janggal?" Janggal, huh? Anna sebenarnya merasakan kejanggalan itu, namun hanya sedikit—seperti satu butir cokelat dalam semangkuk eskrim besar, sekecil itu. Rex masih orang yang sama dengan yang ditemui Anna bertahun-tahun lalu saat dia remaja dan menjadi pengunjung tetap. Janggutnya, tubuhnya, warna kulit, aura, senyum dan kebaikannya; itu semua masih sama di mata Anna. Kalau ada yang janggal, Anna tidak menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskan apa yang janggal dari sikap Rex saat ini. "Aku tidak merasa janggal," jawab Anna. "Dia mengingatmu, Anna. Tapi dia tidak mengingatku sama sekali. Itu seharusnya menjadi sesuatu yang aneh." Seperti ada api yang terpercik tiba-tiba di ujung korek yang lembab, Anna mulai sedikit terpancing. "Kau benar juga." Lamia tidak menjawab karena wajahnya digiring menghadap ke depan. "Apa aku perlu menanyakannya pada Rex? Kalau dipikir-pikir aku belum membahas tentang ini dengannya." "Tidak perlu." "Kenapa?" Lamia tidak segera menjawab. "Anna, aku tiba-tiba merasa takut. Bagaimana jika aku memang salah orang?" Lamia meracau setelahnya. "Begini polanya; saat itu yang ingin kau kenalkan padaku benar Rex, tapi ternyata yang tidur denganku malam itu bukan Rex. Bagaimana menurutmu?" "Hentikan spekulasi mengerikan itu, Mia. Kau tidak salah orang." "Kau tidak ada di sana saat hal itu terjadi padaku. Bagaimana mungkin kau bisa yakin?" Anna terbungkam. "Oh, astaga, aku benar-benar salah orang." Lagi-lagi Anna tidak punya pembelaan lain. Mikhail menyobek kertas gambarnya dengan wajah kesal, membungkuk lagi di lantai untuk mencoret gambar baru. Anak lelaki kecil itu punya sifat yang pasif sejak dulu, tapi dia tipe yang gampang fokus akan sesuatu. Sembari memikirkan jawaban apa yang harus dikeluarkan, Anna terus memandang Mikhail. "Kurasa tidak." Pandangan Anna masih pada Mikhail saat mengatakan itu. "Kau lihat Miki. Dia punya mata yang sama dengan Rex." Lamia otomatis menatap anak semata wayangnya. Dia bersikeras. "Ada banyak orang di dunia ini yang punya mata biru." "Oke, katakanlah seperti itu, tapi kau tidak bisa memungkiri bahwa bentuk wajah dan matanya adalah kloningan dari Rex." "Sudah cukup, Anna." Wajah Lamia menunjukkan keputusasaan yang sama seperti lima tahun lalu. Anna merasa hatinya teremat kuat oleh rasa sakit. Dia tidak bisa melihat sahabatnya seperti ini. Maka dia segera memegang bahu Lamia dengan lembut. "Dengarkan aku, kau tidak salah orang." Setiap kata ditekankan oleh Anna. "Aku akan bertanya pada Rex besok, aku akan membuat janji padanya." "Tidak, kumohon jangan." "Kenapa?" Anna hampir hilang kesabaran. "Rex akan berpikir kalau aku ini murahan. Kalau kau bertanya padanya, dia akan berpikir seolah-olah aku ini naksir padanya." "Kau memang naksir padanya." "Aku tidak sedang bercanda." "Aku juga tidak," jawab Anna, enteng. "Kau tidak bisa melarikan diri dari takdirmu, Mia. Otakmu selalu memikirkan tentang Rex—sejak lima tahun lalu. Kau selalu terjebak dalam lingkarannya, kau mengharapkan dia." Kalimat itu tidak terdengar menyenangkan di telinga Lamia. "Aku tidak mengharapkannya," gumamnya kecut. Wajahnya sudah kering diusap dan tampak mengilat di bawah lampu terang di langit-langit. Bulu matanya yang masih agak basah menyatu sehingga terasa ganjal saat berkedip. Lamia menatap lurus pada bayangan dirinya di dalam cermin itu seorang diri. Pikirannya kosong. Tidak ada siapa pun seolah-olah hanya ada ruangan putih. Sepasang tangan tiba-tiba muncul dari belakangnya, memeluknya. Kesepuluh jemari itu panjang dan ramping, berbulu tipis di setiap rongga. Tangan itu berhubungan langsung dengan sosok yang tiba-tiba muncul pada bayangan cermin. Wajah keras dengan rahang asimetris berdiam diri tanpa senyum, janggutnya begitu menggoda. Tampan sekali. Dia seperti gambaran seorang bangsawan kaya dalam kerajaan besar di masa lampau. Sosoknya tinggi, indah dan menakjubkan. Wajah itu mirip dengan ... Rex Winston. "Mia? Lamia?!" Bayangan Rex hilang dalam sekejap, juga perasaan menyengat ketika lengan kekar melingkari bahunya. Lamia tergagap. Yang ada hanya Anna yang menunjukkan wajah cemas. Wajah seperti ini jarang sekali Lamia lihat dari mimik muka sahabatnya tersebut. Ternyata sudah setengah jam berlalu sejak bayangan di cermin muncul. Yang ternyata hanya siluet semu yang dibuat oleh alam bawah sadarnya. Apa ini tanda bahwa Lamia mulai tidak waras? "Oh, Lamia, kumohon jangan seperti ini." Pelukan hangat di bahunya segera mengangkat separuh beban yang Lamia pikul di dadanya, membuat gejolak menegangkan di benaknya luruh. Secara naluriah, dia mengusap lengan Anna dengan lemah lembut dan penuh ketulusan. Adegan itu berlangsung lebih lama dari lima menit, tanpa ada sepatah kata apa pun. Lewat sentuhan itu, mereka menenangkan hati yang gundah satu sama lain. Lamia merasa nyaman. "Aku akan membawamu belanja hari ini. Kau harus melupakan pikiran burukmu." Mata Anna masih menatap sarat cemas. "Dan kau tidak boleh menolak!" "Mn." Lalu wanita yang telah menjadi sahabatnya selama sepuluh tahun itu segera kembali ke karakter aslinya. Rok gaunnya yang pendek ditarik sedikit ke bawah saat dia berdiri. Tas mahalnya ditenteng dengan elegan. "Uang jajan Klaus belum habis. Bantu aku menghabiskannya," katanya. "Aku punya gaji dari Rex—" Kalimat itu terhenti di tengah-tengah karena tersebut nama keramat di dalamnya. Lamia berdeham cepat-cepat membersihkan tenggorokannya yang tercekat. "Ini tidak akan berhasil," gumamnya tiba-tiba, lalu menatap Anna. "Balas dendam itu tak akan berhasil, 'kan?" "Kau yang menentukan apakah itu akan berhasil atau tidak." Lamia terbungkam. Anna, "Kalau kau ingin berhasil, buang perasaan ragumu, Mia. Fokus untuk menyakitinya. Ingat apa yang dia lakukan lima tahun lalu." Di cermin, masih ada bayangan Rex samar-samar tanpa senyum. Lalu menghilang saat Lamia mengedipkan mata. Ini benar-benar ilusi yang kurang ajar! "Ingat Miki juga." Dan kalimat terakhir itu membuat perasaan berat di dadanya meluruh. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD