7. Unexpected Meeting

2129 Words
Walaupun mulut berkata siap untuk melanjutkan balas dendam, sejujurnya secara mental Lamia belum siap. Tiga bulan terlewati begitu cepat seperti arus sungai yang mengalir deras. Tanpa terasa selama itu pula, dia menulikan telinga dari semua hal tentang Rex, membuat Anna juga tidak berani membahas tentang lelaki itu satu huruf pun. Karena sedang sepi job di akhir bulan, untuk membuat pikiran konyolnya hilang, Lamia banyak menghabiskan waktu bersama dengan Mikhail. Dia bahkan mengantar jemput anak itu di playground setiap hari, sampai membuat para pengajar heran. "Kau mau eskrim?" Mikhail menoleh dari mainan robot yang dilihatnya di rak toko, lalu mengangguk dan kembali melihat mainan itu. "Kau belum coba rasa kacang, aku akan membelikanmu yang itu." Troli didorong sampai pada kulkas eskrim dan Lamia mengambil beberapa bungkus eskrim kacang dari berbagai merek. Juga rasa stoberi untuknya. Mikhail dengan semangat melirik eskrim-eskrim yang ditaruh Lamia di keranjang. Matanya berbinar-binar seperti bintang. "Kau sudah tidak sabar memakannya?" tanya Lamia geli. "Mom akan membawamu ke taman, kita makan eskrim di sana, bagaimana menurutmu?" Sepi job memang menjengkelkan, tapi dia telah hapal pola pekerjaan yang digelutinya bertahun-tahun. Jarang sekali ada pasangan kekasih yang memakai jasanya di akhir bulan, biasanya pasangan-pasangan itu akan datang di awal sampai tengah bulan berlangsung-barulah saat itu kantor akan sibuk. Semenjak dia menambah daftar jasa party planner pada pemasarannya, tak dipungkiri usahanya memang sedikit dikenal banyak orang. Well, terima kasih buat Rex, untuk yang satu ini. Bibirnya tersenyum getir. Rex, huh? Ternyata walaupun dia berusaha tidak memikirkannya, lelaki itu tetap masuk ke dalam kepalanya dengan lancang. Benar kata Anna, Lamia telah terjebak pada lingkaran lelaki itu. "Mom bayar ini dulu, kau jangan ke mana-mana." Kepala kecil itu mengangguk pelan dengan lucu. Dengan segera Lamia melanjutkan antrean yang telah ada, sambil melamun dia mulai memikirkan Mikhail—tentang bagaimana anak itu sangat pendiam. Dia tahu bahwa Mikhail sebenarnya sangat ingin mainan robot yang dipandanginya sejak tadi. Sebagai ibu, bukannya dia tak peka atau semacamnya, tapi Lamia ingin anak itu meminta apa yang dia inginkan padanya. Selama anak itu tumbuh dan mengerti, jarang sekali dia membuka mulut untuk berbicara. Pernah suatu ketika, Lamia mengajak Mikhail ke dokter untuk diperiksa. Dokter mengatakan tak ada yang aneh dengan Mikhail dan menyimpulkan bahwa anaknya hanya pemalu. Sang dokter bahkan menjelaskan bahwa karakter anak seusianya masih sangat beragam, kebanyakan dari mereka tidak begitu tahu cara mengekspresikan diri sehingga sering dianggap salah. Pada awalnya Lamia mengerti apa kata dokter itu, tapi setelah setiap detik berada di dekat Mikhail, dia sadar bahwa anaknya bukan pemalu—tapi dia tak ingin bicara. Mikhail hanya berbicara saat Lamia menanyakan sesuatu yang tak bisa dijawab hanya dengan anggukan atau gelengan. Sehingga suatu waktu, Lamia tiap malam harus menyiapkan banyak pertanyaan yang bervariasi untuk memancingnya bersuara. "Ada tambahan lagi, Miss?" "Tidak." Lamia mengeluarkan uang pas dan belanjaan diserahkan padanya, namun begitu dia berbalik, Mikhail tak ada di belakangnya. "Miki?" Matanya mengitari beberapa tempat yang bisa dijangkau, supermarket itu cukup padat dan sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda Mikhail. Lamia berjalan agak cepat sambil menenteng kantung belanjanya, masuk ke lorong-lorong gondola. Tetapi Mikhail sama sekali tidak ada. "Oh, Tuhan, ke mana dia?" Lamia mulai merasa panik dan gerah sehingga dia harus mengikat rambutnya ke atas. Sementara belanjaannya yang berat membuat jari-jarinya memerah. Seorang penjaga menghampirinya. Bertampang curiga. "Ada yang bisa kubantu, Miss?" Saat itu pula dia mengingat tentang robot mainan, dia segera menjawab, 'tidak' pada penjaga itu, lalu berlari ke lorong mainan. Tetap saja, dia tidak melihat anaknya ada di sana. "Miss?" Penjaga itu rupanya ada di belakangnya, "Terjadi sesuatu? Mungkin aku bisa membantu——" "Anakku," potong Lamia putus asa. "Dia sangat kecil, usianya empat tahun. Dia setinggi ini. Apa kau melihatnya?" Tangan Lamia berada di pahanya untuk memberitahu kira-kira tinggi badan Mikhail. Penjaga itu nampaknya mengerti dan sigap. "Boleh kutahu ciri-cirinya?" "Rambutnya berwarna cokelat, matanya biru gelap dan kulitnya putih, dia sangat imut." Kata imut keluar begitu saja dari mulutnya sehingga Lamia mengumpat. 'For god's sake! Semua anak kecil itu imut, Mia!' Matanya berkaca-kaca saat melanjutkan, "Miki sangat pendiam, dia pasti tidak tahu kalau sedang tersesat. Aku harus bagaimana?" Penculikan anak sedang marak di media sosial, orang-orang jahat tak bertanggung jawab itu kabarnya menjual anak-anak kecil untuk diambil orang tubuhnya yang bernilai tinggi. Bagaimana kalau Mikhail sampai .... "Oh, Miki, kau di mana, Sayang?" Air mata Lamia akhirnya jatuh. "Supermarket ini cukup luas dan ramai, juga ada banyak lorong tinggi. Bagaimana kalau kita buat pengumuman melalui speaker? Bisakah kau ikut denganku ke bagian informasi?" Mungkin sebelumnya penjaga itu agak dingin ketika menyapanya karena Lamia menenteng kantung belanja yang terisi ke dalam lorong-lorong, tapi saat tahu masalah yang terjadi, rupanya penjaga itu cukup kompeten. Tempat informasi tak kalah ramai dengan sudut-sudut lain. Di sisi kanan dan kirinya merupakan meja kasir yang penuh antrean. Selama penjaga memberitahu masalahnya pada bagian informasi, mata Lamia tidak putus mengitari isi gedung luas itu. Pandangannya rendah berharap menemukan Mikhail yang kecil. "Tolong sebutkan nama anakmu, Miss, beserta ciri-ciri tubuh dan pakaian yang dikenakannya." Tanpa menoleh, Lamia menjawab, "Mikhail Ainsley, panggilannya Miki. Rambutnya cokelat, mata biru. Dia memakai baju sweater abu-abu. Dia sangat kecil." Dari kejauhan ia melihat sweater yang sama dipakai oleh anak lain, tapi anak itu digendong seorang laki-laki. Mata Lamia berkaca-kaca sehingga pandangannya buram. Anak kecil yang dilihatnya tampak nyaman memeluk leher lelaki yang menggendongnya. Saat itu air matanya jauh lagi. "Seharusnya aku menggendong Miki," gumamnya. Suara speaker mulai mengisi lingkup gedung. Beberapa pengunjung berhenti untuk menajamkan pendengaran mereka. Sementara pandangan Lamia mulai bermain curang padanya lagi, dia dipaksa untuk terus melihat anak kecil yang saat ini benar-benar terlihat seperti Mikhail, bedanya anak itu tersenyum di pelukan seorang lelaki asing bertopi putih. Mereka tampak saling berbincang. Bahkan mereka sedang menuju ke arahnya-atau mungkin ke kasir. "Mom." "Miki ...." Oh. Tidak! Alam bawah sadarnya pasti mempermainkannya lagi. Suara itu pasti suara yang dibuat oleh hatinya sendiri. "Mom!" Suara anak kecil berteriak lagi. Awalnya Lamia tak mau menggubris, tapi kemudian dia tersentak saat kakinya dipeluk oleh sepasang tangan kecil, pelukan itu cukup pas pada kakinya. Saat dia menunduk, saat itu pula dia melihat anak laki-laki yang diduganya mirip dengan anaknya. "Miki?" Lamia mengernyitkan dahi, butuh beberapa detik sampai akhirnya dia terkejut. "Miki? Ini benar kau, Sayang? Miki, astaga! Kau dari mana saja? Mom panik sekali." Barulah Lamia yakin bahwa matanya tidak salah lagi. "Kau tidak boleh meninggalkan Mom lagi, mengerti?" Beberapa kecupan segera menyerbu pipi-pipi dan leher Mikhail; lipstick dan air mata bercampur jadi satu menghias wajahnya yang kecil. Mikhail kegelian dan dia tertawa sambil menggeliat menjauh. Penjaga tadi akhirnya menghentikan pengumuman di speaker. "Jadi, ini Miki?" Kalimat itu menghentikan Lamia. Di depannya, kaki-kaki panjang seseorang berdiri dibalut celana cargo warna khaki yang tersetrika halus. Semakind ia mendongak, seraut wajah familier menyapa dengan angkuh. Rex. Lamia berdiri. "Rex? Kenapa kau ada di sini?" "Aku bebas pergi ke mana pun, ini tempat umum." "Oh," Lamia tak serius menanggapi, dia terfokus pada topi putih yang dipakai pria itu. "Kau sendirian?" Rex menyadari ketika tiba-tiba tangan Lamia menyembunyikan anak lelaki kecil itu di belakang tubuhnya. Entah apa maksudnya. "Aku sendirian. Aku sedang membeli hamburger." "Di sini tidak menjual hamburger." "Yeah, aku beli di toko junk food sebelah." Rex angkat bahu. Merasakan sikap janggal Lamia, tapi tidak berkomentar. "Aku melihatnya hampir terjepit di pintu, jadi aku membawanya masuk." Mata Lamia mengerjap. "Miki, kau terjepit pintu? Di mana lukanya?" "Hampir," ralat Rex. Tetapi Lamia nampaknya tidak mendengar, ia memutar tubuh mungil Mikhail membelakangi Rex, lalu memeriksa keseluruhan tubuhnya. "Aku tersesat," jawab Mikhail polos. "Oh, anak malang." Lamia mengecup pipinya. "Kau sudah berterima kasih pada paman penolongmu?" Lelaki kecil itu mengangguk. Lamia baru sadar ada sebuah mainan yang masih baru di tangannya. "Ah, aku akan membayar itu." Rex menjelaskan. "Miki, berikan mainan itu padaku." "Kau membeli mainan untuk dirimu?" tanya Lamia agak linglung. "Apa maksudmu? Ini kubeli untuk Miki." Lamia menganga. "Tunggu dulu. Miki, kembalikan ini. Kau tidak boleh menerima barang dari orang asing." Saat Mikhail menunjukkan wajah kecewa, dia tahu bahwa anak kecil itu merasa terluka. Lamia hanya tidak ingin anaknya terlibat dengan Rex, itu bukan tujuannya, sampai kapan pun dia tidak mau mereka dekat sebelum waktunya tiba—waktu ketika Lamia berhasil menghancurkan Rex. "Ups, sorry, kau sepertinya salah paham." Rex mengangkat tangan menyerah. "Aku tidak bermaksud buruk. Aku tidak akan membayar mainan itu, tapi bisakah kau membayar itu untuknya? Dia sangat menyukai mainan itu." Lamia hanya melirik Rex sekilas dan mengabaikan pria itu seolah-olah wujudnya tidak ada. "Kau ingin mainan ini? Kenapa kau tidak mengatakannya pada Mom?" Mikhail menggeleng. Hubungan ibu dan anak mereka memang berjalan seperti siput, tapi Lamia tak menyangka bahwa Mikhail berpikir untuk meminta mainan dengan orang lain. Terlebih itu Rex. Dengan kesal, Lamia menuju ke kasir dan membayar mainan mahal itu. Baru saja hendak mengeluarkan uang, Rex telah lebih dulu memberikan kartu pada petugas kasir. "Jangan beli sesuatu dengan terpaksa. Mainan ini nantinya akan menemani Miki bermain, kenapa kau memberikannya dengan kemarahan?" tegur pria itu. "Aku tidak——" "Aku tahu kau tidak suka padaku sejak pertama kali kita bertemu," potong Rex dengan topik yang melenceng jauh. "Tapi aku tidak punya niat buruk, oke?" Mainan selesai dibungkus dan Rex mengambilnya sambil berterimakasih. Sementara Lamia linglung karena ucapannya, lelaki itu telah berjongkok di depan Mikhail untuk menyerahkan mainan itu. "Sudah kubayar. Apa kau senang, Peanut?" "Peanut?" Mikhail memiringkan kepalanya. "Kau kecil seperti peanut, juga imut dan mungil. Keberatan kupanggil Peanut?" Mikhail menggeleng cepat-cepat. Tangan besar Rex menangkup kepalanya supaya berhenti. Anak itu menatapnya dengan mata yang berkilauan seperti permukaan laut. Sangat lugu dan polos. Rex terbius untuk sesaat. "Kau punya mata yang cantik, di masa depan kau pasti bisa kencan dengan banyak wanita." Kepala Mikhail miring ke kanan. "Kencan itu apa?" Tawa Rex meledak dengan suara yang renyah. Kaki Lamia bergerak tak nyaman dengan percakapan itu, atau ketika mereka dengan sangat akrab berbincang seperti kawan lama. Lamia tidak bisa menahan ini lagi. Bibirnya digigit kuat-kuat menahan gugup, sampai rasanya hampir putus. Situasi macam apa ini sebenarnya? God! "Terima kasih, Rex." Akhirnya Lamia menarik tangan Mikhail ke belakang tubuhnya lagi. "Miki, kau sudah berterima kasih pada Paman Rex?" "Terima kasih, Paman Rex." "You're welcome." Rex berdiri untuk melihat barang belanjaan Lamia yang tercecer. "Kau sudah selesai belanja? Aku bisa mengantarmu pulang sampai depan rumahmu." "Kami tidak langsung pulang. Masih ada keperluan lain," tolak Lamia. "Oh, tentu. Kalau begitu aku duluan." "Hamburger-mu sudah menunggu sejak tadi," jawab Lamia, tidak berlama-lama menatap Rex. Pria itu memakai pakaian kasual yang terdiri dari kaus oblong putih dan celana khaki. Selain itu topi putihnya juga sangat pas memberi kesan muda pada wajahnya. Terlihat seperti remaja. Pria itu sangat tampan. Wajahnya keras seperti biasanya, tapi sebaliknya, tutur katanya jauh lebih baik dan tidak kasar. Dan menyenangkan. Detik berikutnya Lamia sadar bahwa Rex masih di tempat. "Ada yang-" Kalimat Lamia tertahan begitu dia menangkap dua jemari kecil anaknya menjepit sebagian kain celana Rex. "Paman jangan pergi." Kedua orang dewasa itu mengerjap. "Bisakah kau ikut makan eskrim?" Sudah ia duga suara Mikhail sangat merdu ketika terus-terusan bicara, jadi dia mengangguk. "Tapi aku tak punya eskrim." "Aku akan membagi milikku." Rex menatap Lamia dengan lugu. Di bawah pandangan mata biru gelap yang suram tersebut, Lamia merasa tak berdaya, ia melihat jam untuk mengalihkan pikiran. Lalu keduanya memutuskan untuk menuruti kemauan Mikhail dan pergi ke taman. Bagi mata orang awam, mereka pasti terlihat seperti pasangan keluarga harmonis. Menghabiskan sore hari di taman yang sejuk memang kedengarannya sangat nyaman bagi keluarga. "Oh, apa itu kacang?" Rex melirik bungkus eskrim yang disodorkan Mikhail. "Aku tidak makan kacang." Lamia tidak terlalu peduli dengan selera makan lelaki kaya yang suka pilih-pilih ini, sungguh tidak jantan. Siapa yang peduli apakah dia makan kacang atau tidak? Tidak ada yang mau mendengar pendapatnya. "Sebaliknya apa aku boleh minta yang stroberi saja?" "Kenapa kau sangat pilih-pilih makanan?" Lamia menarik tangan Mikhail yang masih menyodorkan eskrim itu pada Rex. "Aku memang tidak makan kacang." "Kau tidak suka?" Rex menjawab, "Sepertinya aku makan kacang saat kecil, tapi setelah dewasa aku tidak memakannya lagi." Lamia menatapnya sambil membuka plastik eskrimnya yang sisa separuh. Meski dia penasaran dengan maksud cerita Rex barusan, tapi dia menahan diri untuk tidak bertanya. "Kalau begitu ambillah ini. Aku tidak masalah dengan kacang." Eskrim itu dengan senang hati dimasukkan ke dalam mulut. Karena bentuk mulutnya yang besar, setengah eskrim berhasil Rex gigit masuk. Dia menelan eskrim itu tanpa repot-repot mengecapnya di mulut, rasa dingin segera menyebar ke d**a dan perutnya. Dalam dua suapan, satu stick telah habis. Perut Rex tiba-tiba berbunyi. Dia teringat dengan hamburger dan bertanya, "Kalian sudah makan?" "Ah, belum." "Ingin makan bersama? Kau yang pilihkan restorannya kali ini." Rex membuang stick eskrimnya di tempat sampah, melihat jam di tangannya. "Masih ada satu jam sebelum petang. Bagaimana?" tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD