Bab 4

1666 Words
Lyra membuka mata dengan napas tersengal-sengal. Ditatapnya langit-langit yang tertutup kelambu. Ia baru saja bermimpi buruk. Namun, ketika terbangun, Lyra tidak lagi dapat mengingat mimpinya barusan. "Kamu nggak apa-apa?" tanya suara di sampingnya. Lyra menoleh ke arah kirinya dan mendapati wajah rupawan Dewangga yang saat ini sedang menatap wajah Lyra. Posisi Dewangga saat ini tengah duduk sambil bersandar pada kepala tempat tidur. Jari-jarinya membelai rambut Lyra dengan lembut. Mengetahui bahwa sekarang ini Lyra tengah berada di kamar dan hanya berduaan dengan Dewangga sontak membuat Lyra panik. Segera ia bangkit ke posisi duduk. Ditatapnya Dewangga dengan kikuk. "Kenapa aku ada di sini?" tanya Lyra dengan bingung. "Kamu tadi ketiduran di bawah. Lalu aku membawamu ke sini." Lyra mencoba mengingat kejadian sebelum dirinya tertidur. Ingatan terakhirnya adalah rasa kantuk yang luar biasa ketika dirinya tengah dikenalkan Dewangga kepada tamu undangan. Lalu, Lyra ingat dirinya pamit kepda Dewangga untuk duduk. Setelah itu, tampaknya Lyra langsung tertidur. "Begitu ya," gumam Lyra. Dewangga menganggukkan kepala seraya kembali membelai rambut panjang milik Lyra. Jari-jari tangan Dewangga menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah Lyra. "Sepertinya kamu kecapekan makanya kamu langsung tertidur pulas," kata Dewangga. "Maaf," balas Lyra merasa tidak enak hati. Bagaimana dirinya bisa tertidur di saat sedang berkenalan dengan kenalan Dewangga? Memalukan. "Bukan masalah besar," kata Dewangga tak ambil pusing. Lyra menunduk menatap gaun pengantin yang masih dipakainya. Ternyata tidak ada pelayan yang mau repot-repot untuk mengganti baju pengantin ini. "Sebaiknya aku ganti baju dulu," ucap Lyra. "Benar," balas Dewangga seraya turun dari ranjang. "Mari kubantu," tambahnya dengan tangan terulur ke arah Lyra. "Eh?" Lyra menatap Dewangga dengan bingung. “Aku rasa kamu akan kesusahan melepas gaun pengantin itu sendirian.” “Kalau begitu, saya bisa minta tolong sama Bi Dalimah atau Kinarsih,” kata Lyra dengan gugup. Dewangga tersenyum kecil. “Ini sudah tengah malam, Lyra. Biarkan mereka istirahat,” katanya lembut. Tengah malam? Lyra pikir ini masih pukul delapan malam atau sekitar sembilan malam. Namun, ternyata sudah tengah malam. Jadi, Lyra sudah tertidur sangat lama. Karena seingatnya tadi, Lyra itu jatuh tertidur ketika sore hari. “Ayo, aku bantu,” kata Dewangga lagi masih dengan tangan terulur ke arah Lyra. “Sekarang aku adalah suamimu, Lyra.” Ucapan Dewangga itu membuat Lyra menganggukkan kepala dengan malu-malu. Seumur hidup, Lyra tidak pernah yang namanya dekat dengan cowok. Jadi, bagi Lyra, keberadaan Dewangga di sini cukup membuatnya kebingungan sendiri. Dengan jantung berdegup hebat Lyra menyambut uluran tangan Dewangga. Kemudian Dewangga membantu Lyra turun dari ranjang. Dewangga menuntun Lyra ke arah meja rias. Pantulan sosok Dewangga yang berada di belakang Lyra membuat degupan jantung Lyra semakin menggila. Rasa gugup dan malu sontak membanjiri hati Lyra. Perlahan Dewangga menyibakkan rambut Lyra yang tergerai berantakan ke bahu kanan Lyra agar tidak menghalangi resleting yang ada di bagian punggung. Tangan Dewangga dengan lembut menarik turun resleting gaun yang dikenakan oleh Lyra. “Apa kamu tahu,” kata Dewangga pelan. “Aku sangat lega karena kamu memiliki rambut hitam panjang yang indah,” tambahnya. Tatapan mata Lyra mengarah pada wajah Dewangga yang saat ini tengah mengamati punggung Lyra yang terekspos. “Kulitmu juga tampak cerah dan halus,” lanjut Dewangga membelai punggung Lyra yang membuat darah Lyra berdesir. Kini Dewangga mengangkat pandangan ke arah cermin di depannya. Tatapannya beradu denga tatapan Lyra. Senyum kecil terbit di bibir Dewangga. “Aku beruntung menemukanmu, Lyra,” ucapnya lirih di belakang telinga Lyra. Sekujur tubuh Lyra terasa dingin mendengar suara Dewangga itu. Jantung Lyra tidak henti-hentinya berdegup kencang. Perut Lyra pun rasanya seperti melilit akibat rasa gugup yang terus-terusan ia rasakan karena kehadiran Dewangga di dekatnya. Senyum Dewangga semakin melebar ketika melihat wajah Lyra yang tampak panik. “Aku nggak akan melakukan apa pun kepadamu, Lyra,” katanya seraya mundur selangkah dari Lyra. “Belum saatnya,” tambahnya. “Sebaiknya aku menggangu tidur nyenyak Dalimah. Kamu tunggu di sini. Biar aku panggilkan Dalimah.” Setelah mengucapkan itu Dewangga langsung berjalan meninggalkan kamar. Tiba-tiba saja kaki Lyra lemas yang membuatnya terduduk di lantai dengan kedua tangan memegangi dadanya. Degupan jantungnya terasa semakin menggila yang membuat Lyra khawatir kalau jantungnya akan meledak. Lyra tidak pernah menyangka jika Dewangga akan membuatnya segugup ini. *** Lyra melirik ke arah jam dinding yang berada di dalam kamar. Saat ini jam tengah menunjukkan pukul satu dini hari. Sejak meninggalkan kamar ini, Dewangga masih belum kembali ke kamar. Lyra rasa, Dewangga tidak akan tidur di kamar ini malam ini. Dan mungkin itu adalah hal bagus mengingat kehadiran Dewangga di sekitar Lyra membuat jantung Lyra bermasalah. Selain itu, Lyra pun terus-terusan merasa gugup tidak jelas. Lyra takut jika Dewangga menyadari kegugupannya itu. Lyra malu. Lyra kembali mengingat acara pernikahannya tadi dengan Dewangga. Seperti yang Lyra kira sebelumnya, Lyra tidak mengenal siapa-siapa di sana. Dewangga mengatakan kalau yang hadir di pernikahan mereka adalah orang-orang terdekat Dewangga. Seperti rekan bisnis dan juga orang-orang yang bekerja untuk keluarga Dewangga. Lyra tidak melihat kedua orang tua Dewangga dan juga tidak sempat menanyakan keberadaan mereka karena sejak tadi Lyra sibuk berandai-andai betapa Lyra akan bahagia apabila ayah, ibu tirinya dan juga Kalina hadir di acara pernikahannya. Meskipun perpisahan mereka kemarin sangat tidak baik, namun bagaimanapun juga mereka adalah keluarga Lyra. Dan selama ini mereka memperlakukan Lyra dengan sanagt baik. Selain itu, Lyra pun ingin mengundang teman-temannya. Pasti akan sangat menyenangkan dan juga membanggakan jika teman-temannya tahu kalau Lyra menikah dengan pria rupawan yang kaya. Pyaar! Sontak Lyra bangkit ke posisi duduk ketika mendengar suara nyaring benda yang pecah. Tatapannya mengarah pada pintu kamarnya yang tertutup. Suara tadi terdengar dari kejauhan. Mungkin, dari lantai bawah. Karena merasa sangat penasaran, Lyra akhirnya turun dari ranjang kemudian pergi keluar kamar. Lyra sempat lupa jika rumah yang ditinggalinya ini sangat luas dan juga cukup menakutkan karena sepi serta sunyi. Meskipun sepanjang koridor di dihiasi lampu-lampu temaram, tapi bagi Lyra, hal itu tidak mengurangi rasa ngeri yang tercipta. Ketika sampai di tangga, Lyra melongok ke bawah, mencari siapa pun yang mungkin saja ada di sana. Namun, rumah ini tetap terasa sepi meskipun setelah ada benda yang pecah di bawah. Lyra sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari arah manapun. Seolah semua orang yang tinggal di sini sudah tertidur lelap. Apa sebaiknya Lyra kembali ke kamar saja, ya? “Nyonya Lyra?” Panggilan dari arah belakang Lyra itu membuat Lyra terlonjak kaget. Buru-buru ia berbalik badan seraya memeganggi dadanya, merasakan degupan jantungnya yang menggila. “Pak Adipati,” kata Lyra ketika melihat sosok pria itu di belakangnya. “Maaf kalau saya mengagetkan Anda, Nyonya,” ucap Adipati lembut. Lyra menganggukkan kepala. “Nggak apa-apa.” “Kalau boleh tahu, apa yang Anda lakukan di luar kamar tengah malam begini?” “Ah itu, tadi saya mendengar suara sesuatu yang pecah dari lantai bawah. Saya berniat buat mengeceknya karena kayaknya sepi banget, nggak ada yang dengar,” kata Lyra mengamati sekitar. Lyra masih tidak mendengar suara apa-apa dari sini. “Oh, begitu,” kata Adipati mengangguk mengerti. “Kalau begitu silakan Anda kembali ke kamar, Nyonya. Biar saya yang mengeceknya.” “Apa saya boleh ikut?” tanya Lyra. “Saya…, saya nggak bisa tidur. Kayaknya gara-gara tadi udah ketiduran lama banget.” Adipati tersenyum kecil seraya menganggukkan kepala. “Tentu saja boleh. Kalau begitu, mari.” Lyra mengekor di belakang Adipati untuk menuruni tangga menuju lantai satu. “Apa tadi Pak Adipati juga mendengar suara benda yang pecah?” tanya Lyra yang berada di belakang Adipati. “Tidak, Nyonya. Tadi saya sedang mendengarkan radio di kamar saya.” Lyra menganggukkan kepala mengerti. Setelah Lyra resmi menikah dengan Dewangga, semua pelayan kini memanggilnya dengan sebutan nyonya. Padahal Lyra sudah meminta mereka memanggilnya hanya dengan nama saja, akan tetapi mereka menolak. Mereka bilang itu tidak sopan karena status Lyra saat ini adalah nyonya besar di keluarga Dewangga. Lyra sendiri merasa tidak nyaman dipanggil dengan sebutan nyonya karena ia merasa terlalu muda untuk menjadi seorang nyonya. Lyra kan hanya gadis ingusan yang baru menginjak usia sembilan belas tahun. Rasanya sangat canggung dipanggil nyonya oleh orang yang lebih dewasa dibanding dirinya. “Oh ya, kalau boleh tahu, kenapa orang tua Mas Dewangga tidak hadir di acara pernikahan kami tadi? Dan sepertinya keluarga dekat ataupun jauhnya pun tidak ada yang hadir,” kata Lyra kepada Adipati. “Kedua orang tua Tuan Dewangga sudah meninggal, Nyonya,” kata Adipati. “Dan Tuan Dewangga tidak memiliki keluarga dekat ataupun jauh.” “Jadi, Mas Dewangga sebatang kara?” tanya Lyra. “Tidak lagi,” jawab Adipati dengan lembut. “Berkat kehadiran Anda.” Lyra agak tersipu mendengar ucapan Adipati itu. Lyra benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai Dewangga. Lyra hanya tahu kalau pria itu tampan dan kaya. Dan sekarang, pria asing yang Lyra tak tahu silsilah keluarganya ataupun kehidupan pribadinya, tiba-tiba saja menjadi suaminya. Lyra masih sulit mencerna semua ini. Meskipun begitu, Lyra masih belum berani menanyakan segala macam hal kepada Dewangga. Lyra masih merasa canggung di depan Dewangga. Mungkin nanti setelah mereka sudah cukup dekat, Lyra akan menanyakan segala macam hal kepada Dewangga. Lyra hanya bisa berharap Dewangga mau menjawabnya tanpa rasa tersinggung. “Menurut Anda, bagaimana kalau kita cek bagian dapur terlebih dahulu?” tanya Adipati ketika mereka sudah berada di lantai satu. Lyra menganggukkan kepala. “Boleh.” Kemudian Adipati memimpin jalan menuju dapur. Lyra kembali mengekor di belakang. Sesampainya di dapur, Adipati dan Lyra menemukan pecahan gelas di lantai, di dekat meja. Di atas meja sendiri ada seekor kucing berwarna hitam putih tengah duduk sambil menjilati kaki depannya. “Sepertinya kita menemukan sumber suara,” kata Adipati menoleh ke arah Lyra. “Benar,” balas Lyra menganggukkan kepala. “Saya nggak tahu kalau di rumah ini ada kucing.” Lyra mengamati kucing yang tampak tidak terganggu dengan kehadiran Adipati serta Lyra di sana. “Itu Albert.” “Albert?” tanya Lyra tampak terkejut ketika mendengar nama kucing yang cukup keren. Adipati tersenyum kecil seraya menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu, sebaiknya Nyonya duduk saja di sini. Biar saya bereskan dulu pecahan gelas ini. Setelah itu, bagaimana kalau saya buatkan teh hangat untuk Anda?” Lyra menganggukkan kepala menyetujui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD