Bab 5

1536 Words
Pagi hari terasa begitu lambat di rumah kediaman Dewangga. Tidak ada pertengkaran berebut kamar mandi. Tidak ada omelan panjang lebar karena kehilangan sebelah kaos kaki. Atau, gerutuan mengenai menu sarapan yang terlalu seadanya. Rumah ini benar-benar berbeda dari rumah yang biasa Lyra huni. Di rumah ini, pagi hari terasa lambat. Juga, terlalu sepi meskipun begitu banyak pelayan yang tinggal di sini. Lyra bangkit ke posisi duduk. Kedua tangannya terentang ke atas, merenggangkan badan yang terasa capek meskipun dirinya tidak melakukan apa-apa. Seperti kemarin, malam ini Dewangga tidak tidur di kamar ini karena sibuk dengn pekerjaannya. Lyra paham dan mengerti. Dirinya pun tidak masalah dengan itu. Karena, jika ada Dewangga di kamar ini, bisa-bisa Lyra malah kesulitan untuk tidur karena terus-terusan merasa gugup. Pintu kamar Lyra diketuk. Suara Dalimah yang berada di balik pintu membuat Lyra segera mempersilakannya masuk. "Air hangatnya sudah siap, nyonya. Anda bisa mandi sekarang," kata Dalimah. Lyra menghela napas dalam. "Iya, Bi," balasnya. Kemudian Lyra mengikuti Dalimah menuju kamar mandi yang berada di dekat kamarnya. Butuh sekitar tiga puluh menit bagi Lyra untuk mandi dan bersiap-siap. Dalimah pun membantu Lyra memilihkan dress untuk dikenakannya pagi ini. Kinarsih yang juga ada di kamar Lyra membantu Lyra untuk menata rambutnya. Pagi ini Lyra ingin rambutnya dikuncir satu. Dan Kinarsih mewujudkannya. "Kalau Nyonya sudah selesai, sebaiknya Nyonya segera sarapan. Makanannya sudah siap, Nyonya," kata Dalimah ketika melihat Lyra sudah selesai dengan tatanan rambutnya. "Mas Dewangga mana? Apa dia ikut sarapan juga?" tanya Lyra entah mengapa penuh harap. Lyra ingin sarapan bersama suaminya itu. Lyra ingin melihat wajah Dewangga, meskipun sosok Dewangga akan membuatnya gugup tidak jelas. "Tuan Dewangga masih di kantornya, di area perkebunan, Nyonya. Sepertinya Tuan Dewangga tidak bisa ikut sarapan dengan Anda pag ini." Lyra menghela napas dalam. "Begitu, ya," gumamnya penuh kekecewaan. Terakhir kali Lyra bertemu dengan Dewangga itu tadi sore, setelah mereka berdua mengobrol singkat, basa-basi soal dress yang dikenakan Lyra sore kemarin. Dewangga mengatakan kalau Lyra sangat cocok mengenakan warna kuning, yang kebetulan dress yang dikenakannya kemarin adalah warna kuning. Sebelum obrolan mereka berkembang menjadi obrolan panjang, Dewangga pamit undur diri karena harus mengurus sesuatu di kantornya. Lyra mempersilakan tanpa merasakan kekecewaan. Bahkan, ketika semalam Dewangga tidak kembali ke kamar, Lyra pun baik-baik saja. Namun, setelah dirinya mandi, berdandan dan tampil lebih cantik seperti saat ini, entah mengapa Lyra ingin sekali Dewangga melihatnya. Siapa tahu suaminya itu akan kembali memuji dirinya yang tampak cantik ketika mengenakan dress berwarna hijau. "Mari ke ruang makan," kata Dalimah yang membuat Lyra menganggukkan kepala. Lyra berjalan mengikuti Dalimah dan juga Kinarsih menuju ruang makan di lantai satu. Beberapa pelayan yang sedang bersih-bersih tampak menunduk hormat kepada Lyra ketika melihat kehadiran Lyra. Rasanya sangat aneh diperlakukan terlalu hormat seperti ini. "Apa Mas Dewangga memang biasanya sering menghabiskan waktu di kantor?" "Iya, Nyonya, kalau sedang banyak kerjaan biasanya Tuan lebih sering menghabiskan waktu di sana." "Lalu, makannya bagaimana? Ada pelayan juga yang memasak untuk Mas Dewangga di sana? Atau beli di warung?" "Tidak, Nyonya. Biasanya saya yang mengantar makanan untuk Tuan," jawab Kinarsih. "Makan untuk sarapan pagi ini juga akan kamu atar ke sana?" "Benar, Nyonya. Setelah ini saya akan langsung jalan ke perkebunan." "Apa perkebunannya jauh, Bi?" tanya Lyra kepada Dalimah. "Tidak begitu jauh, Nyonya. Sekitar lima belas sampai dua puluh menit berjalan kaki melewati hutan di belakang rumah." "Apa saya boleh ikut?" tanya Lyra. Kinarsih menoleh ke arah Dalimah meminta pendapat. Seolah Kinarsih tidak tahu harus menjawab apa. "Sebaiknya Nyonya di rumah saja. Takutnya Nyonya capek kalau harus berjalan kaki sampai ke perkebunan," jawab Dalimah. "Nggak akan capek," kata Lyra. "Dulu aku juga sering jalan kaki ke sekolah kok. Jaraknya juga lumayan jauh dari rumah. Jadi, aku udah terbiasa jalan kaki. Boleh ya, Bi, aku ikut?" Lyra memasang wajah memelas. "Saya takut dimarahi Tuan kalau membiarkan Anda keluar rumah, Nyonya," kata Dalimah. "Kan keluar rumahnya untuk bertemu dengan Mas Dewangga, bukan kabur. Boleh, ya? Please." Lyra kembali memohon. Dalimah menghela napas dalam lalu menganggukkan kepala. “Baik. Asal Nyonya berjanji untuk mengikuti Kinarsih. Jangan jauh-jauh dari Kinarsih. Karena Nyonya bisa saja tersesat di hutan kalau sampai berpisah dengan Kinarsih.” Lyra tersenyum lebar seraya menganggukkan kepala. “Siap,” balasnya dengan semangat. *** Setelah selesai sarapan, Lyra segera mengikuti Kinarsih pergi ke halaman belakang rumah yang cukup luas. Di halaman belakang ada sebuah pendopo yang kemarin menjadi tempat diadakannya acara pernikahan Lyra dan Dewangga. Sejak saat itu, Lyra masih belum pernah mengunjungi halaman belakang. Bukan hanya halaman belakang saja sebenarnya, Lyra belum sempat mengeksplor keseluruhan ruangan di rumah ini. Selain karena rumah ini sangat luas dengan banyaknya ruangan, rumah ini juga agak seram dengan berbagai perabot serta lukisan yang tampak sangat kuno. Lyra merasa agak ngeri kalau harus keluyuran sendiri di rumah ini. “Kamu sering nganterin makanan buat Mas Dewangga?” tanya Lyra kepada Kinarsih. Kinarsih menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Biasanya saya mengantar makanan untuk sarapan.” Kinarsih menunduk menatap rantang yang dibawanya. “Kalau makan siang itu giliran yang lain. Sedangkan kalau makan malam, biasanya Pak Adipati yang mengantarkannya.” Lyra menganggukkan kepala mengerti. “Kamu udah lama kerja di sini?” “Sudah sekitar empat tahun, Nyonya,” ucap Kinarsih. “Lewat sini, Nyonya,” lanjutnya menunjuk jalan setapak yang ada di sisi kanan mereka. Lyra berjalan mengikuti Kinarsih menembus hutan yang menurutnya cukup lebat. Pohon-pohon besar tersebar di sekitarnya. Semak belukar pun tumbuh tak beraturan di sekelilingnya. Kini Lyra paham akan pesan dari Dalimah untuk selalu dekat dengan Kinarsih. Karena Lyra yakin, dirinya pasti akan tersesat jika ditinggal sendirian di sini. “Kamu nggak takut nyasar?” tanya Lyra kepada Kinarsih. “Tidak, Nyonya. Saya sudah cukup hafal area hutan ini.” “Iya kah?” “Iya, Nyonya,” jawab Kinarsih tersenyum kecil. “Dulu sih, waktu awal-awal saya sempat tersesat karena lupa jalan pulang ke rumah dari perkebunan. Saya tersesat sampai area makam yang ada di sebelah sana.” Kinarsih menunjuk sisi kirinya dengan dagunya. “Karena takut, akhirnya saya main lari aja, kabur. Yang penting jauh dari makam itu. Tahu-tahu sampai juga saya di bagian hutan yang mengarah ke jalanan di depan rumah.” “Ada makam di sini?” tanya Lyra kaget. “Iya. Kata Bi Dalimah, itu makam orang-orang yang kerja di rumah Tuan Dewangga. Karena kebanyakan dari mereka adalah yatim piyatu yang tidak memiliki keluarga, jadi mereka dimakamkan di sana,” jawab Kinarsih. “Nyonya lihat pohon besar di depan itu, yang cabangnya banyak? Nah, kalau Nyonya belok ke kiri, habis itu jalan lurus terus, nanti Nyonya akan sampai ke area makam.” Lyra menatap ngeri ke arah di mana area pekuburan berada. Lyra tidak menyangka jika rumah yang ditinggalinya dekat dengan pekuburan. Kini, Lyra merasa jika rumah yang ditinggalinya sekarang jadi dua kali lipat lebih menyeramkan dari sebelumnya. Bagaimana bisa Dewangga betah tinggal di area yang tampak menyeramkan seperti ini? Setelah perjalanan yang cukup jauh, yang membuat kaki Lyra pegal, akhirnya Lyra melihat hamparan hijau tersaji di hadapannya. Pemandangan perkebunan teh tampak begitu indah hingga membuat bibir Lyra tertarik ke atas. Lyra melihat puluhan orang tengah memetik teh di area perkebunan yang luas itu. Meskipun jarak antara dirinya dan perkebunan itu sangat jauh, tapi Lyra bisa melihat dengan jelas hijaunya daun teh itu. Benar-benar sangat menakjubkan. Ini adalah kali pertama Lyra melihat perkebunan teh. “Kita sudah sampai nyonya,” kata Kinarsih kepada Lyra. Lyra menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Aku kira tempat ini juga akan sesepi di area rumah. Namun, tempat ini terasa hidup,” gumamnya. Melihat aktifitas orang yang sedang bekerja membuat Lyra merasa kembali ke peradaban. Meskipun baru beberapa hari tinggal di rumah Dewangga, Lyra sudah cukup merasa kesepian karena yang dilihatnya hanyalah perabotan di dalam rumah atau pepohonan menyeramkan di sekitar rumah, karena rumah itu di kelilingi oleh hutan belantara. Namun di sini, semuanya terasa normal seperti layaknya orang-orang di luar sana. “Itu kantor Tuan Dewangga,” kata Kinarsih menunjuk bangunan rumah bertingkat yang tentu saja tidak seluas rumah yang ditinggalinya. “Ayo ke sana,” ucap Lyra riang. “Baik.” Kemudian mereka berdua berjalan menuju rumah yang difungsikan sebagai kantor itu. Sebelum sampai di depan kantor itu, Lyra melihat sebuah mobil memasuki jalanan yang menuju kantor tersebut. Lalu, mobil berhenti di samping mobil yang terparkir di sana. Seorang perempuan cantik berambut panjang melebihi bahu keluar dari dalam mobil. Lipstik merah yang dipakainya membuatnya tampak begitu seksi. Tak selang berapa lama Lyra melihat Dewangga keluar dari dalam kantor menyambut kedatangan perempuan itu. Senyum lebar tersungging di bibir Dewangga ketika melihat kedatangan perempuan itu. Dewangga dan perempuan itu tampak berjabat tangan singkat sebelum akhirnya Dewangga mempersilakan perempuan itu untuk masuk ke dalam kantor. Entah mengapa Lyra tidak menyukai interaksi mereka berdua. Seolah, Lyra sedang cemburu melihat suaminya bertemu dengan perempuan lain di belakangnya. “Itu Nona Jenar,” kata Kinarsih memberi Lyra informasi. “Nona Jenar?” “Iya. Mungkin pegawai Tuan Dewangga. Atau semacam ada kerjasama gitu sama Tuan Dewangga. Saya sering lihat Nona Jenar di kantor Tuan Dewangga soalnya.” “Begitu, ya,” jawab Lyra merasakan kesal yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa Lyra cemburu padahal dirinya tidak begitu mengenal Dewangga? Namun, meskipun begitu, Lyra berhak kan cemburu? Secara, meskipun masih asing, Dewangga adalah suaminya. Kenapa semua ini terasa menyebalkan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD