Bab 11

1526 Words
“Jadi, dulu tepat satu bulan sebelum saya pindah kerja di sini, ada kejadian buruk yang menimpa salah satu pelayan di sini, Nyonya. Namanya Mbak Endah. Menurut cerita orang-orang yang kerja di sini, Mbak Endah diperkosa oleh salah satu pekerja yang bekerja di perkebunan ketika pulang dari mengantar makan siang untuk Tuan,” ucap Kinarsih dengan perasaan berat. “Pak Adipati menemukan Mbak Endah di hutan dalam keadaan pingsan. Lalu, beberapa hari setelahnya, Mbak Endah baru berani bercerita sama Bi Dalimah. Setelah itu, katanya, Tuan Dewangga murka sampai memecat semua pekerja yang bekerja di perkebunan. Sedangkan pria yang memerkosa Mbak Endah dijeblosin ke penjara. Itu yang saya dengar, Nyonya.” Lyra mendengar cerita dari Kinarsih itu dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa kasihan dan iba atas apa yang menimpa pelayan itu. “Lalu, apa Mbak Endah masih bekerja di sini?” tanya Lyra kepada Kinarsih. Kinarsih diam sesaat. Wajahnya semakin murung. Bahkan, Lyra melihat mata Kinarsih mulai berkaca-kaca. Perlahan Kinarsih menggelengkan kepala. “Nggak, Nyonya. Mbak Endah udah nggak kerja di sini,” jawab Kinarsih dengan lirih. “Beberapa minggu setelah saya bekerja di sini, Mbak Endah mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di hutan, Nyonya. Bi Dalimah dan saya sendiri yang menemukan jasadnya.” Kinarsih kini sudah mulai terisak. Lyra sontak menutup mulutnya dengan telapak tangannya karena rasa terkejut yang teramat sangat. Lyra benar-benar tidak mengira jika ada kisah setragis itu di rumah ini. Lyra sontak bangkit dari duduk lalu memeluk Kinarsih yang saat ini sudah menangis sedih. Tangan Lyra menepuk-nepuk pelan punggung Kinarsih, mencoba menenangkannya. “Maafin aku, Mbak,” kata Lyra kembali merasa bersalah. “Gara-gara aku, Mbak jadi mengingat kenangan buruk tentang Mbak Endah,” tambahnya. Kinarsih menggelengkan kepala. “Bukan salah Nyonya. Nyonya harus berhenti meminta maaf kepada saya,” balasnya seraya melepaskan pelukan Lyra. "Tapi, Mbak—" "Sebaiknya saya kembali menyelesaikan kepangan rambut Anda," kata Kinarsih memotong ucapan Lyra. "Nyonya silakan duduk lagi." Lyra menganggukkan kepala. Lalu, ia kembali duduk menghadap ke cermin. Tatapannya terpaku pada wajah Kinarsih yang tampak mencoba fokus dengan rambut Lyra. Sebenarnya, Lyra masih penasaran dengan cerita Kinarsih mengenai Endah. Namun, melihat Kinarsih yang tampak sedih serta tertekan, Lyra tak kuasa untuk kembali mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Tak butuh waktu lama bagi Kinarsih untuk mengepang rambut Lyra. Kini, rambut majikannya sudah terkepang rapi yang membuat pemiliknya tampak lebih cantik. "Sudah selesai, Nyonya," kata Kinarsih. "Terima kasih, Mbak," balas Lyra tersenyum kecil menatap Kinarsih dari pantulan cermin di depannya. "Iya, Nyonya, sama-sama. Apa ada yang bisa saya bantu lagi?" Lyra menggelengkan kepala. "Nggak ada. Kamu boleh pergi." "Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Lyra mengangguk singkat sebagai jawaban. Lalu, setelahnya Kinarsih meninggalkan Lyra sendirian di kamarnya. Cerita Kinarsih mengenai kisah Endah yang sangat tragis membuat perasaan Lyra tidak nyaman. Lyra merasa sedih juga kasihan kepada Endah. Lyra tidak tahu jika ada kisah menyedihkan yang terjadi di lingkungan rumah ini. *** Lyra menghela napas dalam. Ia jadi tidak bernapsu makan. Perasaan tidak nyaman, galau serta sedih masih menggelayutinya sejak ia mendengar cerita mengenai Endah. Rasanya begitu menyedihkan nasib Endah. Lyra jadi tidak tega sendiri. Padahal, Lyra tidak mengenal Endah. Lyra bangkit dari duduk. Ia meninggalkan makan malamnya begitu saja. "Bi, aku mau ke kamar," kata Lyra kepada Dalimah ketika berpapasan dengan pelayan itu di lorong. “Aku mau tidur. Ngantuk.” "Baik, Nyonya. Apa perlu saya temani ke kamar?' Lyra terdiam sejenak. "Apa Mas Dewangga masih belum pulang?" "Belum, Nyonya. Mungkin Tuan akan menginap di perkebunan." Lyra menghela napas dengan kecewa. Padahal kan, Lyra sedang takut untuk tidur sendirian. Lyra ingin ditemani oleh Dewangga malam ini. "Kalau begitu, tolong temani saya ke kamar ya, Bi." Dalimah tersenyum lalu menganggukkan kepala. "Tentu, Nyonya. Mari." Kemudian keduanya berjalan menuju arah tangga. Lyra berjalan mengekor di belakang Dalimah. Lyra masih belum terbiasa dengan suasana sepi rumah ini. "Oh ya, Bi, apa malam ini ada yang mengantar makan malam untuk Mas Dewangga?" "Ada, Nyonya. Tadi Pak Wiro, yang biasa bersih-bersih halaman, yang mengantarkan makan malam untuk Tuan." "Sendirian?" "Iya, Nyonya." "Pak Wiro nggak takut malam-malam ke sana sendirian, lewat hutan?" "Sudah biasa kok, Nyonya." "Lalu, apa Pak Wiro udah pulang ke sini?" "Sepertinya belum, Nyonya," jawab Dalimah. “Mungkin sebentar lagi Pak Wiro sampai. Soalnya Pak Wiro sudah ke perkebunan sejak tadi.” Lyra menganggukkan kepala mengerti. Ketika mereka sedang menaiki tangga menuju lantai dua, terdengar suara orang mengobrol dari lantai satu. Suara pria yang sedang mengobrol itu membuat Lyra berhenti melangkah. Dalimah pun ikut berhenti seraya menoleh ke arah majikannya. “Itu suara Mas Dewangga bukan?” tanya Lyra kepada Dalimah. “Sepertinya itu memang suara Tuan Dewangga dan Pak Adipati.” “Kalau begitu, aku turun, ya. Aku mau menyambut Mas Dewangga,” ucap Lyra tersenyum lega. “Nyonya nggak jadi ke kamar?” “Nanti,” balas Lyra yang saat ini sudah melesat meninggalkan Dalimah untuk turun ke lantai satu, menemui Dewangga. “Bibi silakan istirahat. Terima kasih.” Lyra ingin cepat-cepat bertemu dengan Dewangga. Lyra merasa kehadiran Dewangga di sisinya dapat membuatnya tenang serta aman. Selain itu, Lyra pun merasa agak bersalah sudah berprasangka buruk kepada Dewangga hanya karena dia memarahi Kinarsih dan Dalimah. Lyra sempat menganggap jika Dewangga mungkin adalah orang yang kejam. Namun, cerita Kinarsih tadi membuat Lyra sadar jika mungkin kemarahan Dewangga itu karena rasa khawatirnya saja. Dewangga mungkin hanya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Lyra. Lyra tersenyum kecil melihat sosok Dewangga yang tengah berbicara dengan Adipati. Dari obrolan yang didengar Lyra, mereka sepertinya sedang membicarakan distribusi teh dari perkebunan mereka ke beberapa pabrik. Obrolan itu terhenti ketika mereka menyadari bahwa ada Lyra yang tengah menuruni tangga. “Kita bahas ini lagi besok,” kata Dewangga kepada Adipati. “Kamu silakan istirahat.” “Baik, Tuan,” balas Adipati. Adipati tersenyum ramah kepada Lyra seraya mengangguk singkat sebelum akhirnya pergi menuju lorong yang berada di kanan mereka. “Kamu belum tidur?” tanya Dewangga kepada Lyra. “Hampir mau tidur,” jawab Lyra yang saat ini sudah berada di hadapan Dewangga. “Terus tadi aku dengar suara Mas. Jadi, aku turun ke bawah buat menyambut kedatangan Mas.” Lyra tersenyum lebar ke arah Dewangga. Dewangga balas tersenyum. Tangannya terulur untuk membelai rambut Lyra dengan sayang. “Kalau kamu ngantuk, sebaiknya kamu langsung tidur. Nggak perlu memaksakan diri buat menyambutku,” katanya. Lyra menggelengkan kepala. “Belum ngantuk kok,” jawabnya. “Kalau belum ngantuk, bagaimana kalau aku ajak kamu buat ke perpustakaan? Aku ada hadiah buat kamu.” “Hadiah?” Dewangga menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya seraya menggenggam tangan Lyra untuk digandengnya. “Ayo kita ke lantai dua.” “Oke,” kata Lyra. Kemudian mereka berdua berjalan menuju lantai dua di mana perpustakaan pribadi milik Dewangga berada. Ini adalah kali pertamanya Lyra memasuki ruangan tersebut. Lyra pikir, perpustakaan hanya berisi koleksi buku. Namun, ternyata perpustakaan itu terdapat banyak benda selain buku. Seperti lukisan, foto yang terpajang di dinding, benda-benda berbahan porselin, juga beberapa koleksi piringan hitam terdapat di sebuah rak. Perpustakaan milik Dewangga ini sangat luas. “Sebentar,” kata Dewangga seraya berjalan menuju sebuah ruangan yang ada di perpustakaan ini. Sembari menunggu Dewangga, Lyra menyibukkan diri melihat-lihat beberapa lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan-lukisan itu kebanyakan adalah potret wajah seseorang. Mungkin mereka adalah orang terkenal pada zamannya. Atau, hanya orang tak dikenal yang tampak bagus jika dilukis. “Kamu suka lukisan?” tanya Dewangga yang ternyata sudah berada di belakang Lyra. “Nggak tahu,” jawab Lyra. “Hanya merasa lukisannya bagus.” Dewangga tersenyum kecil seraya berjalan mendekat ke arah Lyra. Pria itu berdiri di samping Lyra seraya menunjuk lukisan seorang pria yang tengah duduk dengan ekspresi wajah serius. “Itu kakek moyangku,” kata Dewangga. “Iyakah?” “Iya. Dan kalau tidak salah, itu adalah kakeknya ayahku,” kata Dewangga lagi menunjuk lukisan yang berbeda. “Apa semua lukisan ini adalah potret keluarganya Mas?” tanya Lyra penasaran. Dewangga menggelengkan kepala. “Entah lah, bisa jadi,” jawabnya. “Atau kakek moyangku hanya iseng memajang lukisan mereka semua, orang yang tidak dikenalnya.” Lyra tersenyum mendengar ucapan Dewangga itu. “Oh ya, ini hadiah buat kamu,” kata Dewangga menyerahkan sebuah kotak kepada Lyra. “Apa ini?” “Buka aja.” Lyra membuka kotak itu dan mendapati sebuah kalung emas dengan bandul permata berwarna biru. Sangat cantik. “Ini buat aku?” “Iya,” jawab Dewangga seraya mengambil kalung itu dari dalam kotak. “Ini milik nenekku yang diwariskan kepada Ibuku. Dan sekarang, aku hadiahkan ini buat kamu,” lanjutnya. “Sini, biar aku pasangkan.” “Apa nggak apa-apa, perhiasan ini aku pakai?” tanya Lyra yang saat ini sudah berbalik. “Nggak apa-apa,” jawab Dewangga enteng seraya memasangkan kalung ke leher Lyra. “Sudah seharusnya ini jadi milikmu.” Lyra menyentuh bandul permata kalung itu. Lyra merasa terhormat dan juga tersentuh dihadiahi barang berharga milik keluarga Dewangga seperti ini. Lyra berbalik untuk menghadap ke arah Dewangga. “Terima kasih, Mas,” ucapnya. Dewangga mengangguk singkat. Tatapannya tertuju kepada kalung yang melingkar di leher Lyra. Lalu, seulas senyum muncul di bibir Dewangga. “Kalung itu sangat cocok kamu pakai,” ucapnya. “Terlihat sangat cantik,” tambahnya menatap wajah Lyra dengan penuh kekaguman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD