Bab 12

1556 Words
Lyra mengamati beberapa foto yang dipajang di dinding. Kebanyakan adalah foto pemandangan perkebunan. Selain foto perkebunan, ada juga foto Dewangga dengan warna hitam putih. “Ini diambil kapan?” tanya Lyra menunjuk foto Dewangga yang dilihatnya. Dewangga bergumam seraya memasang ekspresi berpikir. “Sepertinya sekitar tiga tahun lalu,” katanya. “Kenapa harus warna hitam putih, sih? Lebih bagus kalau fotonya berwarna,” kata Lyra. Dewangga tersenyum kecil seraya menunjuk deretan foto yang terpajang di dinding dengan dagunya. “Bukankah akan terlihat aneh jika ada foto berwarna di deretan foto hitam putih?” “Ah, iya. Benar juga,” balas Lyra menganggukkan kepala. “Oh ya, foto orang tua Mas yang mana?” “Foto mereka aku turunkan,” kata Dewangga. “Di rumah sebesar ini, agak menyesakkan jika harus terus-terusan melihat foto orang tuaku yang udah nggak ada,” lanjutnya. “Jadi, setelah mereka meninggal, aku menurunkan foto mereka dari dinding. Dengan begitu, aku jadi lebih mudah melupakan mereka.” Dewangga menoleh ke arah Lyra yang berada di sampingnya. “Bukan berarti aku benar-benar ingin melupakan mereka. Hanya saja, terus-terusan mengingat seseorang yang udah nggak ada itu menyakitkan. Aku butuh lupa untuk merasa baik-baik saja.” Lyra melingkarkan tangannya ke pinggang Dewangga, memeluknya dari samping. “Aku ngerti,” katanya lirih. “Kadang aku juga gitu. Ada saat-saat di mana aku merasa baik-baik saja ketika aku lupa kalau ibuku udah nggak ada. Lalu, ketika aku kembali ingat jika ibuku udah meninggal, rasa rindu dan kehilangan menghantamku begitu dahsyat. Rasanya memang sangat menyakitkan, Mas.” “Benar,” balas Dewangga lirih. Lalu, Dewangga menoleh ke arah Lyra. “Apa kamu masih belum mengantuk?” Lyra ingin mengatakan belum. Namun, dirinya ingat jika seharian ini Dewangga sibuk dengan pekerjaannya yang Lyra yakin pasti Dewangga sangat capek. Seharusnya Dewangga beristirahat, bukan menemani Lyra melihat-lihat foto seperti ini. “Udah,” jawab Lyra berbohong. “Ya udah kalau gitu sebaiknya kita ke kamar, tidur.” Lyra menganggukkan kepala. Kemudian mereka berdua pergi ke kamar mereka yang berada di lantai tiga. Sebelumnya, Dewangga sempat meminta kepada Adipati yang kebetulan berpapasan dengan mereka di tangga untuk dibuatkan teh hangat dan menyuruhnya untuk mengantarkannya ke kamar. Adipati mengangguk lalu bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan majikannya teh hangat. “Apa perlu menyuruh Pak Adipati untuk membuatkan teh? Pak Adipati pasti sangat capek sekali. Biarkan Pak Adipati istirahat, Mas,” kata Lyra ketika mereka sudah sampai di kamar. “Nggak apa-apa. Dia nggak keberatan,” balas Dewangga tak acuh. “Aku mau mandi dulu. Kalau kamu udah mengantuk, kamu bisa langsung tidur.” Lyra memegangi lengan Dewangga ketika suaminya itu hendak pergi keluar kamar. Dewangga menoleh ke arah Lyra dengan kernyitan di dahi. “Mas nanti tidur di sini kan?” tanya Lyra. Dewangga tersenyum kecil lalu menganggukkan kepala. “Akan aku temani kamu tidur malam ini, Lyra.” “Ya udah. Mas buruan mandi.” Dewangga mendenguskan tawa pelan. “Iya,” jawabnya. Setelah itu Dewangga keluar kamar untuk pergi ke kamar mandi, meninggalkan Lyra sendirian di dalam kamar. Sambil menunggu Dewangga selesai mandi, Lyra menyibukkan diri dengan melepaskan kepang rambutnya. Tidur dengan rambut dikepang rasanya tidak nyaman. Suara ketukan di pintu kamar membuat Lyra menoleh. Lalu, Lyra mendengar suara Adipati di balik pintu yang membuatnya buru-buru bangkit dari kursi meja rias untuk membukakan pintu. Kini di depan pintu sudah ada Adipati yang tengah memegang nampan berisi dua buah cangkir serta teko bening berisi teh. “Nyonya, ini tehnya,” kata Adipati kepada Lyra. “Boleh saya taruh di dalam?” Lyra menganggukkan kepala. “Silakan,” balasnya mempersilakan Adipati untuk masuk ke dalam. Adipati menaruh nampan itu ke atas meja yang berada di dalam kamar. Lalu, pria itu pun menuangkan teh yang ada di dalam teko ke dalam cangkir. “Maaf ya, Pak, merepotkan,” kata Lyra tidak enak hati. “Seharusnya Pak Adipati istirahat, ini malah disuruh bikin teh.” Adipati tersenyum kecil kepada Lyra. “Sama sekali tidak merepotkan, Nyonya,” balasnya. “Ini silakan diminum tehnya. Mumpung masih hangat.” “Iya, Pak. Terima kasih banyak,” ucap Lyra. “Sama-sama, Nyonya. Apa ada yang bisa saya bantu lagi?” “Nggak, Pak. Pak Adipati silakan ke kamar, tidur, beristirahat.” “Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat malam dan beristirahat, Nyonya.” Setelah mengucapkan itu, Adipati langsung keluar dari kamar. Lyra mengambil duduk di sofa seraya meminum teh yang baru saja diantar oleh Adipati. Adipati pernah bercerita jika teh yang disajikan di rumah ini adalah teh olahan sendiri. Dan Adipati memastikan bahwa daun teh yang diolah adalah daun teh terbaik di perkebunan milik Dewangga. Meskipun Lyra tidak begitu mengerti soal teh, tapi ia menyukai rasa teh yang selalu disajikan untuknya. *** Lyra membuka mata lalu bangkit duduk dengan napas tersengal-sengal. Perasaan takut mencekiknya hingga membuatnya kesulitan bernapas. "Lyra, ada apa?" tanya suara di samping Lyra. "Kamu mimpi buruk?" Lyra mengangguk menjawab pertanyaan Dewangga. "Kamu mimpi apa?" Lyra bermimpi melihat seorang perempuan berdiri di depan jendela kamar ini. Suasana kamar terlihat gelap. Hanya pancaran sinar rembulan yang membuat Lyra tahu bahwa perempuan itu tengah tersenyum. Meskipun Lyra dapat melihat senyum di bibir perempuan itu, entah bagaimana, Lyra tidak dapat melihat dengan jelas keseluruhan wajah perempaun itu. "Aku lupa," kata Lyra berbohong. Akan terasa konyol jika Lyra menyebutkan bahwa dirinya bermimpi melihat seorang perempuan yang membuatnya ketakutan setengah mati. Padahal, perempuan itu pun tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu hanya diam dan tersenyum. Namun, entah bagaimana ada sesuatu dalam perempuan itu yang terasa mencekam hingga menimbulkan ketakutan bagi Lyra walaupun itu hanya sekadar mimpi. "Apa pun itu, itu semua hanya mimpi," ucap Dewangga dengan nada menenangkan. Lyra hanya menganggukkan kepala tanpa mendebat. "Ya sudah, sebaiknya kamu balik tidur lagi saja. Ini masih pukul dua," kata Dewangga. “Mas, aku haus,” kata Lyra dengan tenggorokan yang terasa kering. “Mau teh hangat? Biar aku panggil Dalimah buat bikinin kamu teh.” Ketika Dewangga hendak menarik tali yang terhubung dengan bel di ruang pelayan, Lyra menahannya. “Jangan ganggu Bibi,” ucap Lyra. “Biarkan Bibi istirahat.” “Terus?” “Aku bisa ambil sendiri,” kata Lyra seraya bangkit dari kasur. “Aku hanya pengen minum air putih aja kok. Nggak perlu teh.” “Kamu mau turun sendiri ke bawah?” Lyra menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya yang saat ini sudah berada di depan pintu kamar. Lalu, kepalanya menoleh ke belakang, ke arah Dewangga yang sedang dalam posisi setengah duduk dengan tatapan mengarah pada Lyra. “Mas mau nganterin ke bawah?” Pertanyaan Lyra itu mengundang senyum kecil di bibir Dewangga. “Oke,” jawabnya pelan seraya bangkit dari tempat tidur untuk menghampiri Lyra. Lalu mereka berdua berjalan keluar dari kamar. Dewangga berjalan terlebih dahulu yang langsung diikuti oleh Lyra. Penerangan yang minim pada malam hari di rumah ini tampak tidak mengganggu Dewangga. Pria itu terlihat tenang seperti biasa. Berbeda dengan Lyra. Mendadak saja ia merasakan rasa dingin yang menusuk di kulitnya, membuat Lyra semakin mendekatkan diri ke arah Dewangga. “Kalau takut keluar kamar tengah malam begini, kamu bisa menyuruh salah satu pelayan untuk ke atas, mengambilkanmu minum, Lyra. Kamu nggak perlu repot-repot pergi sendiri,” kata Dewangga melirik ke arah Lyra yang sudah menempel kepadanya. “Kasihan kalau harus mengganggu mereka,” balas Lyra berbisik. Berbicara dengan nada normal di suasana yang sepi dan hening terasa begitu aneh. Jadi, Lyra berusaha untuk berbicara sepelan mungkin. “Itu udah pekerjaan mereka.” “Tapi, tetap saja. Nggak enak kalau ngerepotin,” kata Lyra. Dewangga hanya menghela napas dalam mendengar ucapan Lyra. Dewangga yang sudah terbiasa dilayani sejak kecil tidak paham bagaimana bisa merepotkan seseorang ketika pekerjaan mereka memang untuk melayani. Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk sampai di dapur. Senyum Lyra sontak merekah ketika mendapati seekor kucing tengah duduk manis di atas kursi yang berada di sana. “Albert,” sapa Lyra mendekat ke arah kucing itu. “Kamu sudah bertemu dengan Albert?” Lyra menganggukkan kepala seraya mengelus kepala Albert yang terasa lembut. “Sudah,” jawabnya. “Pak Adipati yang memperkenalkan kami.” “Begitu, ya.” “Albert ini hewan peliharaan Mas?” “Bukan. Albert peliharaan Adipati,” jawab Dewangga. “Adipati yang membawanya ke rumah. Dia menemukan Albert di hutan.” Lyra mengangguk-anggukkan kepala mengerti. “Aku pikir hewan ini memang punya Mas.” “Aku nggak terlalu suka hewan. Mereka kadang berisik.” “Tapi kucing itu lucu, Mas.” Dewangga menggelengkan kepala. “Menurutku tidak.” “Mas sama sekali nggak suka hewan?” “Aku suka ikan. Mereka hanya berenang. Tidak mengeluarkan suara apa pun. Mereka tidak berisik.” Lyra tersenyum mendengar perkataan Dewangga itu. “Apa Mas punya peliharaan ikan?” “Dulu punya,” jawabnya. “Sekarang tidak lagi.” “Kenapa?” “Entahlah,” katanya. “Mereka mati. Kalau tidak salah ingat, dulu ada yang sengaja memasukkan sesuatu ke air yang dapat membuat ikan-ikan itu mati.” “Memangnya ada yang tega melakukan hal seperti itu?” Dewangga tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari Lyra. “Orang lebih mengerikan dari makhluk apa pun, Lyra,” katanya lirih dengan nada serius. “Makanya, kamu harus selalu berhati-hati.” Ucapan Dewangga itu membuat Lyra menganggukkan kepala secara refleks. Mendadak ia ingat mengenai Endah. Endah mengakhiri hidupnya pun berawal dari perbuatan keji seseorang. Rasanya masih menyedihkan mengingat tentang kisah tragis yang terjadi kepada Endah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD