Bab 10

1213 Words
Lyra menghabiskan sore hari di taman yang berada di dekat ruang makan. Ini adalah taman di mana Lyra pertama kali melihat sosok Dewangga. Lyra masih ingat betul kekaguman yang ia rasakan ketika melihat sosok Dewangga malam itu. Lyra merasa pada saat itu, dirinya bertemu dengan pria paling tampan sedunia. Ya, sekarang pun sebenarnya Lyra masih beranggapan yang sama. Hanya saja, mendengar Dewangga marah-marah dengan bawahannya agak membuat Lyra syok. Selain itu, Lyra jadi menyadari bahwa dirinya tidak tahu apa-apa mengenai suaminya. Lyra menghela napas dalam. Ditatapnya bunga mawar beraneka warna yang berada di taman ini. Bunga-bunga itu tampak cantik. Paling tidak, di rumah ini ada bagian yang indah, tidak menakutkan seperti di setiap sudut rumah ini. Tadi setelah selesai makan siang, Dewangga pamit untuk pergi ke ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Dewangga bilang hendak menghubungi seseorang yang berada di kota, menanyakan tentang Adipati. Lyra hanya mengiyakan tanpa ingin tahu mengenai pekerjaan Dewangga yang tampaknya sangat memusingkan. Dari arah jendela yang terpasang di sepanjang lorong menuju ruang makan, Lyra melihat sosok Kinarsih berjalan meninggalkan ruang makan. Buru-buru Lyra bangkit dari duduk lalu berjalan memasuki rumah. Lyra berlari kecil untuk menghampiri Kinarsih. “Mbak,” panggil Lyra yang saat ini sudah berada tak jauh dari Kinarsih. Kinarsih berhenti lalu berbalik untuk menatap ke arah Lyra. “Mbak Kinarsih,” panggil Lyra lagi berjalan cepat ke arah Kinarsih. “Nyonya,” sapa Kinarsih tampak bingung. “Ada apa? Apa Nyonya perlu sesuatu?” tanyanya buru-buru. "Apa kamu sibuk? Bisa kita ngobrol sebentar?" "Anda mau ngobrol soal apa?" tanya Kinarsih tampak was-was. "Aku..., aku mau minta maaf," ucap Lyra merasa bersalah. "Hah?" Kinarsih menatap Lyra dengan bingung dan terkejut. "Tadi…, tadi aku nggak sengaja dengar. Aku udah bikin kamu sama Bi Dalimah dimarahin sama Mas Dewangga. Aku benar-benar nggak—" Ucapan Lyra sontak berhenti ketika Kinarsih memegang lengan Lyra dengan ekspresi panik. Kepalanya menoleh ke kanan, kiri, mengamati sekitar. Lyra pun melakukan hal yang sama. "Ada apa?" tanya Lyra dengan bingung. "Nyonya kenapa minta maaf kepada saya?" tanya Kinarsih berbisik. Ekspresi wajahnya tampak cemas. "Nona nggak boleh minta maaf kepada saya." Lyra mengernyitkan dahi bingung. "Kenapa?" tanyanya tidak mengerti. "Saya hanya seorang pelayan, Nyonya. Tidak seharusnya Anda meminta maaf kepada pelayan." Perkataan Kinarsih itu membuat Lyra sadar jika ternyata jarak di antara dirinya dan para pelayan di rumah ini terlalu jauh. Dulu, Lyra bukanlah siapa-siapa. Namun, ketika menikah dengan Dewangga, secara otomatis status Lyra berubah. Kini dirinya adalah Nyonya besar di rumah ini. Dan status itu agak menakutkan kalau dibayangkan. Mungkin, begitulah anggapan pelayan di sini. Ketika Lyra hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja ia melihat sosok Dewangga muncul di ujung lorong. Secara otomatis Lyra tersenyum ke arah suaminya itu. Dewangga yang melihat sosok Lyra sontak berjalan mendekat ke arah istrinya itu. Sedangkan Kinarsih, kini sudah menundukkan kepala hormat ketika Dewangga yang sudah berada di dekat mereka. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Dewangga kepada Lyra. “Apa kamu membutuhkan sesuatu?” Lyra tersenyum seraya menganggukkan kepala. “Aku hanya sedang meminta Mbak Kinarsih buat disiapkan air hangat untuk mandi,” jawabnya berbohong. Lalu, Lyra menoleh ke arah Kinarsih. “Tolong ya, Mbak. Aku mau mandi sekarang,” tambahnya. “Makasih.” “Baik, Nyonya,” balas Kinarsih. “Saya permisi dulu.” Kemudian Kinarsih pergi meninggalkan Lyra dan Dewangga untuk menyiapkan air hangat. “Ya udah, kamu nunggu Kinarsih di kamar saja.” “Apa Mas mau pergi?” tanya Lyra kepada Dewangga. “Iya,” jawab Dewangga. “Aku mau ke perkebunan. Adipati sudah sampai di kantor.” “Oh begitu. Ya sudah, hati-hati di jalan, Mas.” “Iya, aku pergi dulu, ya.” Dewangga memberi Lyra pelukan singkat sebelum akhirnya pergi meninggalkan Lyra untuk ke perkebunan. Setelah kepergian Dewangga, Lyra langsung bergegas pergi ke lantai tiga, berniat menemui Kinarsih. Ketika sudah berada di lantai tiga di area dekat kamarnya, Lyra melihat Kinarsih baru saja keluar dari dalam kamar mandi. “Mbak,” panggil Lyra mendekat ke arah Kinarsih. “Nyonya, sudah saya siapkan air hangatnya,” kata Kinarsih kepada Lyra. Lyra menganggukkan kepala. “Makasih, Mbak,” balasnya. "Apa ada lagi yang perlu saya bantu, Nyonya?" Lyra diam sejenak. Jika meminta Kinarsih untuk menemaninya di dalam kamar mandi agar bisa mengobrol, tampaknya agak keterlaluan. Jadi, Lyra mengurungkan niatnya itu. Lebih baik, mereka mengobrol setelah Lyra selesai mandi. "Apa Mbak Kinarsih nanti mau bantuin buat mengepang rambutku?" Kinarsih menganggukkan kepala. "Baik, Nyonya, nanti akan saya bantu." "Ya udah kalau gitu, aku mandi dulu. Habis itu bantuin aku buat mengepang rambutku, ya?" "Iya, Nyonya." Kemudian Lyra buru-buru mandi. Mumpung Dewangga sedang tidak ada di rumah, Lyra bisa lebih leluasa untuk mengobrol dengan Kinarsih tanpa perlu merasa cemas. Tidak sampai lima belas menit Lyra sudah mandi dan berganti baju. Biasanya ada Dalimah yang membantu Lyra memilihkan baju untuk dikenakannya. Namun, sore ini Lyra memilih pakaiannya sendiri. Dan pilihannya jatuh kepada dress berwarna biru tua dengan panjang melebihi lutut. Dress itu tampak sederhana tanpa motif apa-apa. Setelah selesai berpakaian, Lyra memanggil Kinarsih untuk masuk ke kamarnya. Lyra duduk di depan meja rias dengan Kinarsih berdiri di belakangnya, sibuk menyisir rambut panjang Lyra. "Mbak," panggil Lyra yang membuat Kinarsih mengangkat pandangan ke arah cermin di depannya. Tatapannya terfokus pada wajah ayu Lyra. "Iya, Nyonya?" "Aku beneran minta maaf karena udah bikin Mbak dan Bibi dimarahi sama Mas Dewangga," kata Lyra merasa bersalah. "Nyonya nggak seharusnya minta maaf. Karena toh itu bukan salah Nyonya," balas Kinarsih tampak serba salah. "Seharusnya tadi aku nggak maksa ikut ke perkebunan. Dengan begitu Mbak sama Bibi nggak akan dimarahi." Kinarsih menggelengkan kepala. "Bukan salah Nyonya," katanya lagi pelan. "Kalau boleh tahu, apa Mas Dewangga sering marah-marah kayak tadi?" tanya Lyra penasaran. "Nggak kok, Nyonya. Tuan nggak pernah marah-marah." "Tadi aku denger Mas Dewangga marahin Mbak." "Beneran, Nyonya. Tuan nggak pernah marah-marah kok," ucap Kinarsih lagi bersungguh-sungguh. "Kamu nggak perlu bohong," kata Lyra lagi. "Aku nggak akan bilang sama Mas Dewangga. Atau siapa pun." "Saya nggak bohong, Nyonya," ucap Kinarsih. "Sebenarnya tadi itu, kali pertamanya saya ditegur seperti tadi. Dan saya pun merasa kalau memang itu tadi kesalahan saya." Kinarsih tertunduk malu, seakan tidak sanggup bertatap mata dengan Lyra. "Benarkah Mas Dewangga nggak pernah marah-marah sebelumnya?" tanya Lyra dengan tidak yakin. Tatapannya terpaku pada wajah Kinarsih di cermin yang masih menolak menatap ke arah Lyra. "Benar, Nyonya," jawab Kinarsih pelan. "Tampaknya Tuan memang sangat mengkhawatirkan Nyonya. Tuan pasti takut kalau Nyonya kenapa-napa." Jawaban Kinarsih itu membuat dahi Lyra berkerut. "Memangnya apa yang bisa terjadi denganku, sih? Paling hanya tersesat di hutan kan?" Perlahan pandangan Kinarsih terangkat untuk menatap ke arah Lyra. "Bukan hanya tersesat saja, Nyonya. Pasti Tuan takut kalau kejadian buruk yang pernah terjadi di hutan waktu itu menimpa Nyonya," katanya dengan tatapan bersalah. "Kejadian buruk apa?" tanya Lyra penasaran. Kinarsih menarik napas dalam. Ekspresinya tampak seperti orang yang sedang tertekan. "Dulu..., dulu ada salah satu pelayan yang jadi korban pemerkosaan," ucap Kinarsih dengan perasaan sedih. "Dan kejadiannya di hutan belakang itu, Nyonya." "Apa?" "Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Seharusnya saya atau Bibi tidak ceroboh hingga membiarkan Anda ikut ke perkebunan yang jalannya harus melewati hutan." Lyra terdiam mendengar ucapan Kinarsih itu. Lyra benar-benar terkejut. Lyra tidak menyangka jika pernah ada kejadian buruk yang terjadi di hutan sana. Terlebih kejadian buruk itu menimpa salah satu pelayan di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD