Bab 13

1115 Words
Lyra berjalan menyusuri lorong menuju arah tangga. Setelah mandi dan berdandan, Lyra memutuskan untuk turun ke bawah, mencari kehidupan. Karena sendirian di kamar terasa begitu sepi. Dewamgga sendiri tadi pagi-pagi sekali sudah pamit untuk pergi ke perkebunan. Bahkan, pria itu melewatkan sarapan di rumah karena ada hal yang harus segera diurus di sana. Lyra melirik lukisan yang berjejer di lorong yang ia lewati. Selain di ruang perpustakaan, beberapa tempat di rumah ini pun dipenuhi oleh lukisan. Seperti di lorong ini. Juga, di lorong yang berada di lantai dua. Lyra menuruni tangga menuju lantai satu. Meskipun sudah hampir siang, rumah masih tampak sepi seperti malam hari. Lyra kadang merasa heran bagaimana bisa Dewangga hidup di situasi seperti ini selama bertahun-tahun. “Mbak Kinarsih,” panggil Lyra ketika melihat sosok Kinarsih berjalan menuju ruang makan. Pelayan itu berhenti lalu menoleh ke belakang, ke arah Lyra. “Nyonya,” sapanya dengan sopan. “Mbak habis dari mana?” tanya Lyra berlari kecil ke arah Kinarsih. “Dari perkebunan, Nyonya. Mengantar sarapan makan siang untuk Tuan.” “Apa tadi kamu juga mengantar sarapan ke sana?” “Tidak, Nyonya. Tuan tadi hanya minta diantarkan makan siang saja.” "Tadi pas kamu ke sana, mas Dewangga sedang apa?" tanya Lyra penasaran. "Tuan sedang berada di lantai dua, di ruang kerjanya Nyonya. Sepertinya Tuan sedang sibuk dengan kertas-kertas gitu, saya tidak tahu." Lyra mengangguk-anggukkan kepala mengerti. "Begitu, ya." "Nona Jenar juga tadi ada di kantor, Nyonya," ucap Kinarsih berbisik. "Perempuan yang kemarin itu?" Kinarsih menganggukkan kepala. "Benar, Nyonya." "Apa yang dia lakukan di sana?" "Saya tidak tahu, Nyonya. Tadi Nona Jenar sedang mengobrol dengan Pak Adipati." Lyra mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Kinarsih. "Kamu nggak curi dengar apa-apa gitu? Katakan saja, Mbak. Aku pensaran. Aku pengen tahu perempuan itu sedang apa di sana." "Hmm...," ucap Kinarsih bergumam. "Anggap saja saya nggak mengatakan apa-apa, ya, Nyonya," katanya berbisik. Lyra menganggukkan kepala setuju. "Saya hanya mendengar Nona Jenar membahas tentang harga gitu. Katanya Nona Jenar bersedia menaikkan harga dan ingin bertemu dengan Tuan Dewangga langsung untuk membahas apa pun yang sedang mereka bicarakan. Tapi, sepertinya Tuan enggan menemui karena sampai saya keluar dari kantor, Tuan masih ada di lantai dua." Ucapan Kinarsih itu membuat Lyra tersenyum kecil. Sepertinya, Dewangga memang mengabulkan permintaan Lyra untuk tidak menjual tanahnya kepada Jenar. Bahkan, Dewangga juga tidak menemui Jenar secara langsung. Rasanya sungguh melegakan. "Apa jangan-jangan Nyonya cemburu ya, dengan Nona Jenar?" Lyra membelakakkan mata mendengar pertanyaan Kinarsih itu. Melihat ekspresi yang ditunjukkan Lyra membuat Kinarsih terkekeh pelan. Karena baginya ekspresi majikannya itu sangat lucu. "Nyonya nggak perlu khawatir kalau Tuan Dewangga bakal kepincut dengan Nona Jenar atau perempuan lain. Tuan itu bukan pria genit." Lyra tahu Dewangga bukan pria genit. Namun, sikap dingin dan misterius yang Dewangga tunjukkan malah membuat Lyra makin was-was. Pasalnya, perempuan pasti akan merasa penasaran dengan pria seperti itu. Terlebih, Dewangga kan tampan. Pasti siapa pun yang melihat Dewangga akan terpesona. Membayangkan hal itu membuat Lyra ketar-ketir sendiri. "Aku tahu," balas Lyra. "Makasih ya, Mbak." Lyra tersenyum ke arah Kinarsih yang membuat Kinarsih menganggukkan kepala. "Apa ada hal yang ingin Nyonya tanyakan lagi?" Lyra menggelengkan kepala. "Nggak ada, Mbak. Informasi tadi sudah cukup." "Kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya. Saya harus membantu memasak untuk makan siang Anda." "Iya, Mbak, silakan." Setelah itu Kinarsih pergi meninggalkan Lyra untuk pergi ke dapur. Kalau di rumahnya sendiri, Lyra masih punya adiknya, Kalina, untuk menemaninya bermain atau sekadar mengobrol. Namun, di sini semua orang terlihat sibuk. Hanya Lyra saja yang sepertinya tidak punya kerjaan. Sangat membosankan. Lyra menghela napas dalam seraya berjalan menuju taman yang berada di dekat ruang makan. Di taman, Lyra melihat Dalimah tengah sibuk memotong beberapa bunga yang berada di sana. “Bunganya mau diapain, Bi?” tanya Lyra kepada Dalimah. “Nyonya,” sapa Dalimah menunduk hormat kepada Lyra. “Ini, tadi Tuan meminta saya untuk merangkai beberapa bunga untuk ditaruh di vas. Tuan bilang, mungkin Anda akan menyukainya.” Ucapan Dalimah itu mengundang senyum Lyra. Tentu saja Lyra akan menyukai jika ada rangkaian bunga yang khusus dipetikkan hanya untuknya. Terlebih, Dewangga lah yang meminta hal tersebut. Lyra merasa sangat diistimewakan oleh suaminya sendiri. Dan itu sungguh menyenangkan. “Boleh aku bantuin Bibi buat merangakainya di vas?” “Tentu saja boleh kalau Nyonya mau.” Setelah memetik beberapa tangkai bunga mawar merah, Dalimah membawa bunga itu ke teras yang ada di dekat taman. Lyra dan Dalimah kini sudah duduk di kursi yang berada di sana. Keduanya tampak sibuk menata bunga-bunga mawar merah itu ke dalam beberapa vas bunga yang ada di meja. “Apa Anda suka bunga?” Lyra menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Dalimah. “Suka, Bi. Tapi, nggak pernah ada yang ngasih bunga,” jawabnya terkekeh pelan. “Mungkin, ini adalah bunga pertama yang aku dapat dari seseorang.” Dalimah tersenyum mendengar ucapan Lyra. “Syukurlah kalau Anda suka, Nyonya.” “Iya.” “Omong-omong, apa Anda betah tinggal di sini?” Lyra menarik napas dalam mendengar pertanyaan dari Dalimah itu. “Masih butuh pembiasaan kayaknya, Bi,” katanya. “Rumah ini jauh dari lebih besar daripada rumahku. Tapi, suasananya juga jauh lebih sepi dari rumahku. Selain itu…,” lanjutnya seraya mencondongkan tubuh ke arah Dalimah sambil berbisik, “rumah ini juga jauh lebih menyeramkan.” “Menyeramkan?” Lyra menganggukkan kepala. “Rumah ini terasa aneh. Aku nggak bisa menjelaskannya,” jawabnya seraya memasukkan satu batang bunga mawar merah ke dalam vas bunga. “Oh,” balas Dalimah menganggukkan kepala mengerti. “Mungkin karena Bibi udah lama tinggal di sini, makanya Bibi nggak merasakannya,” ucap Lyra. “Bahkan, sebenarnya, selama aku tinggal di sini, aku merasa nggak pernah tidur dengan nyenyak. Ada saja mimpi yang bikin aku takut.” “Mimpi seperti apa, Nyonya, kalau boleh tahu?” “Ada beberapa mimpi yang aku nggak ingat, Bi,” jawab Lyra tanpa sadar memainkan bandul kalung yang dipakainya. “Tapi, ada juga mimpi yang aku ingat dengan jelas. Seperti mimpi mengenai seorang perempuan yang aku nggak bisa lihat wajahnya dengan jelas.” “Benarkah?” Lyra menganggukkan kepala. “Apa Nyonya pernah bercerita tentang perempuan itu kepada Tuan?” “Pernah sekali. Tapi, Mas Dewangga hanya menanggapinya dengan santai,” kata Lyra. “Orang bilang, mimpi itu hanya sekadar bunga tidur, tapi, ada juga yang mengatakan bahwa mimpi itu adalah sebuah pertanda,” balas Dalimah tersenyum tipis ke arah Lyra. “Saya berharap, apa pun yang Nyonya mimpikan, hanyalah sebatas mimpi.” Ucapan Dalimah itu entah mengapa membuat Lyra gelisah. Jika memang mimpi yang kerap mendatangi Lyra adalah sebatas mimpi belaka, kenapa mimpi itu seakan terus-terusan muncul dengan jenis yang serupa? Apa mungkin, mimpi mengenai perempuan yang Lyra lihat itu adalah sebuah pertanda? Namun, pertanda apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD