Bab 9

1105 Words
Ketika mendengar langkah kaki dari arah dapur, Lyra buru-buru berlari kecil masuk ke ruangan di sampingnya, yang difungsikan sebagai ruang penyimpanan bahan makanan. Derap langkah kaki terdengar melewati tempat Lyra bersembunyi. Ketika dirasa suara langkah kaki itu sudah agak jauh, Lyra mencoba mengintip dari tempatnya bersembunyi. Tatapannya mengarah pada arah di mana suara langkah kaki mulai menghilang. Di kejauhan Lyra melihat punggung Dewangga berbelok menuju lorong yang mengarah ke taman belakang. Setelah sosok Dewangga menghilang di balik lorong, tanpa sadar kini Lyra sudah mengembuskan napas panjang. Perlahan Lyra keluar dan berjalan ke arah ruang makan. Awalnya ia hendak menghampiri Dalimah dan Kinarsih, meminta maaf kepada mereka berdua. Kalau bukan karena Lyra, mereka pasti tidak akan dimarahi seperti itu. Namun, suara isak tangis dari Kinarsih membuat Lyra mengurungkan niatnya. Mungkin nanti ketika Kinarsih sudah tenang Lyra akan menghampirinya untuk meminta maaf. Lyra memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Rasa kantuk yang tadi sempat menginggapinya kini hilang entah ke mana. Akhirnya, Lyra hanya merebahkan diri ke atas kasur seraya mengamati langit-langit kamar yang tertutup kelambu. Pikiran Lyra kini berselancar ke kejadian di mana Dewangga marah besar kepada Kinarsih dan juga Dalimah. Dirinya tidak menyangka jika Dewangga bisa semarah itu hingga membentak-bentak pelayannya. Apa memang sebenarnya Dewangga itu orang yang mudah marah? Atau memang ada alasan khusus hingga Dewangga bisa semarah itu? Ketika Lyra sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba saja terdengar ketukan lembut dari arah pintu. Jantung Lyra seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat karena kaget. Suara pintu terbuka membuat Lyra buru-buru bangkit ke posisi duduk dengan tatapan ke arah pintu. Kini sosok Dewangga muncul dari balik pintu yang membuat jantung Lyra kembali berdetak nomal. “Kamu sudah bangun,” kata Dewangga dengan seulas senyum di bibirnya. Lyra menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Baru saja,” tambahnya berbohong. “Ya udah kalau gitu ayo turun. Kita makan siang.” “Iya,” balas Lyra seraya turun dari atas tempat tidur lalu menghampiri Dewangga. Dewangga meraih tangan Lyra lalu menggandengnya, membawanya turun ke lantai satu di mana ruang makan berada. Saat ini meja makan yang terlihat terlalu besar hanya untuk makan berdua tampak sudah ada beberapa menu makan di atasnya. Dewangga duduk di kursi yang berada di ujung. Lyra mengambil duduk di kursi terdekat dri posisi duduk Dewangga. “Silakan pilih makanan yang kamu suka, Lyra,” kata Dewangga menunjuk sederet makanan yang ada di atas meja. “Ada sayur sop, sambal kecap, sambal tomat, lalu saya juga menyuruh Bibi buat masak ayam goreng dan ikan goreng. Siapa tahu kamu pengen makan daging. Itu juga ada tahu, tempe sama telur goreng. Bibi juga masakin sayur lodeh.” Lyra menganggukkan kepala. “Semua ini buat kita berdua?” tanyanya. “Iya,” jawab Dewangga enteng. Lalu, tatapannya mengarah ke arah di mana dapur berada. “Ah, itu pasti bakwan sama tempe mindoan,” tambahnya. Lyra menoleh ke arah di arah pandang Dewangga. Tampak Kinarsih tengah membawa sebuah piring mendekat ke arah mereka. “Ini gorengannya, Tuan,” kata Kinarsih meletakkan piring itu ke arah meja yang berada di dekat Lyra. Kinarsih tertunduk dalam, seolah tidak berani untuk menatap ke arah Dewangga ataupun Lyra. Meskipun begitu, Lyra dapat melihat wajah sembab Kinarsih yang membuat Lyra merasa sangat bersalah. Nanti, Lyra akan meminta maaf kepada Kinarsih. Lyra berharap, permintaan maafnya dapat membuat Kinarsih lebih baik. “Iya. Terima kasih,” ucap Dewangga. Kinarsih mengangguk singkat lalu setelahnya dia berjalan kembali ke arah dapur. Lyra mengamati makanan di atas meja dengan bingung. Dirinya merasa menu makan siang hari ini terlalu banyak dan berlebihan untuk dua orang saja. Namun, tampaknya tidak bagi Dewangga. Suami Lyra itu seakan sudah biasa disuguhi dengan makanan sebanyak ini. "Mari dimakan, Lyra," kata Dewangga. Lyra menganggukkan kepala. "Iya," balasnya terdengar kebingungan. "Kenapa? Kamu nggak suka menu makanannya? Apa kamu mau dimasakkan yang lain?" tanya Dewangga. "Nggak, kok. Ini..., aku suka semuanya," jawabnya. "Hanya bingung mau makan yang mana." Dewangga tersenyum mendengar jawaban Lyra. "Kalau boleh memberi saran, coba ayam gorengnya. Rasanya gurih. Bumbunya meresap sampai ke dalam dagingnya. Kalau kamu suka sambal, boleh dimakan sama sambal. Rasanya akan jauh lebih enak. Atau, kamu bisa makan sayur lodehnya. Rasanya juga enak, Lyra." "Oke, aku coba ayam gorengnya kalau gitu," jawab Lyra seraya mengambil satu potong ayan ke atas piring. Kemudian mereka mulai menyantap makan siang yang ada di hadapan mereka. Selama makan siang berlangsung, Lyra beberapa kali melirik ke arah Dewangga yang tampak menyantap makan siangnya dengan tenang. Lyra mencoba mengamati perubahan ekspresi pada diri Dewangga. Namun, yang Lyra lihat hanyalah seorang pria yang tampak selalu tenang dan lembut. Rasanya agak susah dipercaya jika Dewangga bisa marah. Namun, Lyra mendengarnya sendiri Dewangga memarahi Kinarsih dan Dalimah habis-habisan. “Ada apa?” tanya Dewangga menoleh ke arah Lyra. “Dari tadi kamu lihatin aku terus?” Lyra menggelengkan kepala. Agak kaget karena suaminya itu menyadari bahwa sejak tadi Lyra mengamatinya. “Nggak ada apa-apa,” jawab Lyra agak kikuk. “Hanya ngerasa makanan ini banyak banget. Nanti yang bakal habisin siapa?” tanyanya asal. “Yang kerja di sini banyak, Lyra. Mereka bisa menghabiskan ini setelah kita makan.” “Ah,” balas Lyra menganggukkan kepala mengerti. “Kalau kamu mau dimasakkan sesuatu untuk nanti malam, atau untuk besok, kamu bisa bilang langsung ke pelayan. Mereka bisa memasak semua menu makanan. Selain itu, masakan mereka juga enak. Jadi, aku rasa kamu pasti akan suka.” “Iya,” jawab Lyra singkat. “Oh ya, apa nanti Mas akan tidur di rumah atau Mas akan tidur di kantor lagi?” tanyanya. “Belum tahu,” jawab Dewangga. “Tapi, nanti malam aku akan ke perkebunan, menunggu Adipati di sana. Kalau kerjaannya bisa ditunda, mungkin aku akan langsung pulang. Kalau nggak, kayaknya aku akan menginap di sana.” Lyra mengangguk mengerti. “Pak Adipati memangnya sedang pergi ke mana?” “Tadi pagi aku nyuruh dia buat pergi ke kota, bertemu dengan rekan kerjaku buat bahas pekerjaan. Sebenarnya seharusnya aku yang pergi ke sana. Tapi, rasanya agak berat buat ninggalin kamu. Jadi, aku menyuruh Adipati untuk mewakiliku.” “Oh, begitu,” balas Lyra memaksakan senyum. Dewangga tersenyum kecil ke arah Lyra. “Nanti aku akan mengabari jika aku tidak pulang. Tapi, tentu saja aku akan mengusahakan untuk pulang ke rumah dan tidur di rumah.” Lyra menganggukkan kepala mengerti. “Iya, Mas,” katanya. Entah kenapa mendadak Lyra berdoa dalam hati kalau Dewangga malam ini akan tidur di kantor yang berada di perkebunan. Lyra masih belum bisa menerima fakta bahwa Dewangga bisa marah seperti tadi. Jadi, mungkin memang lebih baik Dewangga tidak ada di rumah untuk sementara agar Lyra bisa memikirkan dengan tenang mengenai Dewangga dan perubahan emosinya yang terlalu mendadak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD