Jasmine 5. Unintentional Destiny

2768 Words
Jasmine segera membenarkan tas yang ia bawa di punggung dan mengambil bungkusan plastik berisi makanan dan minuman yang diberi oleh wanita baik tadi. “Maafkan saya, tadi saya tidak melihat Anda, Tuan. Sekali lagi saya minta maaf,” ujar Jasmine berulang kali menganggukkan kepala seraya menghormati. Dia tidak tahu kenapa, tapi rasanya dia takut bila terjadi sesuatu dan pria ini murka terhadapanya. Pria itu masih diam memperhatikan wanita yang tidak ia kenal. Dia meniti penampilan wanita ini dari atas sampai bawah. Kulit tubuhnya cantik, rambutnya juga terawat dan terlihat berkilau. Tapi pakaian yang ia kenakan begitu lusuh. Sepertinya wanita ini bukan warga asli Kairo, pikirnya. “Saya permisi, Tuan. Sekali lagi saya minta maaf,” ujar Jasmine masih menahan selendang hijau muda di wajahnya. Tidak mau banyak berpikir, Jasmine langsung berjalan menjauhi pria itu. Dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar yang ada di ujung sana. Sementara pria bertubuh tinggi dan berpakaian jubah coklat muda, dia masih bergeming di tempatnya. Matanya terus menatap wanita yang berjalan tergesa-gesa. Dia pikir, yang salah tadi adalah dia tapi kenapa wanita itu yang meminta maaf. Tas besar yang dibawa wanita itu sepertinya berisi sesuatu yang berharga. Atau mungkin wanita itu berasal dari kota lain dan merantau di kota ini, pikirnya. Belum berniat bergerak dari posisinya, dia terus menatap wanita itu. Lihat saja, gerak-geriknya menunjukan ketakutan yang luar biasa. Wanita itu tampak menoleh ke belakang dan melihatnya dari kejauhan. Langkah kakinya semakin cepat dan terburu-buru seperti dikejar seseorang. Karena bingung, dia memperhatikan penampilannya sendiri. Dia memakai jubah panjang berwarna coklat muda. Penampilannya rapi dan sopan. Dia memakai kopiah berwarna senada. Dimana letak seram dari penampilannya. Kenapa wanita itu begitu takut terhadapnya. Dia benar-benar bingung. “Amoun-Ra? Kamu sedang apa disana, Nak?” Dia langsung menoleh ke sumber suara. Kedua sudut bibirnya mengembang tipis, kakinya langsung berjalan menghampiri sang Ibunda tercinta. “Ibu sudah selesai?” Wanita itu tersenyum. “Tentu saja sudah, Nak. Kamu sedang apa? Kenapa kamu melamun disana?” “Ah … tidak apa-apa, Bu. Aku hanya menikmati suasana disini. Kita kembali sekarang?” “Iya, Nak. Tapi sepertinya Ibu lapar.” “Baiklah. Kita akan singgah di restauran kesukaan Ibu.” Dia mengambil tas kecil yang dipegang ibunya. “Kau selalu paham apa yang Ibu mau, Amoun-Ra. Romantislah pada pasanganmu.” Dia hanya tersenyum dan menatap ke arah tadi. Wanita itu sudah tidak terlihat lagi disana. ‘Cepat sekali dia pergi?’ bathinnya heran. “Ibu mau makan apa nanti? Perlu aku pesankan menunya sekarang?” Wanita itu menghela napas panjang. “Kau selalu saja mengalihkan pembicaraan. Baiklah, kita pesan disana saja.” “Baik, Bu. Aku rasa Kahled sudah menunggu kita.” Dia menuntun sang Ibunda tercinta menuju pintu keluar area Masjid megah ini. Sebenarnya dia tidak terlalu memikirkan itu, hanya saja dia masih belum mengerti kenapa wanita tadi terlihat ketakutan sekali. Mungkinkah wanita itu pencuri. Tapi jika dia mencuri, sikapnya pasti akan ketahuan CCTV. Dugaan terbesarnya, kemungkinan wanita itu belum terbiasa bertemu dengan orang asing. Dia menutup setengah wajahnya membuat ia tidak leluasa membaca karakternya tadi. Dia berharap bisa melihat wanita itu diluar sana. Jika tidak, dia juga tidak akan memikirkannya lagi. Kejadian tadi sudah terlewat dan dia menganggapnya angin lalu. … Disisi lain, Jasmine berjalan cepat menjauhi area Masjid. Dia melihat warung kecil di sebelah sana, Jasmine langsung berjalan cepat menghampiri warung itu untuk beristirahat. Warung yang tidak terlalu ramai. Jasmine meletakkan tas yang ia bawa diatas bangku panjang berbahan kayu. “Salam, Bu. Selamat siang,” ujar Jasmine sembari menangkupkan kedua telapak tangan di d**a. Wanita itu tersenyum dan membalas gerakan yang sama. “Wa’alaikumsalam. Mau pesan apa, Nak?” Jasmine bingung. Dia tahu kalau warung ini menjual makanan dan minuman. Pertanyaan ibu ini mengisyaratkan kalau kemungkinan dia ingin beristirahat dan menikmati makan siang disini. “Ah … saya pesan air hangat saja boleh, Bu? Soalnya saya … membawa bekal dari rumah,” ujar Jasmine tersenyum tipis. Wanita itu mengangguk paham. “Tidak apa-apa, Nak. Silahkan duduk. Saya akan ambilkan air hangat untuk kamu. Nikmati makan siangmu, jangan sampai perut kamu sakit.” “Terima kasih banyak, Bu.” Jasmine duduk di bangku panjang disana. Dia mengambil bekal yang ia bawa dari rumah. Namun, dia bergeming sejenak. Mana yang harus ia nikmati terlebih dulu. Makanan pemberian wanita tadi sebenarnya bisa ia makan untuk nanti malam. Lalu, bekal yang ia bawa sekarang tidak bisa dimakan untuk nanti malam karena pasti rasanya tidak akan enak lagi. ‘Lebih baik roti ini untuk nanti malam saja,’ bathinnya sambil mengambil botol mineral dari dalam bungkusan plastik itu. Kemudian, Jasmine menyimpan makanan yang ada di dalamnya ke dalam tas. Dia memutuskan untuk menikmati bekal yang ia bawa dari rumah. Sembari memperhatikan area di sekitarnya, Jasmine membuka penutup botol yang ia pegang. Warung ini berdiri dibawah pepohonan kelapa rindang. Angin terasa sepoi-sepoi. Beberapa pembeli sedang menikmati makan siang mereka sembari bercerita dengan rekannya. Sementara dia tidak memiliki siapa-siapa dan hanya seorang diri saja. “Silahkan diminum, Nak. Ini masih hangat,” ujar wanita itu menghampiri Jasmine sembari menyodorkan segelas air hangat. Jasmine tersenyum dan langsung menutup botol air mineral yang hendak ia minum. Ternyata ibu ini lebih dulu menyuguhkan air hangat yang ia pesan. “Terima kasih banyak, Bu.” Dia tersenyum. “Sama-sama, Nak. Kalau butuh sesuatu, bilang saja ya, Nak. Saya mau mencuci piring dulu di belakang.” Wanita itu hendak berlalu dari hadapan Jasmine. “Iya-iya, Bu. Terima kasih untuk air hangatnya. Saya mau makan siang dulu.” “Iya, Nak. Silahkan isi perutmu.” “Iya, Bu. Terima kasih.” Pemilik warung ini sangat ramah sekali. Jasmine merasa tenang beristirahat disini. Sesekali dia melempar senyuman kepada pembeli yang sedang bersitirahat di warung ini. Meja di warung ini cukup banyak. Hampir ada di berbagai sisi warung. Letak warung ini juga strategis, berdekatan dengan Masjid besar Al-Fattah Al-Alim. Jasmine membuka bekal makanan yang ia bawa. Sembari menikmati bekal makan siang, dia memperhatikan area di sekitarnya. Tidak jarang orang-orang yang mengunjungi Masjid itu juga mampir di warung ini untuk sekedar membeli air mineral atau makan siang. Jasmine melihat lauk-pauk yang disediakan pemilik warung ini juga beraneka ragam. Pembeli datang silih berganti dan Jasmine belum selesai menikmati makan siangnya. Tinggal sedikit lagi. Mungkin Jasmine terlalu menikmati suasana sehingga dia tidak terlalu fokus untuk cepat-cepat menyelesaikan makan siangnya. Posisi duduk Jasmine saat ini adalah menghadap ke arah barat. Tanpa disengaja, matanya menatap ke arah jalan besar di seberang sana. Tampak sebuah mobil mewah berwarna hitam melewati warung yang ia singgahi sekarang ini. Mobil mewah itu menurunkan setengah kaca mobil tepat disisi yang bisa ia lihat. Seorang pria berkaca mata melihatnya dari dalam mobil. Kening Jasmine berkerut. Matanya terus memandang mobil yang melaju ke arah barat. ‘Ada apa? Dia melihat siapa? Apa dia berniat singgah ke warung ini?’ bathin Jasmine bertanya-tanya. Warung ini memang hampir penuh. Bahkan ibu sang pemilik warung tidak bekerja seorang diri. Ada seorang anak perempuan berusia tanggung yang juga membantunya melayani pembeli. Hanya tersisa 2 meja saja di warung ini. Selebihnya sudah dihuni oleh pembeli yang singgah untuk menikmati makan siang. Jasmine pikir, mungkin pemilik mobil tadi hendak singgah ke warung ini. Namun, keramaian warung ini mengurungkan niatnya. Yah, begitulah yang Jasmine pikirkan. Sama seperti warung yang ia singgahi, beberapa warung lain yang ada di sebelah sana juga terlihat ramai sekali. Tempat ini benar-benar strategis dijadikan sebagai tempat berjualan makanan matang, pikirnya. “Kalau mau nambah bisa pilih menu di dalam, Nak. Mau Ibu ambilkan?” Jasmine langsung menoleh ke sumber suara. “Ah … terima kasih, Bu. Ini saja sudah cukup. Perut saya sudah kenyang, Bu.” Dia tersenyum lalu menyuap sisa makanan terakhir. Wanita itu tersenyum dan berjalan menghampiri meja Jasmine. Dia duduk di hadapannya, berseberangan meja. “Kalau mau lagi, jangan sungkan. Lauk di dalam masih banyak,” ujar wanita itu dengan nada bicara sangat ramah. Jasmine tersenyum dan mengangguk pelan. Sepertinya, wanita ini sangat baik. Dia hendak membuka suara, tapi suara seorang anak kecil mengurungkan niatnya. “Nyonya, sedekahnya … saya belum makan dari pagi. Saya minta roti untuk saya dan adik saya. Seikhlasnya saja, Nyonya.” Dia melihat dua orang anak kecil dimana seorang anak kecil bertubuh lebih besar tengah menggendong adiknya di punggung. “Oh sebentar, Nak. Sebentar ya,” ujar wanita itu langsung sigap beranjak dari bangku. “Nina? Tolong lihat pembeli yang lain ya. Ibu mau membungkus makanan.” “Baik, Bu.” Jasmine menatap ibu tadi masuk ke dalam warung. Sementara Jasmine langsung membuka tas miliknya dan mengambil bungkusan yang tadi ia simpan. ‘Anak-anak ini lebih membutuhkannya dari pada aku,’ bathin Jasmine tersenyum tipis. Dia berdiri dan mengambil botol air mineral yang belum sempat ia minum. Kemudian, dia menghampiri dua anak laki-laki yang sedikit berjarak dari warung. “Saya dan adik saya belum makan sejak pagi, Nyonya.” Jasmine langsung berjongkok di hadapan dua anak laki-laki yang berpakaian lusuh. Mereka berdua seperti tidak terawat. “Ini untuk kalian,” ujarnya lalu membuka bungkusan plastik itu lalu menyimpan botol air mineral di dalamnya. “Terima kasih, Nyonya. Semoga Allah membalas kebaikan, Nyonya. Allah melimpahkan segala kebaikan dan keberuntungan untuk Nyonya di dunia dan di akhirat.” Jasmine tersenyum dan mengangguk kecil. “Amin. Terima kasih untuk doa baik kalian yah. Semoga Allah membalas doa baik kalian,” ujarnya mengusap kepala kedua bocah laki-laki itu bergantian. Seketika dia mengingat sesuatu. “Oh iya sebentar.” Jasmine langsung mengambil pecahan uang yang ia dapat dari kembalian uang membayar bus tadi. Dia mengambil 25 Pound Mesir dari saku kemeja yang ia kenakan. “Ini untuk kalian. Semoga bisa bermanfaat,” ujarnya tersenyum. Anak laki-laki itu tersenyum dan terus menganggukkan kepala. “Terima kasih banyak, Nyonya. Terima kasih banyak. Semoga Allah selalu melindungi Anda dimanapun Anda berada.” “Amin. Terima kasih ya.” “Tunggu sebentar, Nak.” Jasmine langsung menoleh ke belakang. Dia melihat bungkusan berukuran cukup besar dipegang oleh ibu pemilik warung. “Ini untuk kalian. Sekalian untuk makan malam juga. Besok kalau mau, kesini lagi yah?” Kedua anak laki-laki itu bersalaman dengan dua wanita yang memberi mereka rezeki di siang hari ini. “Terima kasih banyak, Nyonya. Semoga warung Anda selalu ramai dan Allah menderaskan rezeki kalian setiap hari.” Jasmine dan ibu itu saling menatap satu sama lain. “Amin, amin, amin.” Mereka menjawab kompak. “Kami permisi, Nyonya. Terima kasih banyak.” “Iya. Hati-hati ya, Nak.” Sementara Jasmine menatap dua orang anak laki-laki itu berjalan ke arah barat. Mungkin mereka akan pulang ke rumah, pikirnya. Setelah menatap kepergian dua orang anak laki-laki tadi, mereka kembali duduk di bangku semula. Belum sempat Jasmine bertanya, ibu pemilik warung sudah lebih dulu membuka suara. “Dua orang anak laki-laki tadi memang selalu ke warung kami, Nak. Setiap hari mereka akan mampir kesini untuk meminta makanan,” ujarnya. Jasmine menatap wanita yang duduk berhadapan dengannya. “Alhamdulillah kami tidak kekurangan apapun. Jika kita memberi, justru doa dari orang-orang yang kita beri tidak akan terlewatkan oleh Allah,” ujarnya tersenyum. “Oh iya, Nak. Kalau saya boleh tahu, apa kamu berasal dari kota lain?” Dia tersenyum tipis. Kenapa orang-orang bisa menebak asal kotanya. “Ibu sudah tahu ternyata.” Ibu pemilik warung tersenyum. “Terlihat dari gerak-gerik dan nada bicaramu, Nak. Dan … kamu membawa pakaian di dalam tas itu?” “Eumh … iya, Bu. Saya … dari Port Said. Saya datang ke Kairo untuk … mengenyam pendidikan tari.” Ibu itu mengangguk paham. “Kamu hobi menari ya?” Jasmine tersenyum malu. “Sebenarnya … saya ke Kairo untuk mencari pengalaman baru, Bu. Dan … saya mau mencari alamat sekolah tari yang saya tuju,” ujarnya lalu mengambil brosur sekolah tari dari dalam tas, kemudian menyodorkannya ke arah ibu pemilik warung. “Sekolah tari? Coba saya lihat.” Ibu itu tampak terdiam membaca brosur sekolah tari yang disodorkan oleh Jasmine. Dia berpikir sejenak, kenapa gadis cantik ini justru memilih pendidikan tari perut. “Kamu … memang ingin mengenyam pendidikan tari perut, Nak?” “Iya, Bu. Saya … memang ingin sekali meneruskan bakat almarhumah ibu saya.” “Oh … berarti bakat almarhumah Ibu kamu sudah mengalir di darahmu ya, Nak. Baguslah kalau begitu.” Jasmine hanya tersenyum kecut dan mengangguk kecil. “Kamu mencari alamat ini??” “Iya, Bu. Saya sempat bertanya dengan ibu-ibu di area pemberhentian bus. Dan ibu itu bilang kalau saya harus bertanya lagi dengan orang-orang di sekitar sini supaya tidak salah alamat.” Wanita itu tersenyum. “Alamat sekolah tari Nirmala tidak jauh dari sini, Nak. Kamu naik bus lagi dan katakan kalau kamu mau ke alamat yang ada di brosur ini. Nanti dari jalan besar, kamu hanya perlu berjalan sedikit saja. Karena sepertinya, alamat sekolah tari ini tidak jauh dari jalan besar,” jelas ibu pemilik warung panjang lebar. Jasmine mengangguk paham. “Begitu ya, Bu. Baiklah. Saya akan naik bus dari sini, Bu.” “Kamu mau ke alamat itu hari ini juga?” “Iya, Bu. Saya mau mendaftarkan diri disana, Bu.” “Kalau begitu, cepat kesana. Karena biasanya sekolah disini tutup tidak lewat dari jam 3 sore.” “Benarkah, Bu?” “Iya, Nak. Sebaiknya kamu kesana sekarang juga.” Jasmine langsung bersiap diri untuk pergi ke sekolah tari yang ia tuju. “Iya, Bu. Saya kesana sekarang juga,” ujarnya tersenyum ramah. Ibu pemilik warung langsung masuk ke dalam tanpa mengatakan sepatah katapun kepadanya. Tapi, Jasmine sadar kalau dia belum membayar air hangat yang ia pesan. Jasmine segera menghabiskan air hangat yang ia pesan, kemudian menyiapkan uang untuk membayarnya. Setelah merapikan selendang di kepalanya dan mengalungkan tas di pundaknya, Jasmine berjalan masuk ke dalam warung. “Permisi, Bu. Saya belum membayar air hangat yang saya pesan tadi,” ujarnya. Tidak lama berselang detik, ibu pemilik warung keluar dari sana dan menyodorkan bungkusan plastik untuk Jasmine. “Ambil ini, Nak. Mana tahu kamu lapar lagi nanti malam. Kamu bisa makan ini.” Jasmine terdiam menerima bungkusan plastik yang sudah berada di tangannya. “Kalau kamu mau bermalam disini, kamu bisa kembali kesini nanti malam. Kebetulan ini rumah kami juga. Kamu bisa menginap disini. Saya hanya berdua saja dengan putri saya,” ujarnya tersenyum. Belum sanggup berkata apapun, kedua mata Jasmine memerah. “Jangan menangis, Nak. Niat kamu ke kota ini untuk menuntut ilmu. Jadi jangan patahkan semangat kamu dengan air mata. Simpan air mata itu untuk menyambut kemenangan atas niat baik kamu,” ujar wanita itu membelai wajah Jasmine. “Terima kasih, Bu. Saya hanya bisa berdoa semoga Allah membalas kebaikan kalian.” “Iya, Nak. Terima kasih untuk doa baik kamu. Wajahmu pasti secantik almarhumah Ibu kamu.” Jasmine berusaha menahan air mata. Dia mengangguk pelan. “Ibu, pesanan saya tadi—” “Tidak perlu dibayar. Hanya air hangat saja. Sudah, sekarang pergilah. Lanjutkan niat baik kamu. Kalau tidak ada tempat berteduh nanti malam. Kamu bisa bermalam disini.” Dia tidak tahu harus berbicara apa. Tapi sepertinya, orang-orang disini sangat baik. “Terima kasih banyak, Bu. Semoga Allah memperpanjang usia kalian dan dilimpahkan kesehatan.” “Amin, amin, amin.” “Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Terima kasih untuk suguhan air hangatnya.” “Sama-sama, Nak.” Jasmine hendak pergi, tapi ibu pemilik warung kembali berbicara. “Nak, tunggu …” “Iya, Bu??” “Kamu boleh mengingat pesan saya ini.” Kening Jasmine berkerut. “Iya, Bu? Apa itu??” “Jangan beritahu nama asli kamu kepada orang yang baru kamu kenal sebaik apapun dia padamu. Kecuali, jika dia memang akan sering berkomunikasi padamu.” Jasmine tertegun. “Jika diajak berkenalan dengan seseorang yang baru kamu kenal, samarkan namamu. Sekalipun kamu akan sukses di dunia luar, tetap jaga privasi nama kamu hanya untuk kamu dan orang-orang terdekatmu saja. Itu pesan saya. Boleh kamu pakai atau tidak, itu terserah kamu, Nak.” Selama beberapa detik Jasmine menatap ibu pemilik warung ini berbicara serius. Selanjutnya, dia mengangguk paham. “Baik, Bu. Saya akan mengingat pesan Ibu. Terima kasih untuk nasihat dan pesannya. Itu akan sangat berguna untuk saya.” “Sama-sama, Nak. Semoga Allah selalu melindungi langkah kakimu dimanapun kamu berada.” “Terima kasih banyak, Bu. Saya permisi.” Ibu pemilik warung itu mengangguk dan tersenyum. Dia menatap punggung seorang gadis yang wajahnya tidak asing baginya. Entah kenapa, dia seperti pernah mengenal gadis itu sebelumnya. Tapi saat tahu bahwa gadis itu baru pertama kali menginjak Kairo, sepertinya itu tidak mungkin. Apalagi saat tahu bahwa niat gadis itu adalah untuk mengenyam pendidikan tari perut, seketika dia mengingat kejadian puluhan tahun yang silam. Kejadian yang sengaja disembunyikan dari dunia Mesir. ‘Sepertinya itu tidak mungkin. Tapi … semoga Allah selalu melindungi langkah kakimu, Nak.’ * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD