Jasmine 4. Stepping on The City of Cairo

1719 Words
*** Cairo, Egypt., Dia menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam 50 menit karena kemacatan yang panjang tadi. Setelah turun dari bus, Jasmine berdiam diri sejenak sembari memperhatikan kota Kairo yang begitu ramai. Kota impian semua orang untuk menimba ilmu dan mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Sudah hampir 5 menit dia berada di area pemberhentian bus. Semua orang berjalan mengejar tujuan masing-masing, tapi sementara dia tidak tahu harus pergi kemana. Di benar-benar buta untuk melangkah setelah ini walau ia tahu, ia ingin mencari sekolah tari yang ia maksud. Jasmine tidak memiliki jam tangan, dia tidak tahu jam berapa sekarang ini. ‘Disini sangat ramai. Aku harus pergi kemana?’ bathinnya sambil menyeka keringat yang sudah membasahi kening. Tapi kalau dia berada disini terus menerus, dia tidak akan menemukan sekolah tari yang ia tuju. Apalagi hari sudah sangat terik, kemungkinan ini sudah hampir siang hari. Jasmine mengeluarkan brosur tari yang ada di saku jaket yang ia pakai. Dia membaca alamat yang tertera disana. “Sekolah Tari Perut Nirmala. Aku harus bertanya sama seseorang,” gumamnya kemudian mulai melangkah dari posisinya sejak ia turun dari bus. “Bismillah. Kakek, Nenek … doakan Jasmine.” Dia menghela napas panjang dan memperhatikan pintu keluar dari area ini. Dia memperhatikan setiap orang yang lalu lalang membawa koper dan tas besar. Ada juga yang bersama keluarganya dan ada juga yang seorang diri seperti dirinya. Sembari menahan tas yang lumayan berat di punggungnya, Jasmine terus melangkahkan kaki menuju pintu keluar di sebelah sana. Setelah keluar dari area bus ini, dia akan bertanya kepada orang-orang mengenai alamat yang ia tuju. … Jasmine berjalan ke arah timur. Dia tidak tahu apakah langkah kakinya benar atau salah. Tapi dia mencoba mencari sebuah toko yang tidak terlalu ramai untuk bertanya mengenai brosur yang sedang ia pegang. ‘Semua orang sibuk sekali. Aku bertanya pada siapa ya?’ bathinnya terus menatap kesana-kemari. Jasmine bingung sekaligus takut. Sebenarnya dia takut bila dia bertanya pada orang yang salah. Namun, dia yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu melindungi langkah kakinya kemanapun ia pergi. ‘Tanya sama ibu itu saja,’ bathinnya ketika melihat seorang wanita berada di sebuah warung kecil yang tidak ramai. Jasmine menghampiri warung sederhana itu. “Permisi, Bu? Maaf saya mau numpang tanya, Bu.” “Iya? Mau bertanya apa, Nak?” Dia tersenyum dan langsung memperlihatkan brosur yang ia buka lebar kepada wanita yang usianya mungkin sekitar 40 tahunan. “Saya mau bertanya mengenai alamat sekolah tari Nirmala ini, Bu. Apa Anda tahu dimana alamatnya, Bu? Saya harus pergi ke arah mana ya, Bu?” Wanita itu mengangguk dan langsung berjalan keluar dari warung. “Mari saya tunjukan arahnya.” Jasmine tersenyum lega dan mengikuti langkah kaki wanita itu. “Saya tidak tahu sekolah Nirmala yang kamu maksud. Tapi kalau untuk alamat itu letaknya lumayan jauh dari sini,” ujar wanita itu kemudian mengayunkan tangan kanannya ke arah yang ia maksud. “Kamu harus berjalan ke arah barat. Nanti disana, kamu akan melewati masjid terbesar di Kairo.” “Masjid Al-Fattah Al-Alim, Bu?” Wanita itu tersenyum dan mengangguk. “Iya, benar. Alamat yang kamu maksud tidak jauh dari Masjid itu. Kamu harus bertanya lagi pada orang-orang disana supaya kamu tidak menyasar dan salah alamat.” Jasmine mengangguk paham. “Baiklah, Bu. Terima kasih untuk penjelasannya. Berarti saya harus ke arah sana ya, Bu?” “Iya. Kamu harus ke arah barat. Ada bus yang melewati Masjid itu. Kamu hanya perlu mengatakan kalau kamu mau ke alamat yang ada di brosur itu.” Dia tampak berpikir. Jika dia menggunakan bus, itu akan mengeluarkan uang lagi. “Jaraknya jauh dari sini ya, Bu?” “Lumayan jauh. Kalau kita naik bus, bisa memakan waktu sekitar 20 atau 30 menit. Kamu memang harus menaiki bus ke arah yang sama.” Jasmine mengerti. Mungkin informasi ibu ini sudah lebih dari cukup. “Baiklah, Bu. Terima kasih sekali lagi.” “Iya, sama-sama. Kalau saya boleh tahu, kamu bukan warga Kairo?” Dia tersenyum tipis. Mungkin, ekspresi bingungnya sejak tadi telah dibaca oleh wanita ini. “Iya, Bu. Saya … dari Port Said. Ini pengalaman pertama saya menginjak Kairo. Itu sebabnya saya tidak tahu apa-apa.” Wanita itu mengangguk. “Oh begitu. Sebentar,” ujarnya lalu berjalan masuk ke dalam warung. Jasmine terlihat bingung. Dia menatap ke arah yang dimaksud oleh ibu tadi. ‘Kalau naik bus, bisa 20 atau 30 menit ya? Tapi … sayang uangnya.’ Dia mengibas kemeja yang sudah basah karena tubuhnya berkeringat sejak ia sampai di kota ini. “Ini,” ujar wanita itu menghampiri Jasmine dan memecah lamunannya. Kening Jasmine berkerut. “Apa ini, Bu?” tanyanya bingung. Wanita itu tersenyum dan mengambil tangan kanan gadis cantik yang ia tidak tahu siapa namanya. Tapi dia yakin, gadis ini sepertinya anak baik-baik. Gadis ini seorang diri dan dia tidak tega melihatnya kelaparan dan kehausan di perjalanan nanti. “Ambil ini. Kebetulan tadi pagi saya membuat roti fatir dan isyh. Masih tersisa banyak. Sudah tidak hangat lagi memang, tapi semoga bisa mengenyangkan perut kamu,” ujarnya menyodorkan plastik berukuran sedang dan juga sebotol air mineral. Jasmine tersenyum kecut dan hendak menolak halus. “Aduh, Bu. Tidak perlu repot-repot. Saya tidak bisa menerima—” “Rezeki tidak boleh ditolak, Nak. Ambil saja. Lumayan untuk bekal makan siang kamu. Sebentar lagi masuk adzan Dzuhur. Kamu harus makan siang, bukan?” Dia terpaksa menerimanya beserta sebotol air mineral di dalam plastik. “Terima kasih banyak, Bu. Anda baik sekali. Semoga Allah membalas kebaikan Anda,” ujar Jasmine terenyuh dan hendak menitihkan air mata. Dia langsung mencium punggung tangan kanannya. Wanita itu tersenyum dan membelai puncak kepala gadis di hadapannya. “Amin. Semoga Allah mengabulkan doa baik kamu dan doa baik kamu kembali pada diri kamu sendiri.” Jasmine tersenyum dan hendak berlalu dari sana. “Dulu saya juga perantauan. Tapi karena suami saya warga Kairo, akhirnya kami memutuskan menetap disini.” Dia mengangguk dan menyempatkan diri mendengar ucapan wanita ini. “Jika niat kamu baik, Allah pasti memberi jalan dan mempertemukan kamu dengan orang-orang baik. Semoga Allah melancarkan apa yang menjadi tujuan kamu di kota ini.” “Terima kasih banyak atas doanya, Bu. Dan … terima kasih banyak atas makanan dan minumannya. Allah membalas kebaikanmu, Bu.” “Terima kasih, Nak. Silahkan lanjutkan perjalananmu. Niat baik tidak boleh ditunda.” Jasmine tersenyum. “Iya, Bu. Terima kasih sekali lagi. Saya permisi, Bu. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan.” Jasmine mengangguk dan melangkahkan kakinya menjauhi warung kecil itu. Sembari menenteng plastik berisi makanan dan minuman, sesekali dia membenarkan tas yang mulai terasa berat di punggungnya. Wanita itu menatap punggung gadis muda yang wajahnya cantik jelita. Bila melihat brosur tadi, sepertinya dia bisa menebak kalau gadis cantik itu ingin mengenyam pendidikan tari perut di Nirmala. Dia tersenyum. ‘Semoga cita-citamu tercapai, Nak.’ … Perjalanan yang ia tempuh masih jauh. Dia merasa beruntung bertemu dengan wanita yang ternyata satu keyakinan dengannya. Jasmine membuka bungkusan plastik yang ia bawa. Sudah lama sekali dia tidak menikmati roti fatir dan isyh. Sepertinya sangat nikmat. ‘Nanti saja aku menikmatinya,’ bathin Jasmine. Ibu itu bilang sebentar lagi masuk waktu Dzhuhur. Itu artinya ini sudah masuk waktu makan siang. Sekolah tari perut Nirmala melewati Masjid Al-Fattah Al-Alim. Mungkin, dia bisa beristirahat sebentar di Masjid megah itu. Jasmine tahu kalau Masjid Al-Fattah Al-Alim adalah Masjid termegah di kota Kairo. Dia belum pernah melihatnya secara langsung. Tidak ada salahnya kalau dia beristirahat di Masjid itu dan menikmati makan siang sebentar di sekitar areanya. Setelah itu, dia bisa melanjutkan perjalanan. *** Al-Fattah Al-Aleem Mosque, Cairo, Egypt., Jasmine melebarkan senyuman di kedua sudut bibirnya. Setelah turun dari bus dan berjalan kaki sebentar, akhirnya dia bisa melihat monumen arsitektur megah di Kairo. Kakinya melangkah masuk di pelataran Masjid. ‘Ya Allah … aku tidak menyangka bisa melihat Masjid indah ini. Terima kasih sudah mengizinkan aku untuk menginjaknya,’ bathin Jasmine terus tersenyum manis. Mungkin, kalau dia benar-benar berjalan kaki dari tempat tadi, kakinya pasti akan lelah. Beruntung dia mengikuti kata hati dan naik bus sehingga dia tidak akan tertinggal waktu Dzuhur. Hampir semua orang yang berkunjung ke Masjid ini memakai kerudung. Jasmine merasa malu, dia berhenti melangkah lalu mengambil selendang milik sang Nenek dari dalam tas yang ia bawa. Dia langsung memakai selendang itu dan melingkarkan di lehernya. Setelah rapi, Jasmine kembali melanjutkan langkah kakinya menyusuri pelataran mewah Masjid indah ini. Jasmine menatap takjub eksterior megah Masjid ini. Tidak salah kalau Masjid ini pernah dijadikan ikon mata uang Mesir. Walau baru pertama kali mengunjungi Masjid ini, Jasmine sudah merasa beruntung. Ini adalah rezeki. Seketika ia mengingat kakek dan neneknya di Port Said. Seandainya saja dia bisa membawa mereka mengunjungi Masjid megah ini, mereka pasti sangat bahagia. Mungkin nanti, kalau dia sudah memiliki uang yang cukup dan mengajak mereka untuk liburan ke Kairo. Jasmine berjanji akan bekerja keras disini. Dia masih ingat kalau harus kembali ke Port Said setelah semua urusannya selesai. Namun, dia pikir lebih baik jika mencari pekerjaan disini untuk menambah tabungan mereka. ‘Maafkan Jasmine. Kakek dan Nenek jangan khawatir. Jasmine akan menjaga diri disini.’ Kakinya terus melangkah menuju pintu utama Masjid yang terletak cukup jauh dari posisinya. Jasmine tidak menyangka jika Masjid ini sangat luas sekali. Tidak heran jika Masjid Al-Fattah Al-Alim ini mampu menampung belasan ribu jamaah. … Beberapa menit kemudian., Setelah selesai menunaikan kewajiban utamanya, Jasmine keluar dari Masjid dan hendak mencari tempat yang cocok untuk dia beristirahat dan menikmati makan siang. Sebagai pengunjung, Jasmine memahami adab di sebuah Masjid. Jika tidak ada tempat yang cocok, mungkin dia akan keluar dari area Masjid ini dan menyinggahi warung kecil di luar sana. Kakinya melangkah lambat dan terus memperhatikan area di sekitarnya. ‘Indah sekali Masjid ini,’ bathin Jasmine terus mengulum senyum. Dia berjalan keluar dari area utama dan memperhatikan pengunjung lain tampak mengabadikan momen mereka siang ini. Ingin sekali dia seperti mereka. Namun, sayangnya Jasmine tidak memiliki ponsel untuk mengabadikan pengalaman pertamanya menginjak Masjid ini. Dia berjalan sembari melihat kesana dan kemari. Bughh! “Aahk!” pekik Jasmine terjatuh. “Ya Allah. Maafkan saya, Nyonya.” Dia segera membantu wanita yang tidak sengaja ia tabrak barusan. Jasmine berkeringat dingin. Dia langsung menarik selendang dan menutup setengah wajahnya. “Tidak apa-apa, Tuan. Tidak, terima kasih.” Jasmine menepis pelan kedua tangan pria itu dari lengannya. Pria itu menatap lekat wanita yang enggan untuk ia bantu. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD