Jasmine 6. A Plant of Goodness That will always Bear Sweet Fruit

2072 Words
Setelah menempuh perjalanan hampir 20 menit, akhirnya Jasmine turun di persimpangan empat yang lumayan sepi. Dia pikir kemungkinan jarak Masjid tadi dengan area ini cukup jauh, tetapi ternyata tidak. Jasmine menatap kepergian bus berukuran sedang yang ia tumpangi tadi. Kemudian, dia menghela napas panjang dan memperhatikan sekitarnya. Area disini sepi sekali. Toko yang satu dengan toko yang lain memiliki jarak cukup jauh. Hanya ada daratan tak berpohon disekitarnya. ‘Aku harus ke arah mana ya?’ bathinnya sembari melihat kesana-kemari dan membaca alamat di brosur yang masih ia pegang. Seingatnya, Ibu tadi mengatakan kalau letak alamat yang ia cari tidak jauh dari jalan besar. “Ini jalan besar. Lalu alamatnya … dimana?” gumamnya sembari berbalik badan dan melihat ke arah sana. Dia berhenti tepat di persimpangan empat dan terdapat banyak tanda anak panah disana. Tentu saja Jasmine tidak tahu menahu mengenai tulisan pada tanda panah tersebut. Namun, ketika matanya menatap lurus ke depan. Dia melihat ada baliho terpampang besar disana. “Ada gambar tarinya. Apa mungkin itu?” gumam Jasmine bertanya-tanya. Tidak mau banyak berpikir, Jasmine melangkahkan kakinya menuju satu jalan kecil. Kalau ternyata baliho itu bukan yang ia tuju, Jasmine akan mencarinya lagi dan bertanya kepada pemilik toko yang ada di sekitarnya. Kemungkinan mereka pasti tahu sekolah tari perut Nirmala yang ia maksud. Terik panas matahari tidak menghalangi niat Jasmine untuk mencapai tujuan. Yang ada dihatinya adalah kakek dan nenek yang berada di Port Said. Mereka berdua pasti tengah berdoa untuknya. Entah mereka sedang apa sekarang. Tapi biasanya, di siang seperti ini mereka sedang bersantai di depan toko. Dia berharap para tetangganya bisa menghibur mereka berdua disana. ‘Izinkan Jasmine untuk menimba ilmu ini, Nek. Jika Jasmine gagal, Jasmine berjanji akan kembali ke Port Said secepatnya,’ bathin Jasmine sembari bersemangat melangkahkan kaki. Sembari berjalan ke arah yang ia tuju, Jasmine memperhatikan sekitarnya. Benar-benar area yang gersang dan sepi sekali. Sangat berbeda dari area-area yang ia lewati sejak tadi. Jasmine pikir, kemungkinan area ini bukan area perkotaan sehingga tidak banyak orang yang berkunjung kesini. Beberapa toko juga terlihat tutup bahkan seperti tidak berpenghuni. Tidak padat seperti saat ia sampai di Kairo. Tidak banyak bangunan menjulang tinggi, tidak banyak manusia, apalagi kendaraan yang berlalu lalang. ‘Apa pekerjaan mereka yang hidup di area ini? Bukankah ini juga daerah Kairo?’ Jasmine terus memperhatikan sekitarnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, berharap ada manusia yang berjalan di area sekitar sana atau mungkin kendaraan yang berlalu lalang. Dia merasa area ini seperti mati penduduk. Tidak sedikitpun ia melihat kehidupan nyata disini. “Sudahlah. Yang penting aku harus mengeceknya langsung,” gumamnya bersemangat. Jasmine sedikit merasa takut dengan area gersang disini. Port Said terlihat lebih ramah dari pada area gersang disini jauh lebih mengerikan. Namun, setelah mengingat apa tujuan ia mengunjungi Kairo, ia kembali bersemangat. Kakinya melangkah tegap dan berjalan ke arah sana. Hampir 10 menit Jasmine berjalan kaki dari persimpangan tadi menuju jalan yang ia tuju. Semakin ia mendekati baliho yang dimaksud, Jasmine semakin mengembangkan senyuman di kedua sudut bibirnya. Dia memperhatikan dan menyamai nama sekolah tari perut yang ada di brosur dengan baliho yang terpampang begitu besar disana, The Nirmala Belly Dance School. “Ya Allah, ternyata benar. Itu dia, sekolah tari Nirmala.” Rasa lelah kaki Jasmine berganti menjadi semangat. Dia semakin melangkah lebar mendekati gerbang besi sederhan, tapi menjulang tinggi. *** The Nirmala Belly Dance School, Cairo, Egypt., Kepala Jasmine mendongak ke atas, menatap pagar tinggi di hadapannya. “Tinggi sekali pagarnya,” gumamnya lalu memperhatikan gedung berukuran sedang di area nan luas itu. Jasmine melihat gedung sederhana yang mungkin hanya memiliki dua lantai saja. Namun, tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan disana. “Kenapa sepi sekali ya? Apa memang sekolah tari ini baru buka?” gumamnya kembali bertanya-tanya. Dia berjalan kesana-kemari untuk mencari sesuatu yang bisa ia tekan. Siapa tahu ada bel atau lonceng yang bisa berbunyi agar orang-orang yang berada di dalam gedung bisa melihatnya. Sembari menahan beban di punggungnya, Jasmine berjalan ke arah sebelah sana. Halaman sekolah ini cukup luas dan tidak terlalu asri. Sama seperti area yang lain, area sekolah ini gersang dan tidak banyak pepohonan yang tumbuh. “Aku harus masuk lewat mana?” gumam Jasmne bingung. Kakinya terus melangkah menuju pembatas pagar dan melihat ke sisi lain gedung. Area sekolah tari perut ini sudah dibatas oleh bata menjulang tinggi. Hanya area bagian depan saja yang diberi pagar besi dengan tinggi yang sama. “Tidak ada bel atau apapun. Apa hari ini sekolah tutup?” gumamnya lagi. Jasmine menarik napas panjang. “Apa mungkin hari ini libur? Atau … sekolah ini belum beroperasi?” Dia langsung membaca ulang brosur sekolah tari perut Nirmala yang masih ia pegang. Perlahan, Jasmine membaca begitu detail dari bagian atas sampai bagian bawah. Lalu, ia membaca pada lembar berikutnya. Belum selesai ia membaca brosur itu, telinganya mendengar suara seseorang. “Siapa disana?” Jasmine langsung mendongakkan wajah dan menatap ke arah depan. Seorang wanita keluar dari pintu ujung gedung. “Apa dia pemilik skolah tari perut ini?” Namun, tidak mau cepat mengambil kesimpulan. Jasmine menjawabnya. “Assalamu’alaikum?? Permisi, Nyonya?? Apa benar disini sekolah tari perut Nirmala??” “Iya, benar. Sebentar saya kesana. Saya akan membukakan pintu gerbangnya.” Jawaban wanita itu membuat Jasmine tersenyum lega. Dia memperhatikan area sekolah tari perut Nirmala ini. Mungkin dia akan tahu mengenai sekolah ini setelah berbincang dengan wanita itu, pikirnya. … Beberapa menit kemudian., Ruangan tari., Dia tersenyum lalu menyuguhkan teh hangat, air mineral dingin, serta beberapa kue untuk wanita cantik yang mengunjungi sekolahnya. “Silahkan diminum dulu, Jasmine. Kau pasti lelah karena perjalanan panjang,” ujarnya ikut duduk bersilah di hadapan Jasmine. Betapa bahagia hati Jasmine tatkala pemilik sekolah tari perut Nirmala langsung menyambut kedatangannya dengan sikap ramah dan hangat. “Terima kasih, Bu Faizah. Saya minum dulu teh hangatnya,” ujar Jasmine mengambil segelas teh hangat yang disuguhkan kepadanya. Sejak awal mereka bertemu dan saling berkenalan, Jasmine merasa bahwa pemilik sekolah ini adalah wanita yang baik. Dia sendiri tidak merasakan takut apapun meski tahu kalau sekolah tari perut Nirmala ini belum memiliki seorang siswa sekalipun. Bahkan sebelum mengajaknya masuk ke area gedung sekolah, sang pemilik mengatakan kalau sekolah ini belum beroperasi. Jika dia memang berniat menjadi siswa, maka dia akan mengajarinya secara pribadi. Kalimat menyentuhnya membuat Jasmine tetap bertekad untuk menjadi siswa di sekolah tari yang wanita ini bangun. Pemilik sekolah tari perut Nirmala bernama Faizah Hasanuddin. Sebagai pemilik sekolah, Faizah mengembangkan sekolahnya seorang diri dan mempromosikan sekolahnya secara manual. Faizah terkejut ketika melihat seorang wanita berjalan mondar-mandir di depan gerbang sekolahnya. Karena tidak mau menaruh prasangka buruk, akhirnya Faizah menemui wanita itu. Semakin berjalan mendekati gerbang sekolah, Faizah melihat wanita tersebut tampak memegang brosur sekolahnya. Mereka berkenalan di depan gerbang karena Faizah takut bila wanita ini akan bersikap sama seperti gadis atau wanita lainnya yang enggan bergabung di sekolah tari perut yang ia bangun hanya karena belum beroperasi dan sama sekali belum memiliki siswa. Namun, ketika mendengar jawaban dari gadis itu membuat hati Faizah bahagia. Dia mempersilahkan gadis sopan tersebut untuk masuk ke area sekolahnya. Dia tampak lelah. Namun, dibalik keringat yang bercucuran di kening, wajahnya masih tetap cantik. Secantik namanya, Jasmine Nour-Neferu. Setelah selesai menyeruput teh hangat, Jasmine kembali membuka suara. “Saya mendapatkan brosur sekolah ini sewaktu saya masih di kampung, Bu. Saya tertarik karena … saya ingin sekali menjadi seperti almarhumah ibu saya,” ujar Jasmine berkata jujur. Faizah mengangguk paham. “Jadi semasa hidup, almrahumah ibu kamu dulunya adalah penari perut?” “Iya, Bu. Benar. Dan … entah kenapa, saya selalu tertarik bila melihat pertunjukan tari perut atau menontonnya dari televisi tetangga.” Dia tertegun mendengar ucapan Jasmine barusan. Entah kenapa, dia semakin iba melihat gadis cantik ini. “Begitu ya. Tapi … sekolah ini baru dibangun. Dan memang … saya masih berusaha mencari siswa lain supaya sekolah ini maju. Saya berharap, kamu tidak merasa malu dengan keadaan sekolahnya yang biasa saja.” Jasmine menggeleng pelan. “Tidak, Bu Faizah. Saya diterima di sekolah ini saja, sudah lebih dari cukup. Tapi, Bu … apa boleh saya tahu berapa biaya sekolah disini?” Faizah tertegun. Bila melihat gerak-gerik dan nada bicaranya, Jasmine terlihat tidak pernah bersosialisasi di area perkotaan. Dia tampak lugu sekali dengan niat yang sungguh-sungguh. Apalagi gadis cantik ini membawa tas cukup besar. “Kalau saya boleh tanya, kamu hidup bersama dengan siapa di Port Said?” tanya Faizah menatapnya lekat. Jasmine tersenyum kecut. “Saya hidup dengan Kakek dan Nenek, Bu. Karena … kedua orang tua saya meninggal ketika saya masih berusia batita.” Faizah terdiam. Jadi, gadis ini adalah yatim piatu. “Pekerjaan sehari-hari kamu? Bisa kamu ceritakan berapa penghasilan kamu setiap hari?” “Eumh … sebenarnya, sejak orang tua saya meninggal, Kakek dan Nenek menjual semua aset almarhum orang tua saya untuk bertahan hidup. Dulunya, keluarga kami mempunyai toko kain yang lumayan terkenal. Tapi karena perkembangan zaman, toko kain kami menjadi kurang laku. Bahkan … tidak pernah lagi dikunjungi pembeli,” jelasnya tersenyum tipis. Dia terus mendengarkan penjelasan Jasmine dan menilai apakah ada kebohongan di mata gadis bermata indah ini. “Nama toko kain kami, The Cloth Shop "Abbu Sabah". Tapi karena toko kami sudah usang dan tidak pernah direnovasi, lama-lama toko kami hampir bangkrut.” “Maaf kalau pertanyaan saya sedikit sensitif, Jasmine. Lalu, bagaimana dengan makan kalian sehari-hari??” Jasmine terus tersenyum tipis. Jika membahas itu, dia menjadi rindu dengan kakek dan neneknya. “Eumh … kami bergantung dari tabungan hasil penjualan aset keluarga, Bu. Itu sebabnya saya … berniat mau mengikuti pendidikan tari. Siapa tahu, saya bisa menambah uang tabungan kami dari hasil pekerjaan menari. Karena Kakek dan Nenek sudah tua. Saya kasihan kalau mereka ikut memikirkan biaya ekonomi kami,” jelasnya lagi. Hati Faizah terenyuh mendengar penjelasan panjang lebar Jasmine barusan. Entah apa yang ada di hatinya sekarang. Tapi, dia tidak menemukan kebohongan di mata Jasmine. “Kamu benar ingin belajar menari di sekolah ini??” “Iya, Bu. Saya ingin sekali. Dan sebenarnya … Kakek dan Nenek melarang keras saya meneruskan pekerjaan almarhumah Ibu saya. Sejak saya berusia 15 tahun, saya ingin sekali menjadi seorang penari. Tapi karena larangan mereka, saya memendam keinginan saya itu. Dan sebenarnya …” Kening Faizah berkerut. “Sebenarnya apa, Jasmine? Lanjutkan saja. Tidak apa-apa.” Jasmine tidak tahan dengan hati yang terus merasa kuat. Padahal, aslinya dia sangat lemah dan ingin menumpahkan semua perasaan sedihnya melalui air mata. “Saya pergi ke Kairo dengan alasan berbohong, Bu.” Dia menitihkan air mata. Faizah tertegun. “Kalau saya mengatakan alasan yang sebenarnya, Kakek dan Nenek tidak akan mungkin mengizinkannya. Jadi … saya bilang kalau saya mengikuti sosialisasi di Kairo.” Jasmine tidak tahan dan langsung menyeka air matanya. Dia kembali tersenyum tipis. Dia mendekati Jasmine dan mengusap kepalanya. Usapan lembut di kepala gadis yatim piatu yang memikirkan hati kakek dan neneknya di kampung. “Jangan bersedih. Kamu sudah berbohong pada mereka bukan?” Jasmine mengangguk lemah. “Iya, Bu. Dan … saya merasa sangat bersalah.” “Kalau begitu, kamu harus menebusnya. Kamu harus bersungguh-sungguh belajar dengan saya.” Dia terdiam mendengar ucapan sang pemilik sekolah tari ini barusan. “Dengar,” ujar Faizah memegang kedua tangan Jasmine. “Sekolah saya memang belum dihuni siswa. Tapi saya mau kamu menjadi siswa pertama saya.” Faizah paham dengan keputusan yang ia ambil. Dia tidak mungkin mengendurkan niat baik gadis yatim piatu ini. “Kamu harus menebus kebohongan kamu dengan kesuksesan kamu menjadi seorang penari.” Dia terdiam dan mengangguk lemah. “Saya akan mengajari kamu menjadi seorang penari bertubuh lentur. Dan … kita akan berusaha bersama-sama. Yang penting ada doa dan niat. Kamu paham?” Jasmine kembali menitihkan air mata. “Iya, Bu. Saya bersedia. Saya paham.” Faizah tersenyum dan berusaha menahan air matanya sendiri. “Karena kamu siswa pertama saya. Saya akan menjadi guru pribadi kamu tanpa bayaran sepeserpun. Saya ikhlas memberi ilmu kepada kamu. Dan kamu simpan saja uang yang kamu bawa,” ujarnya lalu membelai wajah Jasmine. “Tapi, Bu—” “Ini sudah menjadi keputusan saya. Yang penting kamu harus konsisten.” Jasmine langsung mengecup punggung tangan Faizah. “Terima kasih banyak, Bu Faizah. Terima kasih banyak. Saya berjanji, saya akan bersungguh-sungguh. Terima kasih banyak sekali lagi, Bu.” Faizah langsung membawa Jasmine ke dalam pelukan. Dia mengusap punggungnya. Entah kenapa, ada perasaan ingin menolong harapan kecil dari gadis yatim piatu ini. Setidaknya, Jasmine tidak akan merasa bersalah karena sudah membohongi kakek dan neneknya demi mengunjungi sekolah tarinya ini. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD