Seharusnya

1033 Words
    Saat Atha turun, semua anggota keluarga sudah duduk rapi di tempat masing masing. Meja makan khusus diatur untuk 12 orang. Tapi beberapa kursi masih kosong karena keluarga Hana belum datang.     "Res, kok kayaknya sudut bibir kamu memar, sih?" Atha sudah memulai lagi. Biasa lah, membuat Nares jengkel adalah hobinya. Ia mengatakan itu agar semua orang fokus pada memar Nares, sehingga mereka curiga.     Nares terhenyak. Sialan memang si Atha. "Anu ... aku tadi jatuh dari motor, Mas." Untung Nares cerdas. Ia tidak bohong, kan? Ia memang jatuh bersama motornya—setelah dibogem mentah Atha.     "Dia emang ceroboh banget, Tha," timpal Hima.     "Oh, jatuh. Aku pikir kamu berantem, Res." Atha terkikik.     Terang saja ia segera mendapat tatapan mematikan dari Nares. Nares saat ini sungguh menyesal. Kenapa tadi ia tidak melayangkan pukulan di area wajah Atha? Sehingga ia juga bisa mendapatkan bahan untuk bermain-main balik dengan Atha.     Tapi Nares sudah cukup puas dengan memukul perut Atha. Meskipun tak  sebanyak pukulan Atha padanya, tapi Nares yakin pukulannya cukup untuk menyakiti Atha selama beberapa hari.     Sementara pukulan Atha padanya—meskipun banyak—tapi buktinya sekarang Nares sudah bisa berdiri tegak dan berada di sini. Andai saja pukulan Atha mengenai bagian vitalnya, bisa jadi ia ada di rumah sakit sekarang.     "Tadi Tante pikir juga gitu, lho. Tante pikir si Nares berantem!" Wanda menimpali. Tak percaya sepenuhnya pada putranya.     "Eh ... eh ... sudah ... sudah ...." Moreno yang bijak muncul sebagai penengah. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang peka dengan perasaan Nares, meskipun statusnya hanya seorang paman.     Di lain sisi Moreno juga tak ingin Atha—putra sematawayangnya—semakin menjadi-jadi manjanya. Makanya ia harus bertindak saat semua orang mulai kumat memanjakan dan mengistimewakan Atha. Sekaligus selalu memojokkan Nares.     Perhatian semua orang teralih, kala satu keluarga yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Seorang wanita yang berwajah mirip dengan Mirna dan Wanda telah datang bersama suami dan kedua putranya.     "Hanaaaa!" pekik Mirna segera. Drama akan segera dimulai lagi.     "Mbak Mirnaaaa ...," timpal Hana.     "Mbak Hanaaaa ...." Wanda menyusul.     "Dek Wandaaaa ...."     Tiga bersaudara itu berpelukan layaknya teletubies. Membuat ketiga pria dewasa di situ geleng-geleng kepala. Bukan hanya mereka tapi juga semua anak-anak di sana.     "Sayang, daripada peluk-pelukan melulu, mending cepet suruh duduk!" Moreno memperingatkan istrinya. Sebagai tuan rumah, ia merasa bertanggung jawab pada semua tamunya.     "Iya ... iya .... Kenapa, sih, Sayang? Kamu udah kelaperan, ya?" Mirna bertanya dengan nada ketus. Tapi semua tahu kalau wanita hanya bercanda.     Sontak orang-orang terkikik. Termasuk Moreno sendiri.     "Duh ... aku lupa mana Roland mana Ronald?" Atha bertanya setelah semuanya duduk. Maklum lah, mereka teramat sangat jarang bertemu.     "Aku Roland. Dia Ronald," jawab salah satunya yang bertampang lebih cute.     "Kalian kok mirip banget. Kayak kembar, lho?"     Roland terkikik. "Nggak. Aku adiknya Mas Ronald. Kami beda dua tahun."     Atha manggut-manggut mengerti.     "Kamu kelas berapa, Mas Roland?" Nares kali ini.     "Aku udah semester empat. Sedangkan Mas Ronald udah lulus S-1."     "Apa? Emangnya berapa umur kalian? Kalian kelihatan masih remaja, ternyata sudah tua-tua."     Nares sukses mendapat tempeleng dari Hima di sebelahnya.     "Aku 22 tahun," jawab Ronald. "Dek Roland 20 tahun."     Nares seketika terbahak. Terang saja semua orang segera menatapnya.     "Kenapa ketawa?" Atha heran sekali dengan sikap Nares.     "Umur Mas Roland sama kayak kamu, Mas. Tapi dia udah semester empat. Nah kamu ... ya kali masih SMA. Sekelas sama aku pula!"     Atha segera mengangkat sendoknya seakan akan melemparnya pada Nares. Seandainya hanya ada mereka berdua di sini, Atha akan benar-benar melempar sendok itu. Tapi sekarang ia malah ikut tertawa bersama Nares. Tentu saja hanya pura-pura.     Ronald dan Roland ikut terkikik demi menghargai Nares. Sedangkan sisanya? Entahlah. Semua orang sepertinya tidak menganggap pernyataan Nares lucu.     Bahkan Wanda baru saja menendang kaki anaknya itu di bawah meja—peringatan agar Nares menjaga sikap.     "Duh ... kenapa, sih, Bun? Sakit tauk." Nares mengelus kaki malangnya.     "Jaga bicara kamu!" gertak Wanda.     "Apa yang salah? Memang benar sekarang Mas Atha sudah 20 tahun, kan?" Nares protes karena tidak merasa salah. Kenapa sih? Ketika ia bicara, ia selalu salah. Sedangkan Atha selalu benar?     Apa bedanya ia dengan Atha? Bahkan orangtuanya sendiri selalu membela Atha dalam segala hal!     "Wanda ... sudah! Jangan keterlaluan sama Nares. Nggak apa-apa. Dia cuman bercanda." Mirna menasihati adik bungsunya. Ia takut jika kelak Nares benar-benar akan membenci Atha karena merasa terus diperlakukan tak adil.     Mirna dan yang lain tak tahu saja, jika memang sudah terjadi perang dingin di antara Atha dan Nares sejak lama.     "Iya, Tan," timpal Atha. "Nares udah sering bercanda sama aku kayak gitu, kok. Nggak apa-apa." Atha ikut andil agar semua orang tetap menganggap hubungannya dengan Nares baik-baik saja.     Nares masih kesal karena semua orang yang menghakiminya. Bahkan keluarga Hana yang jarang hadir di antara mereka juga nampak tak suka dengan gaya bercandanya.     Nares tak lagi bernafsu makan. Sejujurnya ia ingin pergi. Tapi Nares masih punya adab untuk tidak pergi begitu saja tanpa pamit. Nares pun memutuskan untuk tetap di situ. Meskipun hatinya sakit. ***     "Res ...."     Nares menoleh pada sumber suara. Moreno yang datang dengan membawa dua cangkir kopi hitam. Moreno menyerahkan salah satunya pada Nares.     "Makasih, Oom," gumam Nares.     "Yang lain asyik ngobrol di dalem. Ngapain kamu sendirian di sini?"     Nares tertegun. Ia memang sedari tadi memilih untuk berada di sini—di balkon—sendirian. "Ngantuk aku, Oom. Cari angin."     Moreno beringsut berdiri di sebelah Nares. "Kamu pasti kesel karena kejadian tadi, kan?"     Jantung Nares mendadak berdetak makin cepat. "K-kejadian apa, Oom?"     Moreno tersenyum. "Kamu nggak usah sembunyiin apa pun dari Oom. Karena Oom sudah tahu. Maafin Atha, ya. Kami selalu mengistimewakan dia selama ini. Dan mengabaikan perasaan kamu. Padahal kalau dipikir-pikir, Atha itu kurang ajarnya 100 kali lipatnya kamu."     Nares menunduk sembari menyesap kopi hitamnya. Seperti anggapannya selama ini. Moreno memang satu-satunya yang mengerti perasaannya.     "Sebenarnya ada alasan kenapa Atha selalu diistimewakan, Res."     "Huh?" Nares terkejut tentu saja.     "Ini ada hubungannya dengan kenapa saat ini Atha masih SMA, padahal usianya sudah 20 tahun."     "Emangnya apa alasannya, Oom?"     "Itu karena ...."     "Pa ... Nares ...." Sebuah suara menginterupsi.     Nares dan Moreno menoleh. Atha yang datang.     "Itu kalian dicariin yang lain. Ayo buruan masuk!" Atha berbalik kembali mendahului Nares dan ayahnya.     "Oom ceritain selengkapnya nanti, ya, Res. Oom tahu, apa pun alasannya, kami seharusnya nggak boleh terlalu mengistimewakan Atha. Makanya Oom selalu berusaha menyadarkan orang-orang tentang itu semua."     "Iya, Oom." *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD