Pastinya

657 Words
    Yang terjadi pagi ini membuat semua orang merasa kacau. Semuanya terdiam dalam tangis dan panjatan doa dalam hati.     Nares berdiri, bersandar pada dinding abu-abu kediaman keluarga Rakajuang. Nares tidak menangis, meskipun hatinya begitu kehilangan.     Baru semalam mereka makan malam bersama. Namun sekarang ....     Semalam setelah makan malam, Moreno dan Mirna segera menuju bandara. Sebenarnya makan malam itu—selain untuk kumpul keluarga—juga sekaligus untuk syukuran karena bisnis yang mereka kelola berkembang pesat. Mirna dan Moreno akan ke London untuk mengurus semuanya.     Namun ... takdir berkata lain. Pesawat yang mereka tumpangi jatuh. Tak ada korban selamat.     Sampai saat ini keluarga masih mendengar kabar. Jenazah masih dievakuasi sebelum disemayamkan di kediaman masing-masing.     Satu hal yang mengganjal dalam pikiran Nares. Cerita Moreno semalam, tentang masa lalu Atha. Namun Nares tak mau terlalu memikirkannya. Karena ... sudah pasti saat ini bukan waktu yang tepat untuk itu. ***     Awalnya mereka tidak mau. Namun dengan bujukan para saudara, mereka akhirnya setuju. Ara tinggal dengan keluarga Hana di Tokyo. Dan Atha tinggal dengan keluarga Wanda.     Ara dan Atha sebenarnya bisa saja tinggal di rumah mereka sendiri. Rumah yang menyimpan banyak kenangan dengan mendiang kedua orangtua. Namun seluruh anggota keluarga khawatir dengan kondisi psikis mereka. Terlebih kondisi mental Atha—yang berhubungan dengan masa lalunya.     Korelasi kenangan-kenangan di rumah dan mereka yang kini hanya berdua, pasti akan menciptakan luka baru. Hal itu akan menciptakan depresi.     Mungkin nanti saat keduanya benar-benar sudah rela—terutama Atha—mereka bisa kembali ke rumah.     Nares tentu saja kurang setuju dengan keputusan itu. Atha tinggal di rumahnya? Yang benar saja? Huff ... keputusan itu diambil atas dasar Nares dan Atha yang terlihat akrab sejak dulu.     Akrab? Orang-orang itu perlu belajar lebih tentang hakikat keakraban.     "Sekarang ini jadi kamar kamu, Tha!" Wanda mempersilakan Atha masuk ke kamar barunya.     Atha terlihat canggung menelisik seluruh isi ruang. Nares di belakang—bersama koper besar Atha—hanya melihat.     Nares sebenarnya sedang memikirkan, bagaimana kehidupannya setelah ini—setelah ia dan Atha menjadi serumah. ***     "Maaf, kemarin aku bilang terakhir kali nggak nurutin kemauan kamu. Aku bahkan janji mau anter jemput kamu. Tapi aku malah nggak muncul dan nggak hubungin kamu sama sekali berhari-hari. Bahkan saat kamu ke rumah aku, aku nggak nemuin kamu."     Atha menunduk di depan gadis mungil yang hanya setinggi bahunya. Mereka berada di depan gerbang samping SMK khusus wanita tempat Sheila bersekolah.     "Mas Atha nggak perlu minta maaf. Aku ngerti kok." Sheila berusaha menenangkan cowok yang sudah bersamanya selama kurang lebih tujuh bulan.     Sheila meraih jemari Atha. Sekadar menyalurkan energi positif. Sheila tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Atha. Ditinggal kedua orangtua untuk selama-lamanya. Dan kejadiannya sangat mendadak.     "Mas Atha nggak perlu minta maaf untuk apa pun. Yang perlu Mas Atha lakuin, cuma berdoa buat Mama Mirna dan Papa Moreno. Semoga amal ibadah mereka diterima Allah. Dan mereka dapet tempat terbaik di sisi-Nya."     "Sheil ... aku sama sekali belum bisa rela. Sampai sekarang, rasanya Papa sama Mama masih ada."     Sheila menghapus airmatanya yang mengalir tanpa diminta. "Yang sabar, Mas Atha. Biar gimana pun juga, Mas Atha harus melanjutkan hidup dengan baik. Mama Mirna sama Papa Moreno pasti sedih kalau tahu Mas Atha kayak gini. Mas Atha harus balik kayak dulu segera. Makan yang teratur, suka godain aku, nakal tapi gemes ...."     Atha tersenyum mendengar ocehan Sheila. Sheila pun ikut tersenyum bersamanya, meski di sela isakan.     "Dan ...," lanjut Sheila. "Kembali tersenyum dengan benar kayak gini."     Atha mengangguk. "Makasih, ya, Sheil. Makasih udah selalu ada buat aku dan menerima segala kekurangan aku."     Sheila melangkah mendekat. Ia lalu mulai memeluk Atha dengan erat. Atha pun balas memeluk gadis itu. Tangis Atha pecah. Mungkin semenjak Mirna dan Moreno meninggal seminggu yang lalu, baru sekarang ia bisa benar-benar mengungkapkan perasaannya.     Nares menatap semuanya dari jauh. Tak ada yang benar-benar Nares pikirkan. Ia hanya melihat dan menperhatikan.     Atha mengetahui keberadaan Nares. Atha menatapnya tajam.     Atha pun penasaran bagaimana hidupnya setelah ini—setelah ia harus tinggal seatap dengan Nares. Topeng mereka pastinya akan terbuka ....     Cepat ....     Atau lambat. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD