"Nareswara!"
Nares menoleh ke sumber suara. Ternyata Pink yang memanggilnya. Ketua ekstrakurikuler KBM alias Kelompok Belajar Matematika.
Pink siswi yang cukup populer. Bukan karena kesempurnaan fisik ataupun keseringan cari sensasi. Tapi karena prestasinya. Seakan-akan semua penghuni sekolah segan padanya. Saking seringnya ia menorehkan prestasi membanggakan.
Dilihat sekilas dari cara berdandan saja—rapi dan simple—sudah terlihat jelas bahwa ia adalah siswi yang super cerdas.
"Kenapa?" tanya Nares akhirnya. Ia penasaran. Tumben-tumbennya Pink memanggil dirinya seperti ini. Saat jam istirahat berlangsung. Sehingga mau tak mau keduanya menjadi pusat perhatian.
Ada apa gerangan, sampai-sampai Pink yang terhormat mendatangi Nares ke kelas?
"Boleh ngomong sebentar?" tanya Pink.
Nares mengernyit. "Ngomong apa?"
"Ayo ikut aku! Kita perlu ngomong penting dan sedikit privat."
Nares makin tak habis pikir. Namun di sisi lain ia juga penasaran. Ia pun beranjak, kemudian membuntut di belakang Pink. Mengabaikan tatapan heran dari murid lain.
***
Atha menyeringai menatap Pink yang sudah berhasil membawa Nares. Rupanya melibatkan Pink antara dirinya dengan Nares bukanlah hal yang sia-sia. Pink memang bisa diandalkan.
***
"Jadi sekolah kita diundang buat ikut olimpiade Matematika tingkat internasional ke Jerman. Berhubung waktunya masih cukup lama—tiga bulan lagi—aku sama anak KBM yang lain bener-bener pengin nyiapin segalanya mateng-mateng. Termasuk siapa aja yang bakal kita ajak buat terbang ke Jerman. Nah ... rencananya kita mau ngajak kamu, Res." Pink menjelaskan maksudnya secara gamblang dan detail di depan seluruh anggota KBM yang lain.
Nares sebenarnya kurang nyaman berada di sini. Di antara makhluk-makhluk berpakaian rapi dan berkacamata tebal—para anak buah Pink di KBM.
"Tapi aku bukan anak KBM, kan? Kenapa nggak ngajak anggota yang udah ada aja?" Nares tak mau serta merta menerima. Tak ada angin, tak ada hujan. Ia tiba-tiba diajak bergabung ke olimpiade penting. Demi apa?
"Karena kami KBM, Res. Kelompok Belajar Matematika. Kami di sini belajar bersama biar pinter. Beda ceritanya kalau yang udah jenius matematika kayak kamu. Kamu nanti sekalian bisa nutorin kita, kan?"
Nares mengangkat sebelah alis. "Tapi bukan cuman aku yang pinter matematika. Kayaknya guru-guru lebih sering bangga-banggain Atha, deh!" Nares berkata apa adanya.
"Iya, sih. Atha lebih sering dibanggain guru-guru. Tapi aku pribadi dan sebagian besar dari mereka agak kurang suka sama Atha, Res. Dia agak arogan nggak, sih? Kalau ada siswa yang lebih mudah diajak kerja sama, kenapa harus ngajak gabung yang susah?"
Hmh ... masuk akal. Nares mulai memikirkan tawaran ini. Bisa jadi ini adalah kesempatan agar ia bisa unjuk gigi. Agar sesekali keluarganya menatap lebih dirinya dibanding Atha.
"Emang kalian udah coba ngajak gabung Atha? Kali aja dia juga mau gabung, kan?" Nares masih mencari-cari penguat lain sebelum ia benar-benar mengambil keputusan.
Pink menggeleng. "Nggak mau, Res. Lihat model-modelnya Atha aja kami udah males. Ya kali mau ngajak gabung. Udah, kamu aja yang gabung. Mau, ya?"
Nares berusaha memasang tampang datar. Meski sebenarnya ia sedang berpikir keras. "Kasih aku waktu, deh! Biar aku pikir-pikir dulu. Gimana?"
Pink tersenyum puas dengan jawaban Nares. "Oke, deh, Res. Tapi jangan lama-lama mikirnya, ya. Soalnya kita semua butuh prepare. Dijamin kamu nggak akan nyesel gabung sama kita. Yakin, deh."
Nares mengangguk. "Ntar kalau aku udah ada keputusan, aku langsung kasih tahu kalian ke sini."
"Siap, ditunggu kabar baiknya."
***
"Wah ... kamu dikirim ke Jakarta lagi buat olimpiade MIPA?"
"Alhamdulillah ... kamu emang keren dan bikin bangga, Tha. Pasti Mbak Mirna sama Mas Moreno bahagia banget di atas sana."
"Selamat, ya, Tha. Kapan kamu berangkat? Nanti biar Oom anterin."
Suara-suara itu menyambut kedatangan Nares. Keluarganya sendiri tak mengacuhkan kedatangannya. Justru sibuk memberi selamat pada Atha.
"Res ... kamu udah tahu belum?" Hima bertanya dengan tampang semringah yang menurut Nares berlebihan.
"Tahu apaan, Mbak?" Nares menanggapi dengan malas-malasan.
"Si Atha mau ikut olimpiade MIPA ke Jakarta. Untuk ketiga kalinya tahun ini!" Hima terlihat benar-benar bangga.
"Oh ...." Nares menanggapi sekenanya. "Selamet, Mas!" ucap Nares singkat. Demi tetap menutup rapat topeng perang dinginnya dengan Atha. Meski hatinya dongkol tak keruan.
"Makasih, Res." Atha tersenyum sok manis.
"Oke." Nares beranjak begitu saja. Baru sampai di anak tangga pertama, Wanda sudah memanggilnya lagi.
"Res ... kamu nggak pengin, tuh, kayak Atha? Dikirim sekolah buat olimpiade ke mana-mana?" tanya Wanda.
"Iya, Res. Sekali-sekali Ayah juga pengin punya anak yang ikut olimpiade. Apalagi sampai sering banget menang kayak Atha gini," timpal Sandi.
Nares sebenarnya berusaha tak acuh. Toh sudah biasa ia dibanding-bandingkan dengan Atha. Tapi rasa kesal di hatinya tak pernah berkurang. Justru semakin menumpuk.
"Yah ... Bun .... Sekali pun aku bakal dikirim ikut olimpiade juga, aku nggak bakal sombong dengan gembar-gembor di awal," jawab Nares akhirnya. Sebelum ia lanjut melangkah menaiki tangga menuju ke kamar.
"Ih ... kenapa, sih, si Nares? PMS, ya?" Celetukan Hima mengundang tawa anggota keluarganya yang lain. Tak terkecuali Atha.
Atha di balik tawa samarannya. Atha yang sebenarnya tertawa karena Nares sudah berhasil masuk perangkapnya.
***
TBC