Kabur

1374 Words
“Hah? Apa-apaan ini? Dia nipu aku?” gumam Clarissa. Diteleponnya Jefri berkali-kali, tetapi tidak diangkat. Clarissa segera mengirim pesan, tapi rasanya juga percuma karena Jefri tidak membacanya. Kesal karena dibohongi, Clarissa pun segera pergi ke toilet. “Permisi Pak, di dalam ada pria tinggi pakai kemeja biru dan celana panjang hitam tidak?” tanya Clarissa pada pria yang baru saja keluar dari toilet. “Di dalam kosong, Mbak,” jawabnya membuat Clarissa menghela napas panjang. Clarissa mengepalkan tangannya menahan emosi. Firasatnya memang tidak pernah meleset. Jefri mengingkari janjinya mentraktir Clarissa. Sekarang gadis itu yang harus membayar semua tagihan. “Dasar pria nyebelin, j*****m, aku gak akan percaya lagi sama kamu!” Setelah membayar semua tagihan di kasir Clarissa pun beranjak pergi. Dengan wajah kusut ia mencari mobil Jefri di parkiran. Ia kira Jefri sudah pergi, tapi ternyata pria itu ada di dalam mobil sedang bersantai seolah tidak terjadi apa-apa. Clarissa mempercepat jalannya sambil menenteng makanan. Saat Jefri keluar dari mobil Clarissa pun melempar dompet itu padanya. Jefri segera menangkap dompet hitam itu sambil tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. “Hehe.” “Kamu nyebelin!” teriak Clarissa membuat Jefri tertawa. Entah kenapa ia suka sekali menjahili calon istrinya. Ada perasaan bahagia setiap kali melihat Clarissa menekuk wajah. “Nanti aku balikin. Kirim saja nomor rekening kamu,” kata Jefri. Clarissa yang masih marah hanya diam dan masuk ke dalam mobil. Ia tidak mau bicara lagi dengan Jefri sampai mereka sampai di rumah. *** Jack tampak gelisah mundar-mandir di kamar. Ucapan Clarissa masih berputar di kepalanya. Di bawah sana penjagaan diperketat mengingat Jack akan segera menikah. Beberapa orang sedang sibuk mendekorasi rumah dan mempersiapkan segala keperluan pernikahan. “Gak boleh.” Jack menggeleng setelah beberapa lama berpikir. “Aku tidak boleh menelantarkan mereka,” gumamnya lalu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang. “Aku butuh bantuan kamu,” ucapnya setelah panggilan diterima. Jack memutuskan panggilan telepon setelah cukup lama mendiskusikan rencananya. Ia kembali mencoba menghubungi Clarissa, tapi untuk kesekian kali panggilannya ditolak. Pesan menanyakan alamat Clarissa sudah terkirim lima belas menit lalu. Beruntung kali ini Clarissa membalas pesan Jack yang membuatnya senang. Telepon dari Hanum ia abaikan. Gadis itu selalu ingin tahu apa yang ia lakukan setiap saat. Pintu kamar Jack akhirnya diketuk. Seorang pelayan masuk dan memberitahu bahwa ada kurir mengantarkan paket untuk Jack. Bergegas ia turun menemui kurir itu. Orang-orang sedang sibuk menata ruangan sehingga tidak ada yang memperhatikan kurir itu masuk bersama Jack. Jack segera menerima paketnya lalu bergegas ke toilet. “Lo gila ya?” ucap kurir itu setelah membuka topinya. Tampak kekesalan di wajah pria bermata sipit yang kini menekuk alisnya. Jack tersenyum tipis melihat temannya marah-marah. “Ayolah Bro bantuin gue. Lo tahu sendiri penjagaan di depan ketat banget. Lebih ketat dari penjagaan istana boneka.” Jack membuka pakaiannya dan menggantinya dengan Jaket khas ojek online. Tidak lupa dengan topi serta kumis palsu. “Besok balikin jaketnya. Itu gue pinjam dari abang ojol dekat rumah. Gue bayarnya juga mahal,” kata Joe. Satu-satunya sahabat yang mengerti Jack adalah Joe. Pria itu baru saja pulang dari luar kota dan kaget mendengar kabar pernikahan Jack. Setelah Jack menceritakan semuanya, Joe justru menolak rencana sahabatnya untuk kabur. Namun, Jack tahu bagaimana cara meluluhkan hati seorang Joe Ramansyah. Jack memberi alasan kuat untuk melakukan ini. Joe tidak memiliki alasan selain membantu sahabatnya meski ia ingin sekali memukul wajah Jack. “Ini kunci motornya,” ucap Joe sembari menyerahkan kunci pada Jack. “Bagaimana kalau ketahuan?” tanya Joe khawatir. Jack tersenyum, tidak sedikit pun keraguan di matanya. “Gak bakalan. Mereka tidak akan memperhatikan gue. Dari tadi banyak ojol yang keluar masuk rumah jadi mereka gak bakalan curiga,” ucap Jack. Joe menepuk pundak Jack membuat sahabtnya yang sedang memasang kumis palsu menoleh. “Seberapa cinta sih lo sama cewek itu. Ini pertama kalinya gue lihat lo kayak gini,” ujar Joe. Jack tidak satu kali pun memposting foto kencannya dengan Clarissa membuat Joe berpikir kalau sahabatnya masih sendiri. Joe bahkan berencana ingin memperkenalkan teman wanitanya pada Jack. “Kenapa? Gue kayak orang gila,ya?” “Lebih parah malahan,” sahut Joe. Jack menghela napas dalam lalu menatap Joe. “Gue gak mau menyesal seumur hidup. Itu terlalu lama untuk meratapi hal yang bisa kita ubah sebelum terlambat,” kata Jack lalu mengenakan topinya. “Gue paham perasaan lo, Jack, berhati-hatilah.” Jack pun pergi dengan penyamarannya sementara Joe pergi setelah Jack berhasil kabur. *** Clarissa berusaha menahan rasa mual di perutnya. Saat ini kukunya sedang dipercantik. Mamanya sengaja memanggil pegawai salon ke rumah sebelum Clarissa menikah dua hari lagi. Hamida tampak santai menikmati pelayanan salon yang sedang memijat pundaknya. “Ma,” panggil Clarissa sembari menutup mulutnya dengan satu tangan. Hamida hanya bergumam dengan mata terpejam. Melihat mamanya sedang menikmati pijatan di pundaknya membuat Clarissa urung bicara. “Maaf, aku ke toilet sebentar,ya,” ujar Clarissa pada wanita muda di sampingnya. Ia bergegas ke toilet lalu memuntahkan isi perutnya. Rasa mual itu terus menjadi membuat kaki Clarissa gemetar. Ia bersimpuh dekat cloest. “Nak, jangan mual dulu,ya. Please, bantu mama,” gumamnya sembari mengusap perut. Seketika rasa mual itu mulai reda. Clarissa akhirnya bisa berdiri dan kembali ke ruang tengah di mana mamanya sudah selesai dipijit. “Kamu kenapa?” tanya Hamida yang dibalas senyum oleh Clarissa. “Masuk angin, Ma, si Jefri ngajak jalan tadi, aku sudah bilang lagi gak enak badan,” ujar Clarissa dengan kebohongannya. Ia merasa bersalah menjadikan Jefri penyebab dari rasa mualnya. “Kalau mau keluar pas lagi gak enak badan pakai jaket dong, Clarissa. Kamu harus jaga kesehatan, tinggal dua hari lagi kamu nikah,” kata Hamida membuat Clarissa mengangguk. Ia terlalu malas menanggapi ucapan ibunya. Clarissa kembali duduk dan menyelesaikan cat kukunya. “Permisi Mbak Clarissa ada paket untuk Mbak,” ucap seorang ART pada Clarissa. Gadis itu menerima paketnya dan membaca note yang tertempel di atas kotak. ‘Ini aku.’ Clarissa terdiam memikirkan siapa yang mengirim hadiah itu untuknya. “Kurirnya masih di depan Mbak. Katanya paket itu belum dibayar.” “Oh, iya, aku lupa kalau ada COD. Suruh kurirnya nunggu sebentar,ya, Mbak.” Clarissa bergegas membawa kotak itu ke kamarnya. Dari kamar ia mengintip siapa orang yang menyamar jadi kurir. Walau wajahnya tidak terlihat jelas, tapi Clarissa tidak pernah salah mengenali pria yang ia cintai. Jantungnya berdebar kencang ketika mematut diri depan cermin. Parfum yang selama beberapa minggu ini ia hindari untuk pertama kali Clarissa semprotkan ke belakang leher. Senyum di wajah gadis itu perlahan mengembang. Bagaimana pun juga Jack ada di depan rumahnya untuk bertemu Clarissa. Debaran jantungnya semakin kencang saat Clarissa membuka pintu. Jack dengan kumis palsunya membuat Clarissa hampir tertaawa. Gadis itu berusaha menahan tawanya saat melihat Jack memalingkan wajah. “Berapa total ongkirnya, Pak?” tanya Clarissa mengikuti skenario yang Jack buat. “Bisakah saya bicara dengan Anda sebentar?” Clarissa mengusap dagunya. “Maaf, saya tidak bisa bicara dengan orang asing,” jawab gadis itu. Jack membuka kumis palsunya lalu menarik tangan Clarissa menuju motornya. “Apa yang kamu lakukan? Pakai lagi kumis palsu itu,” perintah Clarissa sembari menoleh ke segala penjuru arah untuk memastikan tidak ada yang melihat mereka. Jack menuruti perintah Clarissa. “Kita harus pergi,” kata Jack. “Apa? Kamu jangan mengada-ada,” sahut Clarissa. Kini ia kaget mendengar ucapan Jack yang tidak masuk akal. Pria itu yang memintanya untuk pergi, tapi sekarang Jack ingin membawa Clarissa kabur dari rumah. “Clarissa pikirkan anak kita. Dia butuh papa dan mamanya. Kita bisa mulai hidup berdua. Aku minta maaf karena melepaskan kamu begitu saja, tapi sekarang aku ingin kita hidup bersama,” ujar Jack. “Jack, apa kamu tidak memikirkan perasaan orang tua kita?” tanya Clarissa. “Mereka tidak pernah peduli pada perasaan kita, Clarissa. Suatu hari mereka akan mengerti akan keputusan kita hari ini,” jawab Jack. Ia menggenggam kuat tangan Clarissa untuk meyakinkan gadis itu. “Jack,” ucap Clarissa. “Jangan ragu, aku akan selalu bersama kamu.” Jack menggenggam erat tangan Clarissa. Gadis itu menoleh ke belakang menatap rumah mewahnya. Perlahan air matanya mengalir. Rasa sedih mengisi ruang di hatinya. “Aku percaya sama kamu,” sahut Clarissa membuat Jack tersenyum lega. Clarissa tersenyum membuat Jack mencium pipinya. Clarissa mengerjapkan matanya berkali-kali. “Ayo kita pergi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD