Kehamilan Yang Tidak Diinginkan
“Bagaimana aku bisa melihatnya bersama wanita lain?” gumam Clarissa setelah pulang dari acara pernikahan Selena dan Anthony. Bayang-bayang Jack bersama Hanum terus menghantui pikirannya. Tanpa sadar Clarissa mengusap perutnya yang masih rata.
“Mama cuma punya kamu, Nak,” gumam wanita itu. Tanpa sadar air mata mengaliri pipinya. Clarissa bahkan tidak bisa menghentikan rasa sakit di hati. Seketika tubuhnya lemas. Rasa lelah yang membuat gadis itu akhirnya terlelap.
Flashback
“Maaf, aku tidak bisa menikahi kamu. Lebih baik kamu gugurkan bayi itu,” ucapnya membuat Clarissa marah. Satu tamparan keras mengenai pipi Jack. Pria itu tidak marah dan juga tidak menghindar ketika Clarissa memukulnya.
“Anak ini tidak salah kenapa kita harus membunuhnya? Kita saling mencintai apa sulitnya untuk berjuang bersama? Kamu bilang tidak akan meninggalkan aku,” ucap Clarissa lalu terduduk lemas sambil menangis. Jack memalingkan wajahnya. Rasa sesak membuat napasnya tersenggal.
“Ini demi kebaikan kita. Gugurkan bayi itu dan kembalilah ke rumah orang tuamu. Terima perjodohan dari mereka dan mulailah hidup baru, Clarissa,” kata Jack sebelum pergi.
Flashback off
Clarissa tiba-tiba terjaga. Diliriknya jam dinding yang ada di dekat pintu masuk. Ia baru saja tidur dua jam, tapi mimpi telah membangunkan dirinya. Jack selalu hadir dalam mimpinya membuat Clarissa kembali teringat pada kenangan buruk beberapa waktu lalu.
Clarissa marah dan juga kesal, tapi semua telah terjadi. Anak ini hadir karena cintanya pada pria itu. Clarissa berusaha mencari cara untuk mempertahankan anak dalam kandungannya. Mama dan papanya sudah dipastikan menolak kehamilan Clarissa.
Clarissa beranjak mendekati meja riasnya. Ia duduk menatap pantulan diri di cermin. Perlahan tangannya mengusap wajahnya yang pucat. Perahan air matanya kembali jatuh. Entah mengapa Clarissa merasa hatinya hancur berkeping-keping.
“Kamu menyedihkan Clarissa. Hanya karena kesenangan sesaat kamu mengorbankan dirimu dalam luka,” ujarnya tanpa berkedip. Untuk beberapa saat ia terdiam sampai akhirnya Clarissa terisak meratapi dirinya.
Pagi menjelang membuat Clarissa mau tidak mau harus bangun. Matanya terlihat sembab setelah menangis semalaman. Clarissa bahkan tidak peduli lagi kalau nanti ia akan terlambat sampai kantor. Rasa mual yang dialaminya sejak bangun pagi belum juga mereda ketika Clarissa sampai di kantor. Bahkan rasa mual itu semakin menjadi yang membuat pekerjaannya terganggu.
“Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Wajah kamu pucat sekali,” ujar salah satu temannya.
Clarissa berusaha berdiri, namun kakinya yang gemetar membuat gadis itu kembali terduduk. Beberapa teman prianya membantu memapah Clarissa untuk diantar pulang. Sepanjang perjalanan Clarissa hanya diam termenung. Banyak yang ia khawatirkan tentang hidupnya ke depan.
“Mbak Clarissa punya maag,ya?” tanya teman prianya yang sedang menyetir. Clarissa menoleh dan mengangguk pelan.
“Mungkin karena kemarin makan rujak mangga muda jadi kambuh lagi,” sahut Clarissa. Ia berharap temannya tidak curiga.
“Pantesan, kalau punya penyakit asam lambung jangan makan mangga asem, Mbak, apa lagi kol makin parah nanti. Kalau bisa hindari stress juga. Kakakku juga punya asam lambung, kalau sudah sakit dia bakalan teriak sambil pegang perut. Kasihan banget, semoga Mbak Clarissa cepat sembuh,ya.”
Clarissa tersenyum tipis. Kalau saja kondisinya baik mungkin perjalanan pulang kali ini akan seru. Sampai di apartemen gadis itu dikagetkan dengan kehadiran Jack yang sedang menunggunya. Tatapan mereka bertemu membuat keduanya hanya terdiam.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Clarissa. Mual di perut yang sempat ia rasakan kini sudah menghilang. Jack mendekati Clarissa hingga kini jarak mereka begitu dekat.
“Boleh aku bicara sebentar di dalam?” tanya Jack. Clarissa memalingkan wajahnya. Tanpa banyak bicara gadis itu membuka pintu kamarnya lalu masuk diikuti Jack. Pria itu terdiam mengamati ruangan yang sering ia kunjungi dulu. Banyak kenangan yang mereka lalui membuat Jack termenung. Clarissa berjalan ke dapur menuangkan air ke dalam dua gelas lalu kembali ke ruang tengah di mana Jack sedang berjalan-jalan melihat ruang apartemennya.
“Aku tidak punya apa pun selain air putih,” kata Clarissa membuat Jack menoleh. Jack pun mendekati gadis itu dan duduk berseberangan dengan Clarissa. Mereka terdiam sesaat sampai akhirnya Jack
“Clarissa apa kamu sudah menggugurkan bayimu?” tanya Jack membuat Clarissa tersenyum kecut. Kata ‘bayimu’ seakan anak yang dikandungnya tidak ada sakut pautnya dengan Jack. Clarissa terdiam, air matanya mulai menggenang. Rasa sakit di hatinya kembali menyeruak.
“Kamu tidak perlu khawatir. Dia sudah pergi. Aku sadar dia akan sulit hidup jika orang tuanya tidak menginginkan,” jawab Clarissa sembari mengusap air matanya. Jack terdiam, tubuhnya kini bersandar pada sofa. Tatapan matanya kini menerawang jauh.
“Bagus, kamu tidak perlu terbebani dengan bayi itu.” Jack menghela napas dalam lalu meminum segelas air tanpa sisa.
“Kamu datang hanya untuk memastikan itu?” tanya Clarissa. Jack terdiam, wajahnya tampak sendu mendengar jawaban Clarissa.
“Di mana kamu menguburkannya?” tanya Jack tanpa menjawab pertanyaan Clarissa.
“Untuk apa kamu tahu? Bukannya sejak awal kamu tidak menginginkan dia?” Clarissa mengusap air matanya yang terus mengalir. Rasa sakit di hatinya membuat suara gadis itu kadang tercekat. Jack terdiam lalu bersimpuh sambil menundukkan kepalanya.
“Maafkan aku,” gumam Jack sembari mengusap air matanya. Clarissa memalingkan wajahnya. Dulu di ruang yang sama mereka berbagi canda tawa, tapi kini mereka hanya bisa menangis.
“Kenapa kamu minta maaf? Bukannya kamu senang?” Clarissa menggigit bibir bawahnya untuk meredam tangisan.
Jack menggeleng. “Maafkan aku,” gumamnya lagi. Clarissa terdiam dalam tangisannya. Tangan gadis itu bergerak mengusap perutnya di mana masih ada tubuh kembang janin yang ia jaga.
‘Walau papa kamu tidak tahu kalau kamu masih hidup, tapi mama akan berjuang buat kamu,” batin Clarissa.
“Kamu tidak perlu khawatir, jalani saja kehidupan kamu karena aku tidak akan mengganggu lagi,” ujar Clarissa. Jack mengangkat kepalanya menatap Clarissa penuh derai air mata.
“Clarissa,” gumamnya.
Setelah kepergian Jack membuat Clarissa termenung di dalam kamarnya. Memikirkan bagaimana nanti masa depannya dan anak yang ada di kandungannya. Dengan tekad bulatnya ia sudah memikirkan konsekuensi yang akan diterimanya. Dihina, diusir dan bahkan tak dianggap keluarga lagi.
Semua kesalahannya akan ia tebus sampai Clarissa tidak sanggup berdiri lagi. “Nak, kita berjuang bersama,ya. Cuma kamu yang mama punya,” ujar Clarissa. Perlahan matanya terpejam.