“Ayah!”
Bocah beumur lima tahun kesayangan gue memanggil saat gue menyentuh kenop pintu. Tak sampai hitungan lima jari, Gala – keponakan pertama gue – muncul di anak-anak tangga.
“Hi again, Papa,” sapanya lebih dulu pada Ara lalu melangkah pelan-pelan lagi. Tangan kanannya memeluk rakitan block yang nampak belum selesai, sementara tangan kiri menggenggam kotak yang gue duga isinya sisaan block lainnya.
Berhubung Ara lebih dekat ke tangga, ia yang mengikis jarak, meraih Gala ke dalam gendongannya. “Papa bilang apa kalau di tangga?”
“Umm, apa ya, Papa?”
“Tuh Gala pura-pura lupa kan?”
Gala malah tergelak. “Bikin spaceship-nya susah, Papa.”
“Ini siapa yang bikinin?”
“Mama. But she is already asleep, kayaknya Mama capek. Aunt Zia and Aunt Yuna are also asleep. I'm bored, so I want to make this spaceship again. Turns out, Gala ngga bisa.”
“Spaceship apa?” tanya gue.
Ara menurunkan putranya, membiarkan Gala mendekati gue untuk menunjukkan mainan yang ia maksud.
“Blocks?”
Bocah lucu itu mengangguk-angguk.
Gue ngedeprok aja di lantai, mengambil kotak yang Gala genggam. “Ini kan 12+, Gala.”
“But that spaceship, Ayah. The coolest one.”
‘Malah ngeyel!’
Gue memicingkan mata, yang ada Gala malah tertawa renyah. Ia melingkarkan kedua tangannya di leher gue, memeluk erat. “Help me, Ayah.”
“Kan Ayah bilang, beli mainan yang sesuai umur Gala. Gala masih five. At least belinya yang 6+.”
“Yang 6+ spaceship-nya jelek, Gala ngga suka.”
“Terus, ini kita mau bikin sama-sama?”
“Iya, Ayah.”
“Gala ngga bobo?”
“I can’t sleep.”
"That's because you're thinking about this toy."
“No. I’m still a kid.”
“And?”
“Kata Papa, adults think about many things, and it makes them have trouble sleeping. I'm not an adult yet, so I'm just not sleepy."
Kadang, gue berasa kurang berilmu ngadepin ini bocah. Gala baru lima tahun, tapi otaknya seolah menyerap begitu banyak hal. Intuisinya juga gue akuin peka banget. Dan celotehannya itu lho, bisa banget nyanggah omongan gue kalau ngga sesusai dengan isi pikirannya.
"You're not an adult, but you're like a grandpa,” ujar gue, menggodanya.
“I’m not,” kekehnya seraya tergelak karena jemari gue yang menggelitik tubuh kecilnya.
“Berarti Gala tidur sama Ayah, oke?”
“Oke!”
“Ngga sama Mama dan Papa aja?” tanya Ara yang baru balik dari dapur membawakan sebotol kecil s**u hangat buat Gala.
“Thank you, Papa.”
“Sama-sama, boy. Bobo sama Papa ngga?”
Gala menggeleng. Ara memberengut.
“Papa bobo aja, Papa tadi kerja, capek kan?”
“Terus, Ayah ngga capek?” sambar gue.
“No. Ayah just went on a date. Kencan itu bukan kerja, Ayah. So, it's not tiring."
Ara spontan ngakak, sementara gue cengo. Ampun bener! Nge-date itu ngga bikin capek karena bukan kerja katanya. Anak siapa coba ini?
“Ayo, Ayah.”
Gue cuma bisa manggut-manggut, nurutin bocah kecil yang narik-narik gue masuk ke kamar, sementara suara tawa bapaknya masih aja terdengar. Kayaknya happy banget lihat gue di-bully anaknya.
Di kamar, Gala meletakkan mainannya di atas meja. Ia lalu mendekat ke ranjang memeriksa kedua telapak kakinya lebih dulu sebelum naik ke atas kasur dan bergulang-guling di sana. Gue ngekek aja.
Sejak mereka tinggal di London, setiap hari yang paling gue rindukan adalah bocah ini. Bagaimana dia memeluk dan menggosokkan wajahnya ke wajah gue setiap pagi, kerempongan menyiapkannya sebelum kami memulai rutinitas, tentang keceriaan dan sambutannya setiap kali gue kembali ke rumah. Kini tempat kami tinggal bersama selama enam tahun, terasa begitu sepi tanpanya. Ngga gue pungkiri, yang dibilang my unexpected rival emang bener banget, rindu itu berat, dan gara-gara itu kerjaan gue ngabisin duit untuk bolak balik London – Amsterdam dua minggu sekali. Dua negara macam Jakarta – Bandung aja gue bikin.
“Ayah mandi dulu ya?”
“Oke.”
Gue melipir ke kamar mandi, mandi biar segar sebelum tidur. Begitu gue selesai dan kembali ke kamar, Gala telah membentangkan instruksi permainan blocks-nya sementara dia sudah balik ke kasur dan tengah mengepak-ngepakkan kaki dan tangan. Dipikir-pikir, di London baru mau jam enam sore, wajar sih kalau ini bocah belum ngantuk.
“Ayo, Gala. Sini, duduk dekat Ayah,” ujar gue kemudian yang ia turuti tanpa menunda.
Selama dua jam selanjutnya kami merakit satu demi satu block tersebut. Gue gabungin sampai menjadi potongan yang nyaman digenggam Gala, baru kemudian dia yang menyatukan dengan bagian yang dibuat Nina sebelum gue pulang tadi. Kami baru berhenti saat Gala sudah beberapa kali menguap. Gue meminta bocah kesayangan gue itu agar melakukan ritual sebelum tidurnya seperti pipis, sikat gigi – pakai sikat gigi gue, dan cuci kaki sebelum naik ke tempat tidur. Sementara gue, gegas merapihkan sisa blocks agar tidak berceceran.
“Ayah?”
Pillow talk akan segera dimulai. Rutinitas yang tak pernah kami lewatkan selama menjadi teman sekamar.
“Apa, boy?”
“Tadi, Aunty yang I don’t like itu ke sini.”
“Aunty yang you don’t like? Do you mean Aunty Puri?”
“Ooo ... so, her name is Aunt Puri?”
“Maybe. Memang orangnya seperti apa? Ke sini nyari siapa?”
“Nyari Ayah. Tapi Mama bilang Ayah pergi sama Aunty Reina. Mama looked angry.”
“Yeah, that’s Aunt Puri.”
“What’s wrong with her, Ayah? I don’t like her. She hates Mama, I can see it!”
See, apa gue bilang? Ini bocah intuisinya ngga main-main. Dulu, waktu kami masih di Amsterdam, ada cowok yang dekatin Nina. Asli, itu cowok baik banget sama kami bertiga. Gue ngga punya pikiran buruk sama sekali. Bahkan gue sempat mempertimbangkan apa sebaiknya gue ngasih lampu hijau buat dia dekatin Nina. Herannya, Gala terus aja bilang dia ngga suka sama itu cowok. Kalau tuh orang datang, ceriwisnya Gala berasa banget berkurang. Dan pas gue dan Nina ninggalin mereka berdua sebentar aja, ngga sampe deh semenit, Gala pasti langsung ngejerit, nangis histeris. Ternyata, ya feeling Gala ngga salah, itu cowok jauh banget dari kata mengenal tanggung jawab.
“Mmm ... misalnya nih, Gala bawa gelas yang isinya s**u dari dapur ke living room. Terus, susunya tumpah. Gala ngga bersihin. Ngga juga bilang Mama or anyone who is there. After Gala minum s**u, Gala mau taruh gelas ke sink, and then you slipped because of the milk you spilled earlier. That’s hurt and you start to cry. Mama datang dekatin Gala, terus Gala marah dan bilang gini ke Mama; Mama sih ngga lap lantainya, kan Gala jadi jatuh!” jelas gue, mencoba menjelaskan dengan hal-hal yang familiar di kesehariannya.
“Nooo! That’s my fault! Not Mama’s!” seru Gala. Menyanggah cerita gue. Dia paham ada yang ngga beres di dongeng tadi.
“Nah, Aunty Puri seperti itu. She made a wrong move, her life became a mess, and she blamed Mama.”
“She’s out of her mind!”
Gue ngekek dah tuh. Untung halus banget sih Gala ngambil istilahnya. Kalau gue mah udah ngebatin, ‘dah sinting tuh cewek!’
“In Indonesia we called it sinting!”
Buset! Gue pikir udah kelar ini anak ngoceh. Tapi, bukannya ngasih tau kalau ngga boleh ngomong begitu, gue malah ngakak. Haduuuh, ada-ada aja ini bocah.
“Udah ya ngobrolnya. Kan besok kita mau ke makam Akung dan Uti,” ujar gue seraya terkekeh.
Gala mengangguk lalu kami sama-sama memanjatkan doa sebelum akhirnya terlelap pulas.
***
“Assalammu’alaikum,” sapaku seraya melangkah masuk ke kediaman Airlangga. Waktu baru melewati pukul tujuh pagi dan aku sudah tiba di sini. Ketahuan banget ya keburu kangen sama si Tua Bangka.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Mama Anantari dan Papa Jagat – kedua orang tua Bisma – yang tengah merawat tanaman mereka di taman depan.
“Belum bangun tuh, Rei,” ujar Mama seraya membuka sarung tangan berkebunnya.
Aku sontak tergelak sembari mengulurkan tangan pada beliau, menyalam takzim, dan berlanjut melakukan hal yang sama pada Papa Jagat.
“Mama juga pernah muda,” lanjut beliau lagi. Kali ini suaminya ikut tertawa.
“Reina bawa sarapan nih, Ma.”
“Bawa aja ke dalam, Nak. Atur sendiri ya?”
“Oke, Ma. Mama dan Papa mau Reina pisahin? Reina taruh di meja teras?”
“Ngga usah, Nak. Papa makan di dalam saja nanti,” jawab Papa yang diiringi anggukan Mama.
Aku tak lagi menunda langkah, menyambangi dapur rumah itu di mana Nina dan Ara tengah kompak membersihkan dapur.
“Udah pada sarapan ya?” tanyaku. Tadi subuh, aku sudah bilang pada mereka agar tak usah masak. Aku terbangun pukul empat pagi karena kedatangan tamu bulanan. Dan setelahnya, mataku enggan terlelap kembali. Mengisi waktu, aku menyibukkan diri dengan memanggang rolls aneka rasa yang kubuat bersama Mami saat Papi dan Mas Rio berkencan semalam.
“Belumlah, kan kata lo mau bawa makanan? Tadi kita cuma makan buah aja sama minum yang hangat-hangat,” jawab Nina seraya mendekatiku. Kami pun berpelukan erat, moment yang tak pernah kami lewatkan saat bertemu sejak kami bersahabat.
“Bikin apa lo, Rei?” tanya Bisma, mengintip ke dalam paper bag yang aku letakkan di atas meja makan. Sementara aku dan Nina mengurai pelukan kami.
“Rolls. Ada yang smoke beef cheese sama strawberry. Yang strawberry enak banget sumpah. Buahnya luber. Ngabisin stok takut rusak kelamaan di kulkas. Ada makaroni panggang juga.”
“Sering-sering aja, Rei.”
“Bawel lo! Makan sana!”
Nina tergelak dengan ibu jarinya yang mengusap-usap cincinku. Aku terkekeh, sementara Nina hanya tersenyum. “Congrats, bestie!” ujarnya kemudian.
“Lo tau?”
“Tau dong. Ngga mungkinlah dia ngekor ke sini kalau alasannya cuma mau perpanjang sewa tanah makam dan datang ke nikahan Gail. Gue dan Ara bisa ngewakilin. Lo suka cincinnya?”
“Banget, Nina.”
“Syukur deh, Mas Rio takut banget lo ngga suka.”
“Ngga mungkinlah gue ngga suka. Style dia aja gue suka banget.”
Bisma menggelengkan kepala, membuatku misuh-misuh membalasnya tanpa suara.
“Enak, Rei,” ujar Bisma kemudian.
“Enaklah!” balasku.
“Makin mirip bikinan Mami.”
“Resepnya Mami.”
“Yang dough-nya didiamin overnight di kulkas?” tanya Nina.
Aku mengangguk.
Nina pun bergabung di meja makan, mengambil roti gulung stroberi lebih dulu. Saat suapan pertama masuk ke mulutnya dan ia mulai mengunyah, kedua matanya melebar pun dua sudut bibirnya terangkat naik. Yep, resep rolls Mami memang yang terbaik!
“Lo ngga bilang Mas Rio mau ke sini?” tanya Nina kemudian.
“Pas mau jalan gue chat, tapi ngga dibalas. Belum bangun berarti kan?”
“Tidur lagi abis subuhan tadi,” ujar Bisma.
“Hmm.” Aku bergumam. “Gue bangunin apa ya?”
“Bangunin aja,” tanggap Nina.
“Tidur sama Gala ya? Nanti Gala ikut kebangun tapi?”
“Gala udah pindah ke kamar gue tadi pas Papa dan Ayah ke masjid,” ujar Nina. “Gih sana bangunin. Kalau masih bisa jalan pagi, mending ke makam dulu biar ngga terlalu panas. Iya ngga sih Rei?”
“Tadi Mami juga bilang gitu. Ya udah, gue bangunin si Tua Bangka dulu,” pungkasku seraya beranjak dari kursi yang aku duduki, melenggang ke kamar tamu. Aku mengetuk beberapa kali, namun tak ada sahutan. Handle pintu kudorong lalu pintunya. Senyumku terbit seketika, pemandangan pria yang kusayang terbaring di atas ranjang sungguh memanjakan mata.
Aku mendekat, bersimpuh di tepi ranjang dengan jarak terdekat ke wajahnya. Mengambil satu fotonya yang seperti tengah tersenyum, semoga mimpi yang sedang berputar di tidurnya adalah tentangku. Kemudian, aku hanya menatap tanpa jemu. Tak lama, kedua kelopak mata Mas Rio bergerak-gerak, dan membuka perlahan. Ia lalu membenamkan wajahnya ke bantal, sementara tangannya terulur mengusap kepalaku.
“Bangun, Tua Bangka!” ujarku, mencari keributan.
Mas Rio malah tergelak dengan bahunya yang bergetar karena tawa. Ia pun mengangkat wajahnya. Saat ia meraih gawainya yang terselip di bawah bantal dan memeriksa notifikasi yang masuk, ia bergumam, “cantik banget sih, Rei.”
“Apanya?”
Layar ponselnya ia tunjukkan kepadaku. Ternyata ia tengah membuka foto yang tadi kukirimkan saat akan berangkat ke sini.
“Iyalah cantik. Masa ganteng?”
“Kamu ngeledek aku?”
“Ngga,” kekehku. Mas Rio kan seperti itu. Kalau dipuji ganteng, pasti dia balas dengan; iyalah ganteng, masa cantik? “Reina bawa sarapan tuh, Mas. Banyak.”
Mas Rio kembali menatap layar ponselnya. “Rolls, makaroni panggang ya?”
Aku mengangguk. “Sama lontong sayur tuh. Beli tapi, pas mau ke sini, takutnya Mas kepingin sarapan ala Indonesia.”
Mas Rio merenggangkan tubuhnya, lalu bangun dan duduk di sisi ranjang. Ia mengulurkan tangan, membantuku berdiri dan kemudian bergabung di sampingnya.
Tanpa aba-aba, Mas Rio melingkarkan tangan, memelukku dari samping dengan wajahnya yang ia benamkan di ceruk leherku. Aku terdiam, ia pun tak berkata apa pun. Hanya sesaat kemudian, kecupan ringan ia labuhkan di pipiku.
Aku menoleh perlahan, sementara Mas Rio mengangkat wajahnya. Kening kami ia satukan, dua puncak hidung pun ia adu. Aku ... tertawa renyah.
“Sekali ya, Rei?” tanyanya kemudian. Tak menunggu jawabanku, bibir kami pun bertemu. Tak lama, namun tak terburu-buru seperti semalam. “Morning, Rei,” ujarnya lembut sambil memberiku tatapan yang begitu teduh.
Bisakah aku menikmati moment pagi seperti ini seumur hidup?
“Reina?” tegurnya kemudian karena aku tak kunjung bereaksi.
Aku melingkarkan kedua tanganku di tubuhnya, memeluk erat. Sembilan tahun menunggu, kuharap ... cinta kami lekang selamanya.
“Morning, Mas Rio.”
“I love you, humaira.”