Percayalah, kalimat Ica barusan, tak pernah terbayang di benak Ari. Mereka kuat, mereka saling mencintai, mereka tak pernah berpaling dari satu sama lain ... lantas, alasan apa yang membuat mereka harus berpisah?
Udara seolah menipis. Sesak di dadanya tak mampu ditampik. Perutnya ngilu. Kedua mata Ari pun memanas. Tidak, tak sampai di situ, air matanya bahkan menetes sebelum Ari mengizinkan.
“Aa minta maaf, Ca,” ujar Ari lagi. Ia pasti berbuat salah kan hingga Ica memutuskannya?
“Aa ngga salah, ngga perlu minta maaf.”
“Kalau Aa ngga salah kenapa Ica bilang kita putus? Ica pikir Aa bisa tanpa Ica?” Nyaris memekik. Ari, putus asa.
“Toh ngga lama lagi Ica ke Seoul, A. Ica ngga mau pacaran jarak jauh. Ujung-ujungnya cuma bakalan nyakitin kita berdua. Buktinya Bang Irgi dan Kak April begitu.”
“Kita belum coba, Ca.”
“Nyoba nyakitin satu sama lain maksud Aa?”
Ari menutup matanya sesaat, berusaha meredam emosinya. Situasi tak akan membaik jika ia juga terpancing amarah.
“Ayo kita turun, Aa mau ketemu Papa. Sebelum Ica ke Seoul, ayo kita menikah.”
Yang menyedihkan bagi Ari adalah ... Ica justru terkekeh. Bukan, bukan tawa bahagia. Namun, tawa meremehkan. Mungkinkah, Ica tak lagi percaya padanya?
“Aa kasihan sama Ica sampai ngerasa perlu nikahin Ica?”
“Kasihan?”
“Iya, itu kan alasan Aa mau nikahin Ica? Terpaksa, daripada putus. Sayang waktu yang terbuang.”
“Terbuang? Keterlaluan kamu Ica!”
“Iya! Ica emang keterlaluan! Makanya Ica minta kita putus! Mulai sekarang, Aa bebas. Kita ngga lagi terikat.”
“Aku bahkan ngga punya hak bicara?”
“Apapun yang Aa mau bilang, ngga akan ngerubah keputusan Ica.”
“Ya Allah ... I love you, Ca. Apa Aa kasihan sama Ica? Iya, dan itu karena Aa cinta Ica. Sosok Ica di mata Aa ngga pernah berubah, bagaimana pun keadaan Ica sekarang. Ica masih orang yang sama, satu-satunya yang Aa sayang. Kalau Aa mau menikahi Ica, itu karena Aa ngga mau kehilangan Ica. Apa itu salah? Ica bisa bersandar ke Aa, dan Aa juga akan bersandar ke Ica. Sama seperti selama ini, Ca.”
“Ica udah terlalu sering bersandar ke Aa. Dan itu sudah lebih dari cukup.”
“Jadi, gara-gara itu? Karena Ica yang sering bersandar sementara Ica ngerasa Aa kuat-kuat aja? Baik-baik aja?”
Ica diam saja. Ia lalu menyampirkan tasnya ke bahu. Tuas pintu pun Ica tarik, tepat saat Ari menggenggam lengannya.
“Jangan begini, Ca ... please,” lirih Ari, sengau.
“Aa ngga usah turun. Ica bisa sendiri. Hati-hati di jalan ya A.”
“Ica ....”
Tak lagi bisa dicegah, Ica melangkah keluar, meninggalkan Ari yang menangisi nasib cinta mereka.
***
“Jadi, Mami dan Papi pernah putus?” tanyaku setelah mendengar potongan kisah cinta kedua orang tuaku.
Mami mengangguk sementara Papi menggeleng. Menyangkal lebih tepatnya karena Papi tak pernah menyetujui perpisahan itu. Mami yang gemas pada suaminya, mencubit pelan lengan Papi. Aku malah terkekeh melihat kemesraan mereka.
“Teteh ngerti ngga kenapa Mami minta putus?” tanya Mami kemudian.
Aku mengangguk. “Mami serba salah dengan keadaan Mami. Mami ngerasa marah karena situasi Mami. Bahkan, makan di hotel aja, yang selama tujuh tahun ngga masalah, di tahun kedelapan justru Mami ngerasa ngga pantas ada di situ. Mami ngerasa berhutang budi sama Papi, ngerasa ngga seharusnya Papi mendampingi Mami yang hidupnya lagi kacau.”
Mami terkekeh seraya mengangguk. Papi tak bersuara sedikit pun.
Aku ... menatap wajah ayahku. Saat itu aku tau, Papi, atau mungkin Aki yang juga bersahabat dengan Opa, pasti banyak membantu, yang justru membuat Mami semakin merasa kerdil.
“Dan Mami memutuskan balikan sama Papi karena apa?” tanyaku kemudian.
“Karena papinya Teteh nangis-nangis minta balikan.”
Sebenarnya Mami hanya mencandai Papi. Namun, Papi justru merangkul Mami, tersenyum simpul, lalu mengecup pipi istri tercintanya. “Jangankan nangis-nangis, lebih dari itu pun Papi sanggup lakuin asalkan Mami mau balikan,” ujar Papi.
“Kenapa begitu Pi?”
“Karena rasanya, semua yang Papi raih, ngga ada artinya kalau ngga sama Mami.”
“Kalau Mami?”
Mami mendengus, tatapannya seolah menerawang. Ia lalu tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku barusan. “Ternyata, dari semua hal yang Mami cintai, Papi ada di nomor satu. Dan di saat pisah itu Mami berkali-kali bicara ke diri Mami sendiri, kalau useless, memalukan, kerdil ... itu hanya perasaan Mami. Mami hanya perlu berhenti menyalahkan keadaan, memantaskan diri, berusaha lebih gigih, dan menerima bantuan Papi. Karena sejatinya, pasangan memang saling menyandar pada satu sama lain.”
Papi mengangkat kedua ibu jarinya, mencengir lucu.
“Dan itu, yang perlu Teteh lakukan untuk Mas Rio. Kalau pilihan Teteh sudah ngga bisa diganggu gugat, dukung dia, libatkan dia dalam keputusan yang memengaruhi kalian berdua. Meski sekedar mutusin venue atau menu makan,” ujar Papi kemudian. “Mas Rio juga merasakan apa yang dulu Mami rasakan. Dan sekarang dia sedang berusaha menyangkal bisikan kejam yang ada di pikirannya kalau dia ngga pantas buat Teteh. Itu yang bikin dia lama nunjukin keseriusannya ke Teteh.”
“Iya, Pi.”
“Setelah menikah nanti, mungkin akan banyak hal yang berbeda yang Teteh rasa. Kalau saat single Teteh bebas melakukan apa pun, kalau sudah jadi istri ngga bisa begitu lagi. Teteh harus jaga egonya suami. Misalnya mau beli tas Hermes, kalau Mas Rio ngga punya duit ya jangan beli. Apalagi beli pakai uang sendiri,” lanjut Papi.
“Wah, bisa perang, Teh,” sambar Mami.
“Tuh, dengerin yang ngerasa,” canda Papi kemudian.
“Aa ih!” ketus Mami yang disambut gelak tawa Papi.
“Iya Mi, Pi. Teteh paham maksud cerita Mami dan Papi. Biarpun Teteh belum pernah beli tas-tas yang Papi bilang. Teteh kan kubu mending nyewa daripada mubadzir. Anyway, Teteh akan berusaha memahami Mas Rio. Mungkin ngga gampang, tapi inshaaAllah Teteh dan Mas Rio akan baik-baik aja.”
***
Di waktu yang tak jauh berbeda. Di depan kediaman keluarga Airlangga.
“Rio!”
Gue baru aja turun dari mobil yang Ara kendarai. Dan suara Puri langsung menyapa pendengaran. Gue lalu menatap jam yang melingkari pergelangan tangan. Sudah lewat pukul sebelas malam.
“Yo, aku mau bicara.”
Gue enggan menjawab. Tanpa menoleh sedikit pun, gue membukakan pintu pagar, membiarkan Ara membawa SUV berwarna hitamnya masuk ke halaman rumah.
“Yo?”
“Ini sudah malam, Puri. Ngga bagus perempuan berkeliaran jam segini. Pulang sana!” ujar gue akhirnya. Mumet juga dibayang-bayangi manusia ... apa ya? Gue tuh ngga kepingin nyaci, tapi kayaknya ini cewek ngarep banget dicaci.
“Aku mau bicara,” ulangnya lagi.
“Gue capek!” tanggap gue, pakai nyolot karet dua!
“Yo, aku tau aku salah. Aku minta maaf.”
“Gue udah maafin lo. Puas?”
“Tapi ....”
“Tapi ngga berarti kita balikan lagi,” potong gue.
“Yo ... izinkan aku memperbaiki semuanya. Kita lima tahun bersama, ngga mungkin perasaan kita hilang begitu aja.”
“Nyatanya begitu. I’m engaged now!” tegas gue seraya mengangkat tangan kiri, mamerin cincin yang melingkar di jari manis.
“Yo, kalian ngga mungkin ....”
“Ngga mungkin bisa bersama karena dia keturanan old money? FYI, gue udah ngga miskin! Kalau itu yang lo maksud,” potong gue lagi.
“Aku ... Rio ....”
“Pergi!”
“Ngga! Aku butuh kamu, Yo. Aku sadar aku salah.”
Seringai sinis spontan muncul di wajah gue. Ara yang sudah selesai memarkir, melenggang tanpa dosa melewati gue untuk menutup pagar.
“Kamu ....”
“Siapa gue?” tanya Ara.
Puri nampak berpikir, sepertinya ia lupa nama pacar Nina yang dulu beberapa kali gue singgung. Atau dulu dia ngga pernah dengarin gue? Kayaknya yang terakhir lebih logis.
“Lo aja ngga tau nama gue. Gue yang punya rumah ini. Jangan mimpi gue ngijinin lo masuk,” ketus Ara kemudian.
“Saya ada perlu sama Rio.”
“Iya Mas?” Ara menoleh ke gue. Tentu saja gue sontak menggeleng. “Halu lo!” caci Ara kemudian pada Puri. “Tidur di kamar sana! Pulang! Jangan jalan sambil tidur! Jadi ngigo kan lo!”
Puri kalah mental. Ara kalau sudah ketus ke orang, gue aja jadi kasian sama si korban. Asli, kalau ada jurusan nyolot di pendidikan, Ara pasti lulus dengan predikat summa cumlaude! Najis banget juteknya. Makanya kalau dia debat sama Reina, gue dan Nina bawaannya istighfar banyak-banyak.
“Yo ....” Puri mengiba, menatap gue meminta dikasihani.
Bodo amat!
Lalu, Ara justru menarik pagar kayu yang handle-nya ia genggam sedari tadi. Hingga ... Puri akhirnya hilang dari titik pandang gue.
“Eh, Teh. Mas gue itu cowok terhormat. High quality! Adabnya mashaaAllah. Nah lo ngga ngaca? Mana ada cewek high quality ngejar-ngejar cowok sampai tengah malam? Lo ngga kenal yang namanya harga diri?”
Belum Puri sempat menjawab cercaan itu, Ara menutup sempurna pagar tersebut.
“Sorry, Mas,” ujar Ara begitu kami berdua melangkah masuk dan menjejak di living room rumah. Mungkin dia takut gue tersinggung dengan kata-katanya ke Puri.
Gue menggeleng, lalu menepuk-nepuk lengannya sebelum melangkah ke kamar tamu, tempat di mana gue menginap selama beberapa hari ini.
“Thanks, Ra. Gue juga ngga ngerti kenapa dia jadi ngga tau malu begitu.”
“Mau gue cari tau?” tanya Ara dengan alis yang ia naik turunkan berulang-ulang.
Gue malah ngekek. Belakangan kemampuan Ara meretas semakin pro. Jadi, gue udah paham banget, maksud dari nyari tau adalah nge-hack apa pun yang bisa di-hack dari seorang Puri. Gue malas sih sebenarnya harus sampai segitunya. Tapi, ngga ada salahnya kan? Seenggaknya, gue bisa lebih berhati-hati berhubung makin ke sini kayaknya itu cewek makin nekat.
“Mau Mas?” ulang Ara.
“Oke!”