“Mas Rio mau sarapan apa?” tanya Reina begitu pelukan kami terurai.
“Lontong sayurnya beli banyak?” Gue balas bertanya.
“Ngga sih, cuma beli dua.”
“Mas makan yang Reina masak aja kalau gitu.”
“Kenapa?”
“Soalnya, takutnya Mama Papa mau lontongnya. Mas kira kamu beli banyakan, takut mubadzir.”
“Oh, kirain Mas ngga suka yang Reina masak.”
Gue terkekeh. Kalau gue ngga suka ya tinggal gue makan dikit. Nanti kalau lapar bisa makan lagi di luar sama-sama.
“Mas, mau ke makam dulu aja ngga? Sebelum terik. Abis itu baru ke klinik Mami,” ujar Reina lagi.
“Oh, iya sih, better gitu.”
“Abis dari Mami ke rumah Oma, Opa dan Aki?”
Sekarang gue masang senyum dengan bibir terkatup. Kayaknya gue ngga bisa kabur nih, meski gue ngga punya juga niat untuk kabur. Jujur, dengar Reina bilang mau ngenalin gue ke keluarga kandungnya, bikin jantung gue berdetak lebih cepat. Gue takut, meski Reina sayang sama gue, meski kedua orang tuanya ngga keberatan – I wish – belum tentu kan yang lain seperti itu?
“Mas? Ngga bisakah?”
“Bisa, Rei,” jawab gue akhirnya.
Gue ngga punya cita-cita mati ngebujang dan kesepian. Tapi, gue juga ngga kepingin salah milih pasangan. Bukan bermaksud ngebandingin ... tapi, meski Reina berdarah Purwadinata – yang dikenal sebagai keluarga old money di kota Bandung – belum pernah sekalipun gue merasa direndahkan olehnya.
“Kok bengong lagi sih Mas?”
Suara merdunya kembali menyapa pendengaran gue. Pagi ini, wajahnya tanpa pulasan makeup. Bahkan lipstik sekalipun. Semburat pink nampak jelas di sana. Dan dia, tetap cantik. Apa mungkin gue bisa melepaskan yang cantik hati dan parasnya seperti ini? Meski bisa, rasanya gue ngga mau.
“Mas Rio? Kenapa?” Suara Reina kian melembut, jemarinya mengusap lembut rambut gue.
“Ngga apa-apa, Rei.”
“Takut ketemu Oma, Opa dan Aki?”
Kembali gue terkekeh. Lalu, enggan berbohong, gue mengangguk.
“Sebenarnya, ngga sekarang juga ngga apa-apa. Tapi, berhubung Mas sudah lamar Reina semalam, dan Reina harus bicarain soal rencana kita menikah di Amsterdam ....”
“Rencana kita?” Seingat gue, itu permintaan gue bukan?
“Iya, Mas ... rencana kita. Kan Reina setuju,” jawabnya, membuat kedua sudut bibir gue naik kembali. “Nah karena itu, kita harus ngomong dong sama keluarga Reina. Waktu Mas kan terbatas di sini ....”
“Oke.”
“Beneran Mas?”
“Iya.”
Reina bertepuk tangan pelan seraya mencengir. Kedua tangan gue mengulur, mencubit gemas kedua pipinya. Ya, gue rasa ... gue ngga akan sanggup kalau kehilangan Reina. Bukan karena gue pernah patah hati sebelumnya. Tapi, karena dia Reina.
Gue meminta waktu untuk bersiap lebih dulu. Berhubung bakal ketemu kakek dan neneknya, berarti gue ngga boleh kelihatan terlalu santai. Masalahnya, gue cuma bawa sedikit baju.
“RA?” pekik gue tanpa membuka pintu kamar.
Tak lama, Ara mengetuk. “Apaan Mas?”
Kunci pintu gue buka, adik ipar gue itu pun melangkah masuk seraya mendelikkan dagunya.
“Gitu doang lo?” tanya gue seraya memindai penampilannya yang hanya terdiri dari kaos oblong dan celana jeans yang sama-sama hitam.
“Tinggal bawa jaket. Kenapa Mas?”
Pintu kamar gue tutup lalu garuk-garuk kepala yang tak gatal. “Reina ngajak gue ke rumah kakek neneknya.”
“Gue harus ikut?”
“Bukan. Pilihin baju buat gue.”
Ara sontak menoleh ke open wardrobe yang berada di salah satu sisi kamar. Sesaat kemudian, ia menggeleng. “Apa yang mau dipilih, Mas?”
Gue malah ngekek coba. Ya emang bener sih, bawaan gue cuma celana denim sebiji, celana pendek dan beberapa t-shirt. Baju semalam yang gue bawa buat jalan sama Om Ari baru dicuci subuh tadi, itu pun belinya kemarin banget – langsung pake di toko.
“Pakai kemeja gue aja. Bentar gue ambil,” ujar Ara. Ia pun keluar dari kamar, sementara gue mengenakan celana denim berwarna khaki which is satu-satunya celana panjang yang gue bawa.
Tak lama, Ara kembali, menyerahkan kemeja berwarna biru gelap. Gegas gue kenakan pakaian itu, berhubung perut udah karokean dan hari semakin terik. Setelah siap, gue pun menyusul meninggalkan kamar, melangkah menuju dapur.
Reina ada di sana, dengan dress putih tanpa lengannya. Cardigan yang ia kenakan saat menyapa gue di kamar tadi tersampir di sandaran kursi. Dan ia tengah sibuk memotong roti gulung ke ukuran yang lebih kecil agar mudah dikonsumsi Gala.
“Tuh Ayah,” ujar Gala. Menunjuk gue yang sempat terdiam melihat interaksi antara Reina dan bocah kesayangan gue itu.
Cewek gue langsung menoleh, tersenyum lebar. ‘Calm down heart!’
“Sini Mas, sarapan dulu.”
“Apa aku sarapan di mobil aja ya?”
“Di sini aja, Mas. Gala juga masih makan kok.”
“Gala kasih tau Aunty Reina kalau kita nemu falafel and hummus yang enak at the Rabbit Hole, Ayah. Kata Aunty ngga muat dong masuk ke dalam,” ujar Gala.
Reina terkekeh, gue pun sama.
“Terus, Gala bilang apa?” tanya gue kemudian.
“Itu nama restoran kan Ayah? Bukan a rabbit hole not in the literal sense.”
“Betul.”
“Gala ajak dong Aunty Reina makan di sana,” tanggap Reina.
“Oke! Nanti kita makan di sana, sama Ayah juga. Aunty datang lagi aja ke rumah Gala yang di London ya?”
Reina mengacungkan kedua ibu jarinya. Gala bertepuk tangan sesaat lalu meraih garpunya dan mulai melahap hidangan pembuka hari yang sudah terhidang.
Jemari gue bergerak, menyisir surai Reina, membawanya menoleh dan menantang tatapan gue. Helaian rambutnya gue sisipkan ke balik daun telinga. Gue lalu menunduk, mengecup bahunya seraya menghindu wanginya sebelum kembali menegakkan punggung.
“M-mas ma-kan,” ujarnya tergagap.
Jantung gue juga kebat-kebit ini. Ampun sih, nyentuh dia tuh addict banget. Emang harus halal secepatnya sih kalau udah begini.
“Mas, berarti habis dari klinik kita misah ya?” Suara Nina yang akhirnya memecah adegan saling pandang kami. “Liat-liatan aja lo berdua!”
Reina menjulurkan lidah meledek Nina, sementara gue ngusap-ngusap leher sendiri. Kepergok gitu doang aja udah salting gue!
“Iya, habis dari klinik Tante Nisa, gue mau ke rumah oma opanya Reina, Dek,” jawab gue.
“Ketemu Aki juga,” sambung Reina.
Gue menanggapi dengan mengangguk.
“Oh. Gue nyapa Mami aja ya Rei? Mau ngajak Gala jalan dulu. Udah nagih dia dari kemarin. Habis magrib baru gue ke rumah lo. Boleh kan?”
“Sip! Atur aja.”
***
Gue menggenggam tangan Nina saat menyusuri jalan setapak yang membawa ke makam Mama dan Papa. Hening, sama seperti biasanya setiap kami datang ke sini. Kami berdua sama terpukulnya dengan kepergian mereka yang tiba-tiba. Hanya saja, dunia memperlakukan kami berbeda. Saat itu, semua orang termasuk gue sangat berusaha menjaga psikis Nina. Hanya memedulikan Nina. Dalam kasus gue, kesehatan jiwa gue sendiri ngga gue pikirin.
Awalnya, gue kira, rasa kehilangan itu adalah yang paling berat. Ternyata, belum seberapa.
Satu minggu setelah kepergian keduanya, gue membereskan kamar mereka, termasuk surat-surat penting yang Mama dan Papa simpan. Yang ngga pernah gue duga adalah beberapa loan agreement dengan jumlah yang cukup besar terselip di sana. Dan semuanya tanpa agunan. Periode cicilan pun gue periksa yang ternyata p********n masih akan ditagih hingga tiga tahun ke depan.
Gue masih ingat saat gue menjumlahkan semua beban yang harus gue bayar setiap bulannya. Dan di situlah gue sadar, ada yang lebih menyakitkan setelah kehilangan Mama dan Papa.
“Eh, Tua Bangka! Malah ngedeprok di sini!”
Gegas gue hapus air mata gue, memalingkan wajah agar bocil sahabat adik gue itu ngga melihat keadaan gue yang sekacau ini.
“Mas ... maaf. Mas Rio kenapa?”
Reina malah duduk di samping gue, merengkuh kedua bahu dari balik punggung gue. Ditanya seperti itu, rasanya justru semakin sesak. Gue ngga sanggup menatap dia, pun ngga bisa menjawab, air mata gue pun enggan berhenti mengalir.
“Reina panggil Nina,” ujarnya kemudian. Nyaris berdiri.
Namun, salah satu tangannya gue genggam erat. “Jangan, Rei,” lirih gue, parau.
Kedua tangan Reina mengusap wajah gue. Ia pun berusaha menyingkirkan kesedihan gue. Yang ternyata usahanya percuma.
“Reina pinjemin bahu, mau Mas?”
Tanpa berpikir, gue mengangguk. Kepala ini gue rebahkan di bahunya. Reina menepuk-nepuk lengan gue, sementara gue terus saja menangis. Gue ngga tau gue harus membayar semua hutang itu dengan apa? Gaji gue ngga akan cukup meng-cover semuanya plus biaya sekolah Nina dan kebutuhan harian. Belum lagi cicilan rumah kami.
‘Ya Allah. Kenapa harus Rio?’
“Mas Rio mau cerita?” lirih Reina.
Gue diam saja, enggan menjawab. Lagipula, apa yang harus gue ceritakan? Hutang gue banyak? Orang tua gue ninggalin tumpukan hutang? Atau apa?
“Ya udah kalau Mas susah untuk cerita. Reina temanin aja ya sampai Mas Rio tenang.”
Kali ini, gue mengangguk.
“Mas Rio,” lirihnya lagi. Sesaat terjeda sebelum Reina kembali bicara. “Jangan disimpan sendiri ya Mas sedihnya. Nanti Mas Rio sakit.”
Gue bernapas dalam beberapa kali, bersikeras menenangkan diri. Setelah air mata gue berhenti mengalir, wajah gue pun gue angkat. “Thanks, Rei,” ujar gue, tulus.
“Kalau lo ngga bisa cerita ke Nina, kan ada si Puri,” lanjutnya lagi.
Ya, gue memang punya pacar. Tapi, gue ragu dia akan paham apa yang menimpa gue, apa yang gue rasa. Jangan-jangan, dia malah nganggap gue ngga pantas buat dia.
“Kok lo ngga menawarkan diri lagi?”
“Jangan deh, Mas. Lo punya cewek, gue punya cowok. Kalau kita jadi saling curhat, nanti mereka salah paham. Iya ngga Mas Rio?”
“Cowok lo baik?” Gue malah balas bertanya,
“Baik dong.”
“Udah lama kenalnya?”
“Mmm ... pedekatenya dua bulanan deh.”
“Dua bulan udah jadian? Kok cepat banget?”
“Emang kenapa?”
“Ya biar lo hati-hati aja, Rei.”
Gadis itu memberengut yang justru membuat gue terkekeh. Jahat banget kan gue, bisa-bisanya gue cengengesan ditengah kekesalan orang lain.
“Udah legaan, Mas?” tanya Reina kemudian.
“Iya, udah.”
“Yakin nih ngga mau gue panggilin Nina?”
“Gue bisa kok manggil Nina sendiri.”
“Iya sih.”
“Dasar bocil!”
“Dasar tua bangka!”
Gue menggeleng cepat – menyadarkan diri dari lamunan akan kejadian di masa lalu – sebelum mengambil tempat di antara kedua makam. Selembar koran menjadi alas duduk untuk gue dan Nina.
Titik pandang gue sapukan, menyadari ada yang berbeda dari makam keduanya. Sepasang bangku beton tadinya tak ada di sisi kiri dan kanan, tapi kini ada. Gue mendongak, menatap Reina yang duduk di salah satu bangku. Ia tersenyum manis.
“Kamu yang bikin dua bangku itu?”
“Iya, Mas. Ngga apa-apa kan?”
“Kamu sering ke sini, humaira?”
Reina mengangguk. Dan gue lagi-lagi meneteskan air mata. Sedari dulu, selalu Reina yang ada, dan gue ngga pernah sekalipun memandang dia sebagai wanita ... baru akhirnya demikian sejak beberapa waktu terakhir.
Jemari Nina menghapus air mata gue. Wajah gue pun menoleh, tersenyum pada adik gue satu-satunya. “Gue telat banget ya, Dek?”
Konyolnya, Nina malah ngangguk-ngangguk. “Mas Rio lucu banget deh Ma, Pa. Dia ngabisin waktu jagain jodoh orang, ngga taunya jodoh dia sendiri dekat banget,” adunya kemudian pada Mama dan Papa.
“Berdoa dulu, baru ngadu!” ketus gue.
“Malu tuh dia Ma, Pa,” ledek Nina lagi.
Gue berdecak, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana, membuka aplikasi doa.
“Gala mau duduk di sini sama Ayah dan Mama?” tanya gue pada Gala sebelum mulai memimpin doa. Gala mengangguk. Ara mengangkatnya, lalu menurunkan bocah itu di pangkuan gue. Tanpa menunda lagi, kami pun mengirim doa untuk keduanya.
Setelah semua doa kami panjatkan, tibalah saat di mana kami menceritakan apa yang sudah kami lewati. Sebelum-sebelumnya, gue ngga pernah ambil bagian. Hanya Nina. Rasanya, beban yang gue panggul beratnya ngga sanggup untuk gue utarakan.
Tapi kali ini, tentu saja berbeda.
“Dek ... lo, Ara dan Gala tunggu di kedai itu aja. Gue mau ngobrol sama Mama Papa sebentar.”
“Agak lamaan juga ngga apa-apa kok Mas,” ujar Ara.
“Hmm.”
“Jadi ke makam Ninin kan, Rei? Gue lupa deh jalannya, padat banget ya sekarang TPU ini,” lanjut Nina pada Reina.
“Iya. Lo tunggu aja di kedai. Ninin kan di blok seberang. Bareng-bareng aja nanti. Gue temanin Mas Rio dulu.”
Setelah keluarga kecil itu menjauh, Reina pindah ke samping gue. Kedua tangannya gue genggam erat.
“Rei ....”
“Kenapa Mas?”
Gue mendengus, menyingkirkan sesak. “Mas minta maaf ya, Rei.”
“Mas Rio kenapa?”
“Ngga apa-apa.”
“Mas Rio jangan bikin Reina panik. Ada apa, Mas?”
Gue menatapnya lekat. Semua masa di mana ia selalu menjadi orang pertama yang hadir untuk menghibur dan menyemangati gue ... berputar laksana roll film.
“Mas Rio kok nangis? Kenapa Mas? Ingat Mama Papa?”
Gue mendengus keras. Kemudian menggeleng. Sementara ia, sibuk menyeka tetesan air mata gue yang sempat menitik tadi.
“Rei ....”
“Mas Rio ....”
“Mas cuma mau minta maaf ... karena terlambat jatuh cinta sama kamu.”