“Iya, Reina maafin,” balasku. Namun, dengan nada ketus.
Mas Rio malah tergelak. Ia mengangkat tangan kiriku, mengecup jari manis dan cincin yang melingkar di sana. Setelahnya, punggungnya kembali tegak dan menatap dua makam yang mengapit kami.
“Ma, Pa ... Rio bawa calon mantu.”
Kini aku yang terkekeh.
“Rio harap, Mama dan Papa benar-benar tenang di sana. Hutang kita sudah Rio lunasi semua. Rio pun ngga punya hutang duit sama sekali. Rio juga ngga menuntut apapun dari mereka-mereka yang sudah memanfaatkan atau mungkin menyudutkan Mama Papa supaya mereka mapan dan hidup enak tanpa perlu berusaha.”
‘Hutang apa?’
Aku mencoba memutar memoriku, mengingat-ingat pernahkah Nina menyinggung soal hutang? Seingatku tidak.
“Rio minta maaf karena lalai menjaga Nina. Meskipun dunia bilang bukan salah Rio, bagi Rio kejadian yang menimpa Nina pasti ada faktor kelalaian Rio. Tapi, Mas dan Nina menuruti amanah Papa. Akhirnya kami paham kenapa Papa melarang anak-anak Papa menikah dalam keadaan hamil lebih dulu. Banyak hikmah yang kami petik. Mas dan Nina cuma berharap kami mengasuh dan mendidik Gala dengan baik. Gala pintar banget Ma, Pa ... bahkan untuk anak seumurannya. Nina sudah menikah dengan Ara dan sekarang lagi mengandung anak kedua mereka.”
Ya, aku sendiri juga merasakan betapa Nina, Bisma dan Mas Rio bermetamorfosis menjadi orang-orang dengan karakter yang jauh lebih baik dari sebelumnya melalui kejadian kelam itu. Terutama dengan melihat Gala, bocah itu tumbuh dengan sangat baik.
“Rio cuma mau bilang itu. Mama Papa yang tenang di sana. Kami di sini inshaaAllah baik-baik saja,” pungkasnya seraya menggenggam tanganku.
Usai memberi update, kami pun berdiri. Tak langsung meninggalkan makam, Mas Rio membersihkan nisan keduanya lebih dulu. Ia bahkan membawa lap dari rumah. Namun, yang membuatku tak bisa menahan air mata adalah saat ia mengecup kedua batu nisan itu seraya meminta maaf pada keduanya. Aku sungguh tak bisa membayangkan, betapa berat beban yang harus Mas Rio tanggung selama ini.
“Mas?”
“Kenapa Rei?”
Kelopak bunga terakhir jatuh di atas pusara. Aku menyisipkan tanganku di siku Mas Rio, lalu kami berbalik arah, perlahan menjauh.
“Waktu itu, Mas Rio nangis karena ....”
“Iya,” potongnya. “Aku baru tau kalau Mama Papa hutangnya numpuk, Rei,” lanjutnya seraya terkekeh.
Aku bahkan terpaksa memalingkan wajah, mengusap kedua mataku yang menghangat.
“Ngga paham sih gimana ceritanya. Pas Mama Papa meninggal, baru aku tau kalau beliau berdua ngebiayain saudara-saudaranya ngebangun rumah, nyekolahin anak-anak mereka, hal-hal kayak gitu, Rei. Aku ingat banget Om aku bilang kalau Papa dan Mama tuh paling mapan di antara mereka semua, dan banyak ngebantu. Ternyata, pakai duit KTA, Rei. Jumlahnya fantastis. Belum termasuk rumah. Juga biaya hari-hari kami,” lanjut Mas Rio.
“Terus? Mas ngelunasinnya gimana?”
“Ada kakak tingkat, kami satu organisasi dan akrab banget. Dia yang referensiin aku kerja di Amsterdam.”
“I see.”
“Iya. Dia minjamin aku duit untuk nutup semua KTA yang pinalti dan bunganya besaran bunga. Terus, aku cicil ke dia sesanggupnya aku perbulan. Alhamdulillah semua sudah selesai sekitar pertengahan tahun pertama kami di Amsterdam.”
“Ya Allah, Mas. Reina ngga tau sama sekali.”
“Ngga apa-apa. Yang penting sekarang aku ngga punya hutang. Setelah kita nikah nanti, misalnya aku meninggal duluan, inshaaAllah aku ngga akan ninggalin hutang, Rei. That’s hurt untuk yang ditinggalkan. Really hurt.”
Kami melangkah bergandengan tangan, melepas dahaga lebih dulu di sebuah kedai tempat Nina, Ara dan Gala menunggu. Gala tak banyak berceloteh di makam tadi, namun saat aku datang ia telah sibuk mengabsen aneka jajanan tradisional yang tersebar di tengah meja kayu panjang.
“Gala udah nyobain yang mana?” tanyaku setelah menenggak beberapa teguk air mineral.
“Yang itu, Aunty,” jawabnya seraya menunjuk panganan legend Jawa Barat.
“Tau ngga namanya apa?”
“Awug!”
“Wah, Gala tau ternyata.”
“Mama kasih tau Gala. Enak, Aunty. Gala suka.”
Awug adalah kue khas Sunda yang dibuat dari campuran tepung beras, kelapa, sari daun pandan dan gula merah yang dikukus di dalam aseupan dengan beralaskan daun pisang. Rasanya yang gurih dan manis memang memanjakan lidah. Aku sendiri tak pernah bosan memakan kue yang satu itu. Namun, itu dulu ... saat Ninin masih ada. Ninin yang selalu membuatkan kami awug kala kami datang ke kediamannya. Bahkan jika kami terlalu lama tak menengoknya, beliau akan menghubungi kami dengan mengirimkan kami foto awug yang masih mengepulkan asap.
“Aunty? Are you fine?”
Aku tersenyum menatap pemuda kecil itu, lalu mengangguk. “Dulu, neneknya Aunty selalu bikinin awug buat Aunty. Awugnya enaaaak sekali.” Suaraku berubah sengau di ujung kalimat. Sudah cukup lama Ninin pergi meninggalkan kami. Namun, rasanya baru kemarin.
Hari semakin terik, kami pun tak menunda langkah. Lanjut kami hampiri makam Ninin, ibu dari Papi. Beliau adalah seorang Dokter Spesialis Anak yang juga konselor laktasi ternama di kota ini. Namun bagi kami keluarganya, Ninin adalah perempuan favorit kami. Ninin dan Aki sama-sama orang yang jenaka. Berbeda dengan Papi yang cenderung serius, sementara Ante Kirana dan Ante Denok sama kocaknya dengan kedua orang tua mereka. Kata Ninin, Papi pembawaannya persis Uyut.
Usai berdoa, saat ingin menebar bunga, Mas Rio beringsut mendekati nisan. Ia melakukan hal yang sama seperti di makam orang tuanya tadi. Nisan Ninin ia bersihkan dengan telaten, termasuk ukiran nama dan kaligrafi yang tercantum di sana tak luput dari perhatiannya.
“Ninin masih ingat Nina ngga?” ujarku seraya menebar kelopak mawar di atas pusaranya. “Teteh ngga jomblo lagi lho. Akhirnya Teteh berhasil ngegaet hati si Kasep. Ngga pake jungkir balik dan koprol tapi, Nin.”
Nina dan Ara sontak tergelak, sementara Mas Rio malah mesem-mesem.
Ninin turut bertakziyah saat kedua orang tua Nina dan Mas Rio berpulang. Setiap kali beliau memasak makanan agak banyak, Ninin pasti mengirimkan ke rumah kami dan memintaku membagi makanan itu dengan Nina dan Mas Rio. Suatu hari, Ninin sempat keberatan saat aku memberitahunya bahwa aku pacaran dengan seorang mahasiswa.
“Ngapain sih nyari pacar jauh-jauh? Belum tentu bener. Mending Teteh sama si Kasep. Mukanya enak dilihat, anaknya sopan, sama adiknya juga sayang. Bertanggung jawab! Itu yang paling penting dari sorang lalaki.”
“Si Kasep saha atuh Ninin?”
“Eta aana Nina. Saha atuh namina?”
“Ya Allah, Ninin. Sampai Teteh jungkir balik pun, si Kasep yang Ninin taksir itu teu bakal ngelirik Teteh. Udah punya cewek dia mah.”
“Emang udah dicoba?”
“Apa yang dicoba, Nin?”
“Jungkir balik? Koprol?”
“Ninin!”
Aku tiba-tiba saja terkekeh, teringat pembicaraan itu. Dan kini, saat aku bersama si Kasep yang Ninin taksir, Ninin justru tak lagi ada di sini.
Hari pun beranjak siang. Kami berpisah langkah. Nina, Ara dan Gala lanjut melancong ke tempat wisata. Sementara aku dan Mas Rio bertolak ke Rumah Sakit. Tadi, Papi menghubungiku, Aki ada di sana. Bosan katanya di rumah.
“Kata Bang Dirga, Ninin ngga sakit ya Rei?” tanya Mas Rio begitu sedan yang ia kemudikan meninggalkan area makam.
Aku mengangguk. “Kami lagi di sana. Hari Jumat, tanggal merah. Lagi enak-enak ngobrol, Ninin nguap. Papi nyuruh Ninin istirahat aja. Ninin masak banyak banget hari itu Mas. Ngga kayak biasanya. Kami pikir Ninin capek dong. Ninin ke kamar. Mandi – padahal Ninin itu tiap subuh pasti mandi, wudhu, shalat dhuha dulu, baru naik ke kasur. Reina sempat nemanin Ninin, mijitin Ninin sampai beliau tidur. Pas dekat waktu shalat Jumat, Aki ke kamar, mau ngambil sajadah sama peci. Ya di situ Mas, tau-tau Aki manggilin kami sambil nangis.”
Mas Rio menggenggam tanganku, menariknya untuk ia kecup.
“Maaf ya Rei. Maaf karena Mas ngga ada saat itu.”
“Ngga apa-apa, Mas. Kami bersyukur kok Ninin pergi dengan mudah. Meski ya ngebekas banget. Kaget, Mas.”
“Hmm. Pasti, Rei.”
“By the way, si Kasep tuh aku?”
“Iya, Mas,” jawabku seraya terkekeh. “Waktu itu Reina cerita, baru jadian sama si Tangguh.”
“Tangguh brengseknya!” ketus Mas Rio.
Aku kembali tergelak. “Teteh sama si Kasep aja ceunah. Reina tanya kan si Kasep tuh siapa. Kata Ninin aanya Nina.”
Kini Mas Rio yang tertawa. “Itu sebelum kejadian yang di kafe ya?”
“Pastilah, Mas.”
“I see,” tanggapnya.
“Gara-gara kejadian itu ... Reina jadi suka banget sama Mas Rio.”