Angel Of Death

1293 Words
Sesampainya aku dan Mas Agung di kedai bakso aci Bang Soleh suasana masih sepi karena baru saja buka. Biasanya kedai akan ramai sampai tak ada tempat kosong setelah magrib. Para mahasiswa kesehatan sering nongkrong sambil mengerjakan tugas. Juga, anak-anak kos SMA dan SMP. Meski, rumahku terletak agak pinggir dari kota Jogja. Daerahnya sangat ramai. Di sini ada tiga kampus swasta, pondok pesantren dan sekolah yayasan bertaraf internasional. “Cewek cantik-cantik, Mas. Mau pilih yang mana?” goda Bang soleh pada Mas Agung. “Terima kasih, Bang. Takut sama yang cantik-cantik.” Ah, selalu saja begitu. Alasannya takut padahal sudah bucin sama Mbak Dyah. “Jangan pulang dulu ya. Sebentar lagi ada kembang desa mau ambil pesanan,” ucap Bang Soleh. “Wah, gak sia-sia Mas Agung dandan dan pakai minyak wangi,” sahutku. “Mbak Mimi!” tegur Mas Agung. “Mas Agung masih malu-malu saja ya, Mbak. Kayak sama siapa aja.” “Biasa, Bang. Malu-malu meong. Tapi, kalau ada orangnya lihatnya sampai lupa berkedip.” “Namanya juga lagi kasmaran, Mbak Mimi.” Bang Soleh sengaja belum membuatkan pesanan kami. Beliau salah satu pendukung hubungan Mas Agung dengan Mbak Dyah. Karena keduanya pertama kali bertemu dan jatuh cinta di kedai bakso aci. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang juga. Kembang desa anaknya Pak Kades selalu tampil anggun. Beda sekali dengan ku yang urakan. Btw, rumahku berada di komplek perumahan milik Eyang Buyut jadi tak banyak yang tahu soal aku. Lagipula Papa tidak suka anaknya terlalu sering keluar rumah. Makanya, Mbak Dyah satu-satunya gadis desa tercantik. “Dek Cintami kesini sama siapa?” “Biasa, Mbak. Sama siapa lagi kalau bukan itu ...” tunjuk ku pada Mas Agung yang sedang mode kulkas. “Eh,” jawab Mbak Dyah. Oh, hanya itu saja. Keduanya pasti bingung mau bicara apa. Coba kalau aku langsung deh nyosor duluan, hehe. “Punya Nayeef dikasih tambahan apa aja, Mbak?” “Kayak biasanya aja, Bang. Pokoknya semuanya serba ekstra ya.” “Asiap!!!” Aku tersenyum pada Mbak Dyah yang baru saja duduk di sebelahku setelah membayar ke kasir. Ku kira setelah mengambil pesanan dia langsung pulang ternyata tidak. “Gimana skripsinya?” “Jangan tanya itu, Mbak. Pusing sekali kepalaku. Rasanya pengen meledak.” Mbak Dyah terkekeh pelan dengan membelai punggungku. Aku selalu suka diperlakukan seperti adik olehnya. Sikapnya sangat lembut dengan semua orang. “Kemarin aku ketemu sama Bude Jazil katanya tiap hari kamu ngereyog setelah pulang kuliah.” “Lelah banget, Mbak. Teman-temanku sudah pada sempro aku belum sendiri.” “Dosbing pertamanya siapa?” “Pak Yafiq tapi saat ini diganti sementara sama Pak Arayan.” “Kok bisa?” Mbak Dyah terlihat kaget mendengar jawabanku. Dia ini lulusan di kampus dan fakultas juga prodi yang sama denganku. Wajar jika tahu Pak Yafiq dan Pak Arayan. “Beliau lagi umroh katanya, Mbak. Makanya bimbinganku dialihkan sama Pak Arayan.” “Lebih galak yang mana?” “Sama aja, Mbak. Garang semuanya.” “Mas Arayan enggak galak loh ...” Aku sedikit mengernyitkan keningku. Kenapa Mbak Dyah bisa memanggil Pak Ayang dengan sebutan ‘Mas’? aneh sekali! “Dek Mimi belum tahu jika kami ini masih saudara?” “Hehe, enggak, Mbak.” “Uminya Mas Arayan itu Kakak kandungnya Bunda.” Aku menganggukkan kepala beberapa kali. Pasti terlihat jelas di wajahku jika aku suka dengan jawaban Mbak Dyah. Tadi, aku sempat berpikir buruk jika Mbak Dyah suka dengan calon imamku. Setelah pesananku jadi, aku dan Mas Agung bergegas pulang. Aku tebak Nayeef sudah menunggu di rumah dengan wajah cemberut karena aku tak kunjung pulang. “Kapan-kapan main ke rumah, Mbak. Aku mau tanya-tanya soal tempat magang.” “Insyaallah hari minggu nanti aku akan datang. Sekalian ambil s**u segar.” “Kalau jadi datang berkabar lagi ya, Mbak. Takutnya aku masih bobok atau bantuin Mama jagain toko.” Mbak Dyah mengangguk. Tersenyum manis hingga kedua lesung pipinya terlihat jelas. Kedua matanya terlihat redup saat Mas Agung melewatinya begitu saja tanpa menyapanya. “Mas kok jahat banget sih!” “Aduhhh, Mbak Mimi panas tanganku.” “Biarin aja. Habisnya ngeselin banget. Padahal, Mbak Dyah sudah berniat menyapa tapi Mas Agung malah melengos terus.” Aku menempelkan plastik yang berisi bakso aci juga bakso bakar ke tangan Mas Agung. Itu hukuman karena telah membuat sedih idolaku. Gadis baik hati yang lembut hatinya. “Aku harus gimana, Mbak? Di Sekitar sana pasti ada mata-mata Pak Kades. Bisa jadi masalah kalau aku dan Dyah bertegur sapa.” “Ah, gak asik! Nanti deh aku bakal bicara sama Papa juga. Pokoknya Mas Agung harus menikah dengan Mbak Dyah.” *** Nayeef berlari menghampiriku ketika baru turun dari motor. Dia mengambil kantong plastik berisi makanan lalu bergegas masuk ke dalam rumah. “Ngak mau ikut makan di sini?” “Enggak, ada Pak Arayan aku takut kena tatapan tajamnya lagi.” Aku melihat ke arah motor besar milik Pak Ayang. Ternyata dia belum pulang. “Harusnya les sudah selesai sejak tadi.” “Tidak akan pulang jika hati tak tenang.” “Maksudnya?” Mas Agung memberikan ransel Nayeef setelah itu berniat kembali ke rumah Eyang. Jadi, dia bertugas menemani Eyang Kakung yang tinggal sendirian di rumah. Sebenarnya tidak sendiri ada beberapa ART namun Papa ingin ada orang yang bisa dipercaya untuk menjaga Eyang. Karena, beliau tidak mau diajak pindah ke rumah anak-anaknya. “Udah buruan masuk. Keburu bakso aci dihabiskan Nayeef.” “Wah, iya!” Aku menepuk keningku. Melupakan jika Adek kesayanganku kalau makan suka khilaf. “Terima kasih, Mas. Sering-sering traktir aku sama Adek.” Aku berjalan cepat menuju ke ruang makan. Pasti, Nayeef dan Pak Ayang berada di sana. Mama tidak memperbolehkan anak-anaknya makan yang berkuah-kuah diruang keluarga takut sofa mahalnya terkena noda. “Pak Ayang belum pulang?” “Nayeef takut di rumah sendirian.” Pak Ayang tengah makan bakso bakar milikku. Karena milik Nayeef manis pasti dia tak suka. “Bibik kemana, Dek?” “Ada di taman belakang.” “Tumben Adek takut. Manja banget!” Aku mengambil mangkuk besar untuk tempat bakso aci. Sengaja beli banyak karena Mama, Papa dan Bibik juga suka dengan jajanan ini. “Bapak mau enggak?” “Tidak, terima kasih.” Aku memberikan mangkuk kecil berisi bakso aci full toping untuk Nayeef. Lalu, mengambil untuk aku makan sendiri. “Enak kok, Pak.” Nayeef mengacungkan jempolnya ke arah Pak Ayang. “Kamu mah semua makanan enak, Dek,” ujarku. “Kecuali makanan yang dimasak Mbak Mimi.” Aku mengerucutkan bibir saat adikku menggodaku. Meski aku tak bisa memasak tetap saja malu jika dibahas saat ada calon masa depanku. “Kalau begitu saya pamit dulu. Sudah mau maghrib.” “Mau diantar, Pak?” “Tidak usah. Kamu lanjutkan saja makan bakso aci.” “Yakin?” tanyaku sekali lagi. “Hmmmm.” Aku tergelak saat melihat Pak Ayang mendengkus. Pasti dia malu karena digoda di hadapan muridnya. “Mbak Mimi jangan centil.” Protes Nayeef. “Siapa yang centil?” “Itu, tadi Mbak Mimi nawari buat antar Pak Rayan padahal sudah ditolak.” Oh, adikku. Kenapa juga menjelaskan jika aku baru saja ditolak? “Namanya juga usaha, Dek. Siapa tahu Pak Ayang mau.” “Tuh, ‘kan centil! Nayeef bilangin ke Mama nanti.” “Besok Mbak gak mau beliin cilok sama bakso bakar kalau gitu,” ancam ku. Pasti dia tidak akan berani mengadu pada Mama. “Ya, jangan!” seru si gemoy. Bibirnya melengkung ke bawah dan wajahnya dibuat-buat sedih.” “Nayeef kamu jangan kalah dengan godaan setan,” ucap Pak Ayang. “Bapak jahat banget sih. Masak aku dikatain setan. Kemarin-marin jin masak sekarang setan. Yang bagusan dikit dong!” “Angel of death?” “Nah!” aku berseru senang. Tapi ... “Ih, Pak Ayang. Nyebelin!!!!!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD