“Mama kemana, Bik?”
“Kondangan sama Bapak. Tadi, Ibu bilang Mbak Mimi di suruh ambil s**u segar buat Pak Rayan.”
“Tinggal ambil saja ‘kan, Bik?”
“Iya, Mbak. Sudah diperah sama Agung.”
“Okay, Bik. Aku ke atas dulu ya. Mau istirahat dulu capek banget.”
Setelah pamit dengan Bibik, aku langsung menuju ke lantai atas. Badanku rasanya pegal sekali padahal aku hanya menemani Amanda yang mengerjakan revisinya.
Sebelum mengambil s**u segar aku akan istirahat sebentar. Setelah itu, mandi terus dandan cantik menyambut kedatangan Pak Ayang.
Mumpung tidak ada Mama dan Papa di rumah aku bisa bebas menggoda Pak Ayang. Aktivitas yang paling menyenangkan dalam hidupku.
“Selamat sore, Mumu cantik. Makin gemoy aja nih ...”
“Nafsu makannya bertambah, Mbak. Kayaknya lagi jatuh cinta.”
“Ih, kok mudah banget banget sih anak aku jatuh cinta. Harus pilih-pilih dong, Mumu. Kayak Mama nih, pilihannya bibit unggul tapi susah didapat.”
Aku melihat Mas Agung geleng-geleng kepala saat mengajak Mumu bicara. Meskipun, Mumu adalah seekor sapi. Tetap saja dia memiliki perasaan. Apalagi dia sapi betina pasti perasaannya lembut sekali. Seperti aku, haha.
“Ada sapi jantan lagi?”
“Iya, Mbak. Tuh, di sebelah sana.”
Aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mas Agung. Ada tiga ekor sapi jantan. Sepertinya sapi-sapi perah milik Papa sudah mulai musim kawin.
“Pilihkan Mumu suami yang terbaik, Mas. Masak Mumu cantik anak-anaknya jelek.”
“Gimana caranya pilih sapi jantan yang ganteng, Mbak?”
“Tinggi, besar, putih, hidungnya mancung dan dadanya tegap. Itu ciri-ciri sapi ganteng.”
“Itu mah aku, Mbak.”
Aku menyipitkan mata melihat ke arah Mas Agung. Percaya diri sekali dia mengatakan jika ganteng. “Pendek, kurus, hitam, pesek ...” aku sengaja menggantungkan kalimat saat Mas Agung sudah mencebik. Dia memang pendek tapi kulitnya bersih dan hidungnya mancung. Tadi, hanya bercanda.
“Gini-gini aku yang naksir banyak, Mbak.”
“Terus kenapa masih jomblo?”
“Cewek incaranku belum mau diajak pacaran.”
“Usaha lebih keras lagi dong, Mas. Kayak aku gitu sih,” ucapku menyombongkan diri. Kami sama-sama mencintai orang yang sulit didapatkan.
“Gosip yang beredar di kalangan tetangga bentar lagi dia bakal menikah. Pupus sudah harapanku.”
Aku mendekati Mas Agung yang wajahnya berubah sedih. Cintanya bukan ditolak melainkan tak mendapatkan restu. Dia jatuh cinta dengan anak Pak Kades. Selain cantik, gadis yang disukai Mas Agung berasal dari keluarga kaya. Sementara dia yatim piatu. Sejak kecil ikut dengan Papa dan Mama.
“Sebelum janur kuning melengkung jangan menyerah. Nanti malam aku bakal bilang sama Mama. Kayaknya beliau setuju kalau Mas Agung sama Mbak Dyah.”
“Percuma saja, Mbak. Calon suami Dyah itu seorang Polisi. Aku kalah jauh ...”
Aku menepuk pundak Mas Agung untuk memberikan semangat padanya. “Mas Agung lupa kalau sebentar lagi akan jadi Dokter Hewan? Ngak boleh minder! Kalau Papa tahu bakal kena jewer.”
“Aku hanya anak angkat, Mbak.”
“Hih, kok gitu sih ngomongnya. Aku tidak suka ya kalau Mas Agung bicara gitu,” omel ku pada Mas Agung yang sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri.
Mas Agung menghela nafas lalu berusaha tersenyum agar aku tak marah padanya. Tapi, aku sudah terlanjur ngambek. Harus di rayu dulu dengan bakso aci yang ada di perempatan dekat rumah Mbak Dyah.
“Mau Bakso Aci?”
Nah, ‘kan! Aku suka sekali tingkat kepekaan Mas Agung. Hanya mengerucutkan bibir saja langsung tahu aku ingin apa. “Jelas dong! Ayo, beli sekarang. Keburu magrib nanti antriannya lama.”
“Iya, Mbak. Aku mandi dulu. Masak bau sapi ...”
“Ah, iya. Sekalian dandan yang ganteng sama pakai minyak wangi. Siapa tahu nanti ketemu sama pujaan hati.”
Aku kembali ke rumah setelah mengambil s**u pesanan calon imam. Pak Ayang itu suka sekali nenen cucu sapi, untung saja anak kami ASI nya melimpah ruah setiap hari. Aku merinding sendiri mengatai Mumu adalah anakku dan Pak Ayang, wkwk.
***
“Mau kemana, Mbak?”
“Beli baso aci sama Mas Agung.”
“Mau ikut,” rengek Nayeef. Dia baru saja mulai les mengaji.
“Ya, nggak bisa, Adek. Sudah ada Pak Arayan masak mau ditinggal.”
“Mau pilih sendiri toppingnya.”
“Mbak sudah hafal toping yang kamu suka. Nanti Mbak beliin bakso bakar juga.”
“Okay!” Semudah itu merayu si gembul. Dia tidak akan bisa jauh-jauh dari makanan.
Aku melihat Pak Ayang melihat sejenak namun kembali menunduk. Senyumku langsung merekah sempurna ditatap Mas-Mas sholeh. “Pak Arayan pesan s**u ‘kan?”
“Iya, sudah di bayar sama Umi. Jangan di kasih gratis lagi.”
“Sudah saya dititipkan sama Bibik. Nanti kalau mau pulang minta Nayeef buat ambil.”
“Hmmm ...”
“Bye, Adek. Semangat belajarnya,” ucapku sambil mencium kedua pipi chubby kesayanganku.
Tiba-tiba Pak Ayang memanggilku saat mengambil helm di garasi. Agak kaget tapi aku senang dia memanggil namaku. “Ada apa, Pak?”
“Mau beli bakso aci dimana?”
“Bang Soleh. Perempatan dekat rumah Pak Kades. Bapak mau?”
Pak Ayang menggelengkan kepala. Sudah aku duga dia tidak mau. Makanya tadi aku tak menawarinya. “Terus Bapak mau apa?”
“Ganti baju!”
“Hah?” Aku melihat pakaian yang sedang aku kenakan. Kaos panjang dengan celana panjang. Hanya kurang hijab saja.
“Ini tuh sudah sopan, Pak. Masak harus ganti baju sih?”
“Ganti warna lainnya.”
“Santai aja, Pak. Saya tuh nggak lagi di pantai selatan jadi aman pakai baju warna biru. Lagian di warung bakso aci tidak ada ombak.”
Pak Arayan masih berdiri di depanku tanpa melihatku. Aku bingung ingin meninggalkannya begitu saja tapi tak sopan. Sedangkan Mas Agung sudah memanggil dengan menyalakan klakson motornya.
“Bentar, Mas ...” teriakku.
“Cintami!”
“Bapak, jangan sekarang ya. Saya buru-buru.”
“Ganti baju atau skripsi kamu tidak akan saya ACC.”
“Baiklah, saya ganti.” Aku berlari masuk ke dalam rumah menuju ke kamarku. Tak ada banyak waktu untuk memilih baju jadi aku ambil saja yang ada di bagian atas.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan Pak Ayang sampai memintaku berganti pakaian. Masalahnya bukan terlalu terbuka tapi hanya soal warna. Setahuku dia juga pernah memakai kemeja warna biru saat ke kampus.
“Lama sekali. Ngapain aja?”
“Pak Arayan suruh aku ganti baju.”
“Mbak Mimi pakai tank top?”
Aku memukul punggung Mas Agung dengan dompet kecil. “Memangnya aku sudah gila?! Beli bakso aci pakai tank top. Bisa-bisa aku dikatain cabe-cabean.”
“Oh, kirain,” jawabnya.
Lagi-lagi Pak Arayan memanggilku saat aku akan naik motor. Kali ini dia membawa ransel milik Nayeef. Entah apa maksudnya aku tak mengerti?
“Lah, buat apa bawa tas, Pak. Nanti juga di kasih kantong plastik sama Bang Soleh.”
Pak Arayan tidak menjawab. Dia menaruh tas ransel di depanku. Tepatnya di tengah antara aku dan Mas Agung.
“Kalian ini bukan mahram jadi tidak boleh boncengan terlalu rapat.”
“Aaaaaaaaaaa ...” aku berteriak histeris saat mendapatkan perhatian semanis ini dari Pak Ayang.
“Mbak Mimi jangan berteriak! Nanti tetangga pada datang ke sini,” tegur Mas Agung.
Tanganku memukul-mukul punggung Mas Agung yang tertutup oleh ransel. Sedangkan, kedua kakiku menendang-nendang udara kosong.
“Cintami kamu kesurupan?”
Ah ... calon imamku benar-benar polos sekali. Aku ini tengah salting malah dikatain kesurupan terlalu!
“Pak Ayang, aku ini lagi jatuh cinta bukannya kesurupan!”