Try me

2321 Words
Aku tidak nyaman, terus terang saja. Apalagi saat resepsionist hotel dimana aku hendak meninggalkan reservasi menatapku lekat-lekat. Aku melirik balik tepat kearah name tag yang terpasang di d**a kemejanya. Tobio, nama yang sangat singkat dan juga mudah untuk dapat kuingat. Pemuda itu terus menatap wajahku seolah aku adalah artis terkenal yang tersesat di tempat antah berantah lagi terpencil. Padahal aku hanyalah gadis biasa yang kebetulan menggunakan hotelnya sebagai tempat untuk beristirahat mala mini. Aku menoleh kebelakang. Adelia terlihat misuh sekaligus mengomel panjang lebar lantaran pria yang baru kami kenal tadi nampak setengah bernapas bersandar dibahunya enggan pergi dari sisinya. Terlihat kecanduan. Tapi jenis candu yang aneh tentu saja. Aku kemudian melirik kearh sosok pria yang menyebut namaku di mobil beberapa saat lalu. Dari ukuran tubuhnya aku bisa menebak bahwa mereka berdua kurasa berumur sebaya atau lebih tua setahun atau dua tahunan. Dia sendiri terlihat sibuk mengurusi temannya yang enggan menjauh dari sisi Adelia. Pemandangan yang sedikit tidak familiar dimana kenyataannya kami bahkan tidak saling mengenal satu sama lain. Hanya kondisi yang membuat kami secara kebetulan menjadi terikat. Meskipun masih menjadi misteri mengapa Dira mengetahui namaku saat aku tidak memberitahukannya soal itu. Hanya dalam hitungan detik, pada akhirnya aku sadar bahwa pria bernama Dira mendekat dan berdiri disampingku. Tatapannya masih sama, penuh teka-teki yang malas sekali untuk aku terka. Sesungguhnya aku paling benci memasukan diriku sendiri kedalam sebuah situasi yang akhirnya dapat menimbulkan masalah yang merepotkan. “Farell!” panggilnya. Pemuda yang dipanggil namanya itu lantas mulai beranjak dari situasi menang banyak miliknya. Tapi bukannya mendekat kearah Dira pria itu justru malah kembali mendekat kearah Adelia yang sama sekali tidak menyangkalnya. Sekali lagi pemuda itu bersandar di bahu sahabatku itu dan sukses membuat Adelia padam muka setengah jantungan. Adelia terlihat berupaya untuk menjauhkan dirinya dari si pemuda. “H-hei, menjauhlah… kubilang menjauh!” perintah Adelia. Farel terlihat tidak mengindahkan teriakan Adelia, dia malah makin erat dan enggan untuk menggeser posisi kepalanya. “S-sebentar lah dulu, kepalaku masih sakit,” tutur Farel. “Ya disini bukan hanya kepalamu yang sakit, tapi bahuku juga lama-lama sakit juga kalau kau terus menempel seperti benalu begini! Kau pikir aku inangmu apa?!” seru Adelia dan kali ini kekesalannya terlihat meningkat dua kali lipat. “Hei, Farell ayo menjauh dari dia,” kali ini Dira mendekati sahabatnya. Berusaha melepaskan Farell yang membuatnya berada dalam situasi memalukan secepat mungkin. Tapi tetap saja, pemuda itu sama sekali enggan menjauh dari Adelia. “Aroma mu seperti aromaterapi,” gumam Farell pelan. Kontan Adelia kaget bukan kepalang atas apa yang baru saja dia dengar dari mulut pemuda itu. sekali lagi dia bergumam dengan kedua mata yang tertutup. “Baumu enak, rasa strawberry yang manis,” Kali ini ucapan dari si playboy kelas kakap tersebut sukses membuat wajah Adelia bersemu merah. Adelia seperti orang yang kehabisan kata-kata. Ia melirik kearahku yang hanya bisa tak habis pikir atas situasi kami sekarang ini. tak mengira bahwa dalam situasi ini Adelia sampai perlu meminta bantuan padaku lewat sorot matanya “Dasar m***m!” celetukku agak keras membuat keheningan yang ada pecah belah. Dan kata-kata yang keluar dari mulutku tersebut sukses menyelamatkan bahu Adelia dari beban meskipun sedikit terlambat lantaran pemuda itu bersandar cukup lama dibahunya. Farell tidak lagi bersandar pada Adelia. Dia berdiri dalam kondisi shock parah dan menatapku yang juga menatapnya dengan tatapan tajam. Dia sudah kutandai sebagai orang kedua yang harus kuhindari sebisa mungkin. Berisik, tidak tahu malu. Ya, hal-hal yang terlalu bertolak belakang itu benar-benar paling kubenci diantara semua sifat manusia.   *** “Baiklah tuan dan nona sekalian, ini kunci kamar kalian.” Ujar Tobio setelah kami usai dengan urusan pribadi yang diselesaikan dengan dua kata maut dari mulutku. Disampingku Adelia masih mengeluh setelah kami tiba dikamar dan berbaring di ranjang yang kusut. Sebab beberapa saat yang lalu dia bergerak sedikit liar diatas sana, menendang kain seprei hingga bentuknya tidak lagi rapi seperti diawal. “Bagus, hari ini benar-benar menyebalkan! Liburan macam apa yang malah membuat suasana hati memburuk?” keluh Adelia jengkel. Sementara aku lebih memilih untuk merapikan barang bawaanku sendiri dan mendengarkan dia yang terus berkata-kata. Hal-hal seperti ini sudah terlalu biasa. Aku tidak heran karena dia adalah Adelia. Sosok yang selalu ramai, dan pemarah. Hari ini saja dia sedikit bisa bersabar menghadapi Farell biasanya Adelia tidak seperti ini. “Namanya juga dapat liburan dari lotre,” tuturku santai. “Ya, tapi gak gini juga lah. Herannya kenapa kamar dua bocah itu harus berhadapan dengan kamar kita? Aneh!” sekali lagi Adelia mengeluh. “Berdoa saja kita tidak bertemu dengan mereka,” “Ya semoga saja karena kalau sampai bertemu lagi. Aku yakin bakal meledak !” katanya sambil menutup wajahnya sendiri dengan bantal. “Gak mandi dulu?” “Gak. Malas,” “Tapi badanmu lengket loh Del,” “Bodo amatlah!”   *** Ketukan dipintu terdengar nyaring. Aku terperanjat saat sadar ketika mendengar suara yang menggema didepan sana. Tadinya aku ingin tidur, tapi mendapati situasi seperti ini apa boleh buat sepertinya aku harus sekali lagi memotong waktu istirahatku sekali lagi. Sial! Baru saja aku bermimpi indah, aku malah perlu dibangunkan dengan cara seperti ini aku melirik kearah Adelia, dia juga berada dalam kondisi yang sama. Dia selalu hebat, meskipun diluar terdengar bom yang meledak aku rasa dia akan tetap bergeming dan pulas sendirian. Tok. Tok. Tok. Kali ini diketuk lebih keras lagi, berkat suara itu aku memaksakan diriku untuk turun dari ranjang dan berjalan sedikit terseok kearah pintu. Ketika aku membuka lebar pintuku, aku menangkap sosok Tobio yang tersenyum didepanku. Tangannya menyodorkan dua buah gaun berwarna merah maroon dan juga biru laut. Sesuatu yang tidak kumengerti kini berkumpul dikepalaku? “Penginapan kami sedang mengadakan acara pesta ditepi pantai, setiap tamu yang menginap sudah berada ditempat. Dan ini code dress yang harus dikenakan bila anda sekalian berminat untuk ikut,” Belum pula aku bertanya untuk apa Tobio sudah lebih dulu menjelaskan semuanya padaku. Aku menghela napasku, ketika pria itu terus saja menyodorkan dua gaun yang ada ditanganya untuk aku sambut. Karena dia terus memaksa pada akhirnya aku hanya bisa menyerah dan menerima benda itu dari tangannya meskipun dengan ragu-ragu.   Suara pintu yang terbuka, kamar disebrangku menampakan dua pemuda yang keluar dari sana dengan dandanan super luxurious. Cukup untuk membuat rekan sejawat hingga senior kampusku menjerit lantaran mereka memang keren dan yang paling menarik seperti dua orang pemuda yang memiliki dompet tebal disaku mereka. Tobio segera membungkukan badannya lalu bergegas pergi tanpa mengucapkan apapun. kondisi ini sedikit membuatku jengah lantaran setiap pertemuan yang tidak sengaja ini seolah sudah diatur. Dan aku sangsi bahwa semua ini terjadi lantaran takdir. Apanya yang takdir? Aku malah makin curiga karena situasi kami yang terus-terusan dipertemukan begini. “Nona mulut pedas!” Aku tersadar atas lamunanku sendiri. Konsentrasiku buyar lantaran suara lantang yang kudengar dari sipemuda di sebrang. Aku sedang dikatai? Berani juga. “Kenapa?” “Lain kali jaga cara bicaramu dan jangan so arogan begitu. Kau pikir perkataanmu padaku bisa aku terima dengan lapang d**a?” katanya lagi. Aku memutar bola mataku sendiri. Bosan. “Aku tidak salah. Hanya orang m***m yang bisa berkata soal aroma tubuh oranglain tanpa malu. Kau pikir menempel pada seorang gadis yang tidak kau kenal itu hal yang wajar? Dimataku gerak gerikmu memang mesum.” Wajah pemuda itu langsung memerah. Aku menstik balik perkataannya dengan sangat sempurna. Dia tidak bisa mengelak karena apa yang aku katakan adalah sebuah kebenaran. Kurasa dia malu sendiri mendengarnya, meski aku tahu pemuda itu mau kembali membalas perkataanku. Aku berbalik dan bersiap menutup pintu kamarku sendiri karena kurasa tidak ada yang perlu dibahas lagi. “Reca!” panggilnya. Kali ini suaranya lebih berat daripada pemuda yang ada disebelahnya. Aku menoleh dan mendapati pria itu tersenyum kearahku. “Aku berharap kau ikut datang juga bersama kami,” Belum sempat Farell mengatakan sesuatu, Dira sudah lebih dulu menarik sahabatnya untuk menyingkir dan membiarkan aku berdiri dalam kekosongan untuk beberapa saat. Menjauh dariku secepat mungkin hingga tidak lagi terjangkau oleh pandanganku. Pesta? Siapa orang gila yang mau ikut pesta disaat tidur lebih menggoda? “Ada apa?” aku menghela napas lantaran sosok Adelia yang duduk diatas ranjang bertanya padaku. Matanya terlihat berbinar dengan gaun yang ada ditanganku. “Aku dapat pemberitahuan kalau pihak hotel katanya mengadakan pesta, dan tadi pegawai hotel membawakan gaun yang katanya adalah code dressnya,” “Serius? Dimana pestanya di adakan?” “kalau tidak salah tadi dia bilang ditepi pantai,” “Pasti asyik. Kita ikut!” ujar Adelia riang. Aku tahu bahwa pasti aku akan diseret ikut dalam situasi ini. dan akan kukatakan selamat tinggal tidur nyenyak. “Kau pakai yang maroon. Aku mau yang biru laut,” celetuknya lagi. Dan aku hanya bisa pasrah ketika melihat Adelia terlihat riang dengan gaun ditangannya. Senandung kecil terdengar dari mulut gadis itu. sepertinya dia memang sangat menantikan pestanya. Kurasa aku harus datang meskipun aku tidak begitu suka tempat yang ramai. *** Wanita itu sungguh membuatnya berada pada jenis perasaan yang aneh, bukan jenis terpana atau jatuh cinta hanya saja sebagai seorang pria entah mengapa dia merasa perlu menjaga jarak darinya. bagaimana pembawaannya terlalu menarik untuk dilewatkan. Dan justru itulah yang dia takutkan. Lama-lama justru malah kedua matanya tidak bisa lepas, atau bisa jadi dia menggeser posisi seorang wanita nomor satu dihatinya yang telah lama dia usahakan selama  ini. dan bahkan ketika dua gadis dari kamar sebrang datang layaknya seorang bintang pada pesta yang diadakan hotel ini, mata si gondrong masih setia menatap pada sosok yang bernama Reca. Berbeda dengan sahabatnya yang riang, gadis itu malah memilih menyendiri di sebuah meja yang letaknya berada di pojok ruangan. Penampilannya memang tidak dibuat se wah temannya, tapi justru karena pembawaan kalem dari dirinya membuat dia malah nampak lebih bersinar. Dia terlihat sangat anggun, kecantikan yang dibalut oleh sebuah elegansi khas wanita berkelas. Apa-apaan itu? kenapa arah pikirannya malah melantur kearah yang tidak semestinya? Bahkan tubuhnya bergerak sendiri menuju ketempat dimana gadis itu berdiam diri. Dan ketika itu terjadi mendadak manik hitam kelam milik si gadis tertumbuk padanya. Wajah cantiknya tidak menegaskan ekspresi apapun. “Sampai kapan kau akan mengawasiku?” cara bicaranya masih pedas seperti awal pertemuan mereka. Dira tahu bahwa dia sekali lagi telah melanggar batas yang semestinya tidak dia lewati. Dia bersyukur Farell tidak ada disekitarnya sekarang. Karena itulah setidaknya dia bisa menutupi lost control dirinya malam ini. “Kupikir kau tidak akan datang. Sebuah kejutan,” ujar Dira berbasa-basi. Dia mencoba untuk mengatasi perkataan si gadis yang terlalu to the point dalam hal ini. sejujurnya Dira kaget ketika gadis itu menyadari bahwa dirinya berada dalam pengawasan matanya. Pria itu lalu mengambil posisi duduk dihadapan Reca yang kini menatapnya dengan cara yang sedikit lebih berbeda. Mungkinkah gadis itu kini sedang menatapnya dengan cara tidak nyaman atas upaya pendekatan yang dia lakukan meskipun tidak diawali dengan niat? “Seingatku kita tidak punya hubungan yang membuatmu bisa sesantai itu untuk duduk disisiku,” ujar gadis itu lagi kali ini bahkan lebih tegas. Posisi ini seperti dia sedang memberikan ultimatum terhadap dirinya untuk menjaga jarak karena mereka berdua hanyalah orang asing. Dan statement dari Reca tidak sepenuhnya salah karena mereka memang baru mengenal kurang dari satu hari ini. “Kalau menurutmu aku ini asing mengapa kita tidak mulai dengan membuat sebuah hubungan yang wajar bagiku untuk bisa duduk disisimu?” Dira tahu bahwa dia tidak biasanya seperti ini. caranya bertutur sekarang lebih mirip Farell. Dan dia merutuki hal itu ketika deretan kalimat tersebut telah tersuarakan dan mengundang ekspresi jijik dari wanita di hadapannya. Mungkin pergerakan Dira sekarang sudah salah langkah. Buktinya gadis itu malah semakin menjaga jarak dengannya. “kau tidak ada bedanya dengan si pirang,” celetuk Reca sekali lagi. Dan itu jelas melukai hatinya. Wajah Dira pelan dipenuhi oleh merah. Dia tahu bahwa tindakannya sudah kelewat bodoh. “ada apa dengan suasana yang tegang dan dingin ini ?” tiba-tiba si pelayan hotel dengan name tag tertera Tobio mendekat kearah mereka. Sekali lagi Dira melihat lirikan maut dari Reca, dan si pegawai hotel itu hanya tersenyum kikuk menanggapi tatapan si gadis. “Bagaimana dengan segelas alcohol untuk mencairkan suasana?” tawar Tobio, mereka berdua menatap gelas yang diberikan oleh sang pegawai hotel. Lalu Tobio berlalu begitu saja. “Mau minum?” ujar Dira membunuh sunyi. Belum pula dijawab gelas yang beberapa saat lalu di sajikan diatas meja sudah diminum gadis itu. bahkan dalam sekali tegukan. Lalu beranjak dari tempat duduknya tanpa berkata sepatah katapun. “Kemana ?” “Apa hak mu bertanya ? apa kita punya hubungan teman atau semacamnya?” ujarnya sambil melangkah pergi. Sepertinya benar gadis itu berusaha membuat jarak yang jelas diantara mereka.   *** Sementara itu Adelia kembali ke kamarnya dalam kondisi mabuk berat. Dia langsung naik keatas Kasur dan melirik kearah bongkahan manusia yang tertutup selimut. Adelia tertawa sendiri. Lalu memeluk sosok itu. “Reca… kenapa kau meninggalkanku hm?” panggil Adelia, “Kenapa kau malah tidur—” Adelia terlihat kaget ketika sadar sosok yang sedang dia peluk bukanlah Reca. Itu Farell! Pemuda itu bangkit dan duduk dihadapannya. “L-loh kenapa kesini ?” tanya Farell. “Inikan kamarku! Yang aneh justru kenapa kau yang ada disini?” Adelia mendorong Farell menjauh namun yang terjadi justru pemuda itu menarik si gadis hingga tubuh mereka berdua terlampau dekat satu sama lain. Lalu detik berikutnya posisi Adelia sudah berada dibawah pemuda itu. dan disaat itulah dia mulai ketakutan. “K-kau mau apa?” “Ternyata kau cantik ya…” kemudian kalimat itu terombang-ambing begitu saja lantaran Farell menyosor pada bibir Adelia yang berada dibawah kendalinya. “Hei, kenapa kau menciumku?” ujar Adelia, dia sejujurnya masih shock tapi apa yang dia dapatkan dari pria itu benar-benar sebuah sensasi yang tidak bisa dia deskripsikan. Dia benar-benar jago untuk urusan ini. “Kenapa? Apa itu pertama kalinya untukmu?” “Enak saja! mungkin kau yang masih perjaka makanya ciumanmu rasanya payah!” “What? Mau menantangku? Oke baiklah kita lihat sejauh mana bibirmu itu bisa berkata hal-hal yang kejam. Aku akan membuatmu memohon padaku,” “Try me!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD