Bencana Bermula

1425 Words
“Jadi bagaimana dengan perjodohan anak kita ?” Anastasya berkata setelah menyeruput teh hangat miliknya. Wanita yang telah berusia hampir setengah abad itu menatap lawan bicaranya lekat-lekat. Pertemuan ini telah dirancang sejak beberapa minggu yang lalu. Dan tentu saja Anstasya tak ingin ada sedikitpun kesalahan. Dia ingin Adelia putrinya berjodoh dengan seorang pria dari kalangan atas sepertinya sehingga kekayaan mereka akan terus berkembang pesat dan tidak merosot. Dan Geandra, yang merupakan sosok ibunda sambung dari pada Dira tersenyum pada Anastasya yang terlihat sangat antusias dalam pembicaraan mereka. Meski bukan putra kandungnya sendiri, namun Geandra sudah sangat menyayangi Dira. Dia paling tahu jika putra tirinya itu mengalami sedikit kendala dalam hal romansa oleh sebab itu dia berpikir untuk melakukan hal ini. Suaminya sendiri pun sangat mengapresiasi rencananya sehingga terjadilah pertemuan ini. “Pertama aku ingin membuat anak kita bertemu dengan cara kebetulan.” Geandra sudah mengatur segalanya. Kerena dia tidak ingin Dira tahu jika dia berada dibalik segala hal yang akan terjadi nantinya. Dia tidak ingin disalahkan. Sebab tanpa stigma pun Dira memang sudah kurang respect padanya. Anak itu memang sudah berperangai kaku sejak kecil. “Soal liburan itu ya ? hmm.. aku rasa bagus. Adelia memiliki seorang teman, kurasa dia akan mengajak temannya.” “Begitukah ? kurasa Dira juga begitu. Dia memiliki teman yang menempel padanya seperti jamur. Tidak masalah yang penting semuanya berjalan baik.” “Apa ini akan berhasil ?” “Tenang saja, aku sudah menyuruh orang untuk mempersiapkan segalanya. Jika tidak dengan cara ini Dira pasti tidak akan mau aku jodohkan. Dia orang yang setia dan keras kepala. Selama Nancy masih ada, dia tidak akan bisa berpaling pada yang lain. Tapi Dira pria sejati. Dia tidak akan menolak bertanggung jawab.” “Sungguh, analisa anda sangat bagus Nyonya Geandra.” Geandra tersenyum sumringah. Berpikir jika segala hal yang dia lakukan akan berbuah manis untuk dirinya. *** Aruba, destinasi tidak biasa yang baru kali ini aku ketahui sebagai lokasi wisata. Selain karena baru pertama kali aku dengar namanya, aku begitu kurang informasi untuk hal-hal seperti ini. Disisiku Adelia merentangkan tangannya keudara. Dressnya yang bermotif bunga tersapu angin pantai. Begitu pula rambutnya. Dia terlihat cantik dan santai. Sementara aku hanya mengenakan celana pendek dengan t-shirt dan kemeja kotak-kotak sebagai outwear. Aku memang tidak terlalu fashionable aku Cuma berpikir untuk mengenakan pakaian yang nyaman dan membuatku percaya diri. Itu cukup. “Aruba.. hello iam here !” seru Adelia kegirangan. Untuk beberapa alasan aku heran. Mengapa orang kaya sepertinya terlihat lebih exiceted dibanding aku yang tidak punya apa-apa ini. Tapi berkat dia yang berada  disisiku aku merasa memiliki sebuah sumber semangat baru untuk menjalani hari. Aku berterimakasih sekali pada Adelia. “Kurasa kita harus segera kepenginapan. Badanku sakit semua.” Aku tidak bergurau untuk yang ini. ini adalah perjalanan yang paling  jauh yang pernah aku lakukan. Dan tanpa mengeluarkan sepeserpun uang dari saku ku. Karena undian aneh yang dimenangkan oleh Adelia, seluruh akomodasi semua telah ditanggung oleh perusahaan. Meski janggal aku merasa tidak perlu memikirkan rezeki yang aku terima. Cukup disyukuri dan aku pergunakan dengan baik. “Itu jemputan kita !” seruku langsung ketika ada mobil yang terparkir di depan bandara flat nomornya sama seperti yang tercantum dalam petunjuk, sementara kulirik kebelakang Adelia sedang bersusah payah dengan bawaannya. “Come on !” seruku dengan menggerakan kepala sebagai gesture untuk mempercepat langkahnya. “Wait suruh mobilnya nya menunggu !” seru Adelia tergopoh dengan barang bawaannya yang terdiri dari dua koper dan satu ransel. Aku memutar bola mataku, lalu berjalan menghampirinya. “Hah~ apa perlu barang bawaanmu sebanyak ini ? kita kan bukan mau pindah rumah.” Kataku sambil menarik salah satu kopernya. Adelia hanya memberiku cengirannya. “Hehe.. aku Cuma membawa barang yang aku perlukan.” Aku memasukan seluruh barang Adelia kedalam bagasi. “Okay.. dan barang itu hampir terdiri dari setengah isi kamarmu.” Kataku menyindirnya. Setelah tiba didepan mobilnya aku membukakan pintu baginya, lagi-lagi Adelia memberikanku senyumannya. “Manner yang bagus, sepertinya jika kau lelaki aku bersedia mengencanimu.” “Tapi jika aku pria kurasa aku akan mengencani wanita yang super simple.” Kataku lalu menutup pintu mobil dan duduk didepan tanpa menoleh. Aku lebih memilih menyibukan diri memasang earphone ditelingaku. “Jalan !” kataku datar. Sedangkan si supir taksi terlihat kaku bahkan tidak menjalankan mesinnya sama sekali. Kali ini aku terpaksa melirik pria yang duduk dikursi kemudi. “Siapa kau ?” tanya si pengemudi dengan dingin. Matanya menyalak dengan cara yang tajam kearahku. Tanpa merasa terintimidasi aku justru menatapnya balik dengan cara yang sama. “pelanggan anda tuan. Makanya jalankan mesinnya !” kataku, sementara itu dijok belakang ada seseorang yang membuka pintu dengan seenaknya. “Aku kembali— loh ? ada apa ini ? Dira siapa mereka ?” Si pirang membuka pintu kedua  yang telah terisi Adelia. Suasana canggung tiba-tiba menghampiri kami semua. Aku yang tak kenal mereka, begitupula mereka yang tak mengenal kami. “Mereka tiba-tiba masuk ke mobil ini.” “Tiba-tiba masuk ? ini mobil akomodasi kami untuk liburan.” Aku membelalakan mataku sementara Adelia tampil menjelaskan situasi sambil memperlihatkan tiket yang dia miliki berikut brosur yang sudah aku satukan dengan paperclip sebagai bukti. “Maksudmu mobilku adalah akomodasi kalian untuk liburan ? kalian ini penipu ?!” si pirang berseru lagi. Kali ini dia menatap kearah Adelia dengan tidak suka, sementara aku dan si supir masih diam satu sama lain. “Oy, bisa gunakan matamu ? kau tidak lihat tulisan dibrosur ini ?” “Darimana kau dapat ini ?” “Aku dapat undian !” cekcok tak bisa dihindarkan baik dia maupun Adelia tidak berhenti untuk berdebat satu sama lain. “Reca bantu aku menjelaskannya pada si cerewet ini !” Adelia menatapku dengan intens. Aku bisa tahu jika dia meminta bantuanku untuk berargumentasi. Aku menghela napasku. “Kemana tujuan kalian ?” Tiba-tiba si supir menyela. Aku melirik kearahnya sebentar. Lantas menimbang apa yang mungkin dia katakan. “Oy Dira !” laki-laki berisik dikursi belakang sepertinya tidak terima dengan pertanyaan Dira. Gara-gara si cerewet aku jadi tahu namanya. “Penginapan.” Jawabku cepat. Tak memberi waktu bagi si pria cerewet untuk mengulur waktu. Aku lelah dan ingin istirahat. Perjalanan jauh memang sangat tidak cocok denganku. “Tujuan kita sama, sebaiknya kita langsung jalan saja.” “Aku setuju.” Seruku lagi lalu kembali memasang earphone ditelingaku. Aku sedang malas berdebat. dan jalan terbaik untuk ini adalah keluar diam. Sejatinya aku tidak keberatan untuk keluar. Tapi karena aku menghargai Adelia, aku tidak melakukan tindakan apapun untuk mempermalukan dia. Ini pemecahan masalah yang bagus. Meskipun kesan pertamaku padanya tidak berubah. Dia pria yang sedikit menyebalkan. Perjalanan rupanya tidak singkat. Kursi belakang sudah tidak diwarnai adu mulut. Aku melirik dan melihat jika si pirang sudah tidur. Begitu pula dengan Adelia. Gadis itu dengan santainya bersandar dibahu pria yang dia teriaki sedari tadi. Pemandangan yang lucu. “Dia temanmu ?” aku melirik kearah pria yang duduk disisiku. Meski bertanya, matanya fokus pada setir dan jalanan. “Setidaknya katakan sesuatu agar aku tidak mengantuk.” Katanya lagi. Aku sendiri sedikit kebingungan. Aku bukan orang yang pandai bicara banyak seperti Adelia. Lagipula aku merasa tidak nyaman padanya sejak awal. Tatapan dinginnya padaku benar-benar pemandangan yang tidak bisa aku lupakan. “Kita tidak memiliki hubungan yang dekat sampai aku harus membicarakan sesuatu denganmu.” Kataku singkat dan acuh. Bagiku mendengarkan musik lebih baik dua kali lipat daripada harus membuka mulut dan bicara basa basi. “Hmm.. angkuh !” katanya yang kini membuatku atensiku sepenuhnya teralih padanya. Apa pilihan yang salah bagiku untuk menyetujui rencana liburan ini ? “Aku tidak meminta pendapatmu.” “Hak ku untuk bicara.” “Hak ku untuk tidak mau mendengarnya dari mulutmu.” “Bisakah kau sedikit melembutkan nada suaramu ?” “Aku tidak berniat melakukan hal itu untukmu.” Hening seketika, namun dari ekor mataku aku bisa melihat jika pria itu tersenyum walau sangat tipis. Hampir tidak terlihat. “Namamu ?” aku menutup mulutku rapat-rapat. Sialan untuk apa aku menanyakan soal itu pada pria ini ? untuk pertama kalinya dia melihat kearahku secara penuh. Laki-laki itu lalu menyeringai. “Untuk ?” sudah kuduga dia akan seangkuh itu. Dia pasti berpikir jika dia telah menang. Terlihat jelas dari seringainya yang menyebalkan. “Lupakan.” “Dira.” Katanya singkat. Aku kembali menoleh kearah kiri. Menatap pemandangan malam lebih bagus ketimbang memandangi dirinya. “Salam kenal Reca.” Katanya dan kali ini aku menatapnya lagi. Serius ? dia tahu namaku ? aku bahkan tidak sekalipun mengatakan padanya. Dan saat itulah kami bertatapan.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD