Seesaw

2372 Words
Mataku terbuka saat rasanya ada gerakan kecil disampingku. Aku berbalik untuk memastikan kondisi Adelia, yang mungkin untuk pertama kalinya sejak persahabatan kami dia bangun lebih dahulu daripada aku. "Adelia tumben kau bangun lebih pagi dari a-" "Siapa?" suara berat itu jelas sekali bukan Adelia. Mana bisa Adelia mengubah suaranya hanya dalam semalam. Aku bahkan sampai perlu mengucek kedua mataku agar aku yakin bahwa ini bukanlah sebuah mimpi buruk yang datang menghinggapi. "Kenapa kau ada disini?" ujarku setelah mengontrol ekspresi wajahku hingga titik normal. Aku ingin terlihat seperti tidak terjadi apa-apa diantara kami meskipun kondisinya tidak meyakinkan untuk itu. Pakaian dalam dan juga bra milikku bercecer dilantai dan tubuhku sekarang benar-benar berada dalam kondisi polos tanpa sehelai benang pun. Aku tidak bodoh untuk mengetahui apa yang terjadi dari bukti-bukti yang ada dikamar ini. Namun yang menjadikannya misteri adalah bagaimana bisa aku tidak ingat apapun semalam? "Kurasa kau mengerti situasi yang terjadi. Aku merasa waswas untuk menceritakan apa yang terjadi tadinya," sesungguhnya didalam diriku ini, aku berusaha keras untuk tidak terlihat gugup, melawan debar jantungku yang menggila disana. Pria ini pun nampaknya paham bila aku berusaha menyembunyikan rasaku sendiri. Karena itu sebagai gantinya dia menghela napasnya. "Hanya ada satu hal yang sinkron untuk situasi kita pagi ini. Aku mencurigaimu telah melakukan hal-hal tidak senonoh padaku saat aku berada dalam kondisi tidak sadar," itu adalah apa yang bisa aku tarik sebagai kesimpulan. Sebab bila aku melakukannya dengan atas kebutuhan paling tidak mungkin aku akan ingat sebagian daripada ingatan yang terjadi diantara kami semalam. Namun sejauh apapun aku mencoba mengingatnya aku benar-benar tidak ingat apapun. "Kau tahu jawabannya," jelas pria itu. Pria itu mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ikut frustasi atas situasi yang mendera kami saat ini. "Lalu bagaimana dengan cincin ini?" aku memperlihatkan sesuatu yang mengganjal pada jari manisku. Pria itu ikut melirik jari manisnya sendiri. Kami berdua mengenakan cincin yang sama. "Apa kau bisa menjelaskan hal ini ?" "Sial! untuk yang satu itu aku tidak tahu," berikutnya terdengar suara gaduh dikamar sebrang dibumbui pula oleh teriakan Adelia sebagai pemeriah suasana. Tak lama dia mendobrak pintu kamar kami yang sepertinya bertukar penghuni tanpa kami sadari. "Recaaaaa...Oh... My God, my best friend my lovely dovey." dia terkejut mendapati kondisiku. "Apa yang coba kau lakukan pada sahabatku yang suci hah?" kelakar Adelia membuat suasana hening yang ada didalam kamar ini berbuntut panas. Dari balik pintu yang terbuka lebar aku juga melihat si pirang mengintip. Berkomat-kamit. "Calm down Adelia, coba kau lihat jari manismu." ujarku membuat gadis itu berhenti bicara sesaat lalu melirik kearah jemarinya sendiri. Ketika mendapati sesuatu yang asing dan bukan merupakan bagian dari miliknya. Dia menunjukan kelima jarinya didepanku, lalu menunjuk salah satu jarinya yang tersemat jari manis. "Ini apa?" "Apa pria dibelakang sana juga mengenakan hal yang sama?" atensi kami terarah sepenuhnya pada Farell yang langsung menunjukan jari manisnya yang juga tersemat cincin yang sepasang dengan milik Adelia.  "Ja-jangan bilang kalau kita..." kali ini wajah Adelia pucat pasi. Nampak shock.  "Ya," kata Dira singkat.  "Kita berempat sepertinya dijebak oleh sebuah skenario, lalu menikah tanpa kita ketahui bagaimana." ujarku berusaha untuk setenang mungkin.    ***   Kata-kataku sepertinya membuat separuh jiwa Adelia melayang entah kemana. Mungkin saja bergaung sepanjang hari, kalau untuk sesuatu semacam bermalam bersama, dan kawan kawannya Adelia mungkin bisa tenang sebab itu bukanlah perkara yang aneh bagi hidup perempuan itu. Hanya saja perihal menikah itu berbeda. Ada komitmen yang tersemat serius disana dan hal itu tentu saja membuat seluruh mimpi dimasa mudanya pupus hanya dalam semalam. Dia melangkah mendekati diriku, masih ada tetes air diseluruh tubuhnya. Berbeda denganku yang masih betah memandangi cincin di tanganku. Gadis itu terlihat lesu. Ia lalu melirik ke arah jari manisnya pula, mengikuti apa yang aku lakukan.  "Reca, bisa tidak kau hibur aku dan bilang kalau semua ini hanya mimpi belaka? atau paling tidak ceritakan kronologis yang mungkin hingga kisah kita jadi seperti ini?" "Kalau aku tahu, aku juga tidak akan bingung," Ini adalah sebuah kejujuran dariku. Tidak ada yang perlu aku tutupi dari Adelia.  "Paling tidak bilang ini cuma lelucon april mop, ayolah katakan sesuatu!" rengeknya lagi. Aku meringis miris. Mana mungkin semua ini hanyalah sebuah lelucon?  "Itu juga harapanku tapi kenyataannya tidak begitu. Daripada mencoba untuk lari dari kenyataan kenapa tidak tenangkan diri dan coba pikirkan pelan-pelan." Lalu pada akhirnya kami berdua melepas napas panjang bersamaan. Adelia lalu merapikan rambut panjangnya dan menggulung rambutnya dengan handuk. "Apa mungkin kalau ini cuma sandiwara belaka?" Aku menoleh, berpikir sebentar lalu menggelengkan kepalaku malas. Tidak biasanya imajinasi Adelia naik setajam ini.  "Kalau sandiwara paling tidak bisa kau jelaskan noda merah di seprai ini?" sudah jelas. Adelia tercekat. Dia lalu memelukku sangat erat.  "Huh... my beloved... padahal seharusnya kau yang paling hancur sekarang. Tapi bisa-bisanya kau setenang ini? aku tidak mengerti? bagaimana bisa kau menjelaskan soal ini pada pacarmu juga. Oh Tuhan... ini pasti pengalaman terburuk untukmu," "Ya, tidak ada yang aku ingat. Apa yang tersisa hanyalah lututku yang lemas dengan pinggulku yang kesakitan." Itu benar sejauh ini tidak ada nikmat duniwai yang digadang-gadang semua orang dalam pengalaman pertama mereka. Yang membuatku hancur adalah aku merasa tubuhku kotor sekarang. Bagaimanpun aku sama sekali tidak pernah bermimpi untuk melepaskan pertahananku dengan cara seperti ini.  Tapi yang terjadi Adelia malah terkikik dan memasang ekspresi wajah nakalnya yang biasa dia pasang bila sedang antusias membahas hal-hal berbau seksualitas. Senyum khas miliknya untuk perkara macam ini benar-benar membuatku merinding bukan kepalang.  "Tapi kau tahu, gara-gara apa yang kau bilang barusan aku malah jadi penasaran sehebat apa si pria dingin itu di ranjang sampai kau mengeluhkan mengenai rasa sakit ditubuhmu,"  "Hei, ada batasan untuk sebuah pertanyaan! bisa-bisanya kau malah menanyakan hal semacam itu padaku,"  "Maafkan aku, tapi aku jadi penasaran gara-gara kamu sendiri,"  dia menghela napas panjang lalu menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal karena baru saja dicuci. "Aku memang selalu berharap punya pasangan yang sempurna untuk mengisi hari-hariku. Tapi siapa sangka Tuhan malah mengirim seorang suami?" lanjutnya.  "Yang aku khawatirkan justru adalah tanggapan orangtua kita," aku mencoba untuk realistis dalam menyikapi hal ini.  "Kalau Papaku sih kurasa akan senang bukan main. Apalagi Mama, dia adalah orang yang paling menggebu-gebu dalam soal seperti ini," "Ya, mungkin itu hanya berlaku untukmu. Tapi tidak dengan keluargaku. Sepertinya kita harus keluar sekarang dan membicarakan ini dengan serius dengan kedua pihak. Ada hal yang perlu diperjelas disini. Dan aku butuh pertanggung jawaban juga," "Wow... sudah kuduga Reca memang perempuan yang superior," Tidak. Adelia salah, aku bukanlah perempuan superior. Aku disini hanya mencoba untuk tidak memperumit masalah yang ada dengan berusaha sebisaku untuk tetap terkendali dengan seluruh logikaku yang tersisa. *** Cafetaria yang disediakan oleh hotel bintang lima memang bukan jenis cafetaria murahan. Seluruh pilihan makanan yang ditawarkan sangat banyak dan juga semuanya disesuaikan dengan lidah kebanyakan dari tamu mereka. Makanan yang tersaji adalah makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang terbaik dengan kualitas nomor wahid. Aroma menggugah yang menguar dari sajiannya pun tidak kalah memanggil para tamu untuk mencicipi. Tapi semua hal baik itu tidak sepenuhnya dapat diterima oleh beberapa orang. Tengok sebentar kearah meja ujung di cafetaria dimana dua orang pemuda yang duduk berhadapan berekspresi. Tampang keren, tampan, dan aroma khas dari maskulinitas dari mereka sejujurnya menyimpan benang kusut dari dalam kepala mereka. Terlebih si pirang yang tak henti mengacak rambutnya sendiri. Dia adalah salah satu dari pemikir ulung soal wanita. Menikah adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan dalam hidupnya. Maka setelah bangun pagi hari ini dan mendapati dirinya telah terikat dengan seorang wanita dunianya runtuh. Menurut kepalanya yang jarang dipakai untuk berpikir selain daripada wanita tidak seharusnya pria semuran dirinya menikah muda. Dia mempelajari hal itu berkaca dari om om nya yang masih melajang meski usia mereka semua sudah cukup matang untuk itu. Gonta ganti perempuan adalah seperti sebuah kehormatan dari adat keluarganya secara turun temurun dan dia tidak mengira bahwa dialah yang akan menjadi penghancur dari adat istiadat itu. Menikah dalam kondisi tidak sadar? Yang benar saja. masa mudanya kandas. Gara-gara perempuan kamar sebelah menggodanya malam itu, dia malah kebablasan dan tidak mengingat apapun. salahkan pula minuman alcohol yang dia seruput semalam. Sampai membuat dirinya gila hingga titik tidak tertolong. Sepertinya dia perlu menyalahkan pelayan di pesta semalam karena memberinya minuman sialan yang meningkatkan gairahnya. Tapi belum pula idenya terlaksana dia justru mendapatkan teguran yang cukup memalukan disaksikan pegawai hotel lainnya yang mencemooh dirinya sebab terlalu berisik dan liar saat sedang berada di medan tempur. Beberapa pegawai wanita bahkan enggan melirik padanya. Imagenya benar-benar hancur sekarang. Dan disinilah dia sekarang menemani Dira yang tidak melakukan apapun selain duduk dengan secangkir kopi ditangan saat dirinya mencoba untuk menyelesaikan masalahnya. “Hei,” panggil Farell setelah cukup merasakan seluruh tekanan dan depresi. Setelah pria itu menyelesaikan segala macam hal dikepalanya. Dira menoleh sesaat padanya dengan pandangan malas. Menilik ekspresi sahabatnya pagi ini dia bisa menilai bahwa Dira juga kurang tidur. Lihat saja kantong mata hitam di bawah matanya. Sebenarnya segila apa pria ini semalam ? “Kau betulan tidak ingat apa-apa? Paling tidak sesuatu yang penting karena aku tahu kau selalu waspada dalam beberapa kesempatan tergenting sekalipun waktu dikampus,” ujar Farell. Dira menggelengkan kepalanya. Sepertinya benar-benar tidak ada harapan. “Damn it!” umpat Farell kesal. Giginya bergemeletuk lantaran terlalu marah dengan situasi yang ada dan kondisinya yang tidak bisa berbuat apa-apa. “Rugi sekali aku tidak ingat rasanya. Prosesnya paling tidak.” sambung Farell yang sepertinya menyesali sesuatu yang tidak begitu Dira tertarik untuk mengetahui lebih jauh soal urusan pribadi pria itu. meskipun Dira sudah kerap kali diceritakan soal rasa, Teknik, dan hal-hal lainnya. “Sudahlah, yang sudah berlalu tidak bisa dikembalikan lagi,” “Hah~ jangan mengatakan hal yang sudah pasti begitu. Tapi aku yakin nasibmu lebih baik dariku. Maksudku pasanganmu adalah si dingin. Tipikal perempuan seperti itu biasanya selalu menggairahkan diatas ranjang. Sedangkan pasanganku, kau tahu dia sangat berisik dan juga… j*****m,” Suara Farell makin mengecil ketika dia menuangkan seluruh hal yang memang ingin dia katakan padanya. Dira rasa pria itu sedang mencoba untuk tidak membuat keributan yang tidak perlu dengan pembicaraan yang tidak sepantasnya dibicarakan didepan umum. Dira agak bersyukur setidaknya otaku dang sahabatnya tidak sekonslet dulu. Dia bisa lebih menilai situasi dengan baik. “j*****m?” tapi pengakuan kecil yang dilontarkan oleh Farell sedikit banyak membuatnya cukup tertarik juga. “Ya, aku baru menyadarinya saat air mengguyur tubuhku. punggungku rasanya perih semua. Akan kuperlihatkan bekas cakar yang mirip kucing liar itu dipunggungku kalau kita ke kamar nanti,” ujarnya sambil menggapai punggungnya dengan tangannya yang bebas. Kali ini ekspresi Dira berubah. Pria itu mati-matian menahan tawa, berjuang cukup keras untuk tidak terhibur atas kata-kata polos yang diucapkan oleh si playboy kelas kakap atas pengalaman tidurnya dengan perempuan yang sepertinya mendominasi Farell diatas tempat tidur. Sebenarnya Dira sampai ingin menangis karena sakit perut karena tingkah polah Farell yang nampak naif dimatanya. Srettt.. suara kursi ditarik dan kontan kedua pria itu terperangah atas kedatangan para betina dalam lingkar konversasi mereka. Wajah kedua perempuan itu terlihat berbeda, yang satu kesal bukan kepalang tapi yang satu lagi nampak tenang dan terkendali. Dira menatap sosok yang menjadi pasangan ranjangnya semalam. Ketenangan luar biasa perempuan itu tanpa sadar membuat dirinya tertarik. “Asal kau tahu cakaran itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang kau ambil dariku!” seloroh si gadis yang menjadi teman main Farell. Perempuan itu sangat ekspresif, ada banyak emosi yang tertanam dalam perempuan itu. Lalu duduk disamping Farell dengan tangan terlipat didada dan kedua kaki disilangkan. Sementara sahabatnya duduk disamping Dira. Dengan cara yang berkelas dan elegan tentu saja. “Bagian mana yang tidak sebanding? Kau pikir aku suka hah? ingat rasanya saja tidak!” balas Farell. “Dasar sinting! Disaat genting begini kau masih memikirkan soal rasanya?! Semesum apa sebenarnya dirimu itu?” “Perempuan gila! Kau sendiri yang masuk ke kamarku kenapa kau justru menyalahkan aku? Biarpun kau tidak ingat tapi bukti jelasnya ada ditubuhku. Kau itu pihak yang paling menikmatinya!” “Hah?” “Memangnya kau pikir bekas cakaranmu dipunggungku itu tidak perih? Dasar barbar! Sudah jelas kau mencakarku karena ada kau menikmatinya kan?” balas Farell, berkat ujaran dari Farell kini Adelia tidak berkutik. Dia melirik kearah Reca yang masih menjadi pemerhati dan tidak memasuki ranah percakapan pribadi diantara mereka berdua. Dia juga melirik kearah Dira yang hanya menutupi mulutnya dengan tangan sambil melirik kearah yang berlawanan. Sia-sia tidak ada yang bisa dimintai bantuan. Dia lalu melirik Farell dan mendapati cengiran dari pemuda itu. dia seperti telah memenangkan sebuah penghargaan nobel. Padahal apa yang Farell lakukan hanyalah mendebat dirinya saja.   “Pertengkaran yang mirip seperti suami istri, meskipun topik pembicaraan kalian sangat tidak pantas untuk diteriakan dimuka umum,” ujar Dira akhirnya buka suara. Kali ini dia terlihat tertawa lepas menonton seluruh adegan didepan mukanya. Dan terus terang dia merasa terhibur atas ulah sahabatnya dengan si perempuan ekspresif. “Aku tidak mengira bahwa dirimu yang sejati adalah tipikal perempuan segahar itu diatas ranjang, padahal seluruh cerita yang kudengar darimu tidak begitu. Cuma dusta hm?” sindir Reca mengimbuh pernyataan Dira. Tangannya dengan tenang meraih cangkir kopi yang ada diatas meja lalu menyeruputnya tanpa rasa bersalah apalagi permisi pada pemiliknya yang hanya melirik tanpa mengatakan apapun. Seperti biasa kata-kata singkat dari Reca berefek besar. Tidak hanya pada Adelia, tapi menular pula pada Farell yang kini kepalanya dipenuhi oleh adegan dewasa yang berdasarkan fantasinya semata. “W-woy! Siapa yang bilang kau bisa berkata seperti itu semaumu?!” ancam Adelia. Suaranya terdengar  goyah saat berteriak mungkin karena gugup. Sementara Dira menertawai dirinya. Dianggap seperti badut oleh pria asing tentu saja melukai harga dirinya. Maka tatapan tajam langsung terarah pada Dira di detik selanjutnya. “Heh kau pikir berhak tertawa saat kau sendiri memiliki kecenderungan yang sama? tampang so cool tapi aslinya kau juga membuat leher Reca terlihat seperti itu?” Ujar Adelia lagi. Berkat perkataan Adelia seluruh atensi kini mengarah pada leher Reca. Ujaran Adelia adalah sebuah fakta, ada banyak bekas kissmark disana. Jelas sekali. Kali ini giliran pasangan super dingin yang berubah warna. Mereka membantu lantaran tuduhan yang dilontarkan tidak bisa didebat. “Apa ini? Namamu Adel kan? Hebat sekali kau membuat wajah Dira berubah panik begitu!” tawa Farell meledak. Dia merasa puas karena menonton secara live perubahan ekspresi sahabatnya yang biasa minim. “Kau benar-benar gahar ya Dira? Kau terlalu takut istrimu diambil orang sampai menandainya sebanyak itu. Aku yakin kau juga membuatnya ditempat lain selain disana,”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD