Akhirnya wanita itu kini resmi menjadi istriku. Malam harinya setelah selesai acara resepsi pernikahan kami. Aku berkumpul di ruang televisi bersama anggota keluarga baruku. Banyak candaan yang kami lontarkan.
Seolah tak ingin menyia-nyiakan moment yang sangat langka ini, Lia memanfaatkannya dengan bermain dan bercanda bersama keponakan-keponakannya. Mereka nampak bahagia saat bermain bersama.
"Do'akan tante ya semoga bisa secepatnya punya dedek bayi biar kalian nanti bisa main bareng kalau main ke sini" ucap Lia penuh harap.
"Iya tante" jawab keponakannya kompak sambil memainkan mainan mereka.
Setelah menikah kami memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya Lia, karena ibu dan bapak tidak ada yang menemani di sini kasihan kalau harus ditinggal. Lagi pula sebelum menikah Lia pernah berkata kepadaku bahwa setelah nikah nanti dia ingin tetap merawat dan membantu kedua orang tuanya. Aku pun tidak merasa keberatan dengan keputusannya.
"Kalian kalau cape istirahat saja di kamar. Kami juga sebentar lagi sudah mau istirahat" ucap ibu seolah memberi waktu untuk kami berdua.
"Iya bu kami ke kamar dulu ya mau istirahat" jawab Lia. "Keponakanku yang baik, tante pamit ke kamar dulu ya mau istirahat" pamitnya kepada keponakannya sambil melangkahkan kaki menuju kamar. Aku pun ikut pamit dan membuntutinya dari belakang.
"Dek kamu masuk kamar duluan saja ya Mas mau ke dapur dulu ambil minum" ucapku kepada Lia.
"Iya Mas" Lia pun langsung bergegas menuju kamar. Sepertinya dia kelelahan dan ingin segera membaringkan tubuhnya.
Setelah mengambil air minum aku langsung menyusul Lia ke kamar. Saat membuka pintu, yang ku lihat pertama kali adalah dirinya yang tengah membaringkan tubuhnya di tempat tidur sembari memainkan gawai.
Melihatku datang, wanita yang baru ku nikahi itu lekas membangunkan tubuhnya dan menyimpan gawainya. Aku lekas menutup pintu dan menguncinya kemudian aku meletakan gelas di meja.
Kini kami duduk berhadapan di ranjang dalam situasi yang sudah halal. Ada rasa canggung yang ku lihat dari raut wajah Lia. Telapak tangan ini membelai puncak kepalanya yang masih tertutup jilbab.
"Terimakasih ya kamu sudah memilihku menjadi istrimu dan terimakasih juga sudah mau menerimaku dengan segala kekuranganku" ucapnya sambil membelai d**a bidangku.
"Iya sama-sama. Terimakasih juga sudah memberikan kesempatan padaku untuk menjadi imammu. Semoga kita bisa membina rumah tangga ini dengan rukun dan penuh keharmonisan" jawabku sambil mengusap kepalanya.
Lia menatapku sayu. Kini jarak wajah kami hanya tinggal beberapa senti saja. Embusan nafas kami pun saling beradu. Belaian tanganku berpindah ke pipinya. Sejenak kami menikmati rasa yang membuncah dalam d**a.
"Kamu sekarang sudah halal menjadi milikku. Aku ingin melihatmu membuka jilbab. Bukalah jilbabmu" pintaku seraya membelai pipinya yang sedikit tembem. Dia pun menuruti perintahku dan membuka jilbabnya.
Sungguh cantik istriku ini dengan kulit putih dan rambut panjang yang terurai. Lantas aku belai rambut hitamnya dan membaringkannya.
"Aku punya kado untukmu" bisikku dan kemudian bangun untuk mengambil kado yang ku simpan di dalam tasku.
"Ini buat kamu. Bukalah dan pakailah"
Sontak Lia membangunkan tubuhnya yang sudah terbaring di ranjang dan menerima uluran tanganku. Kemudian dia segera membuka kado yang ku berikan.
Seketika benda itu terlempar dan tepat mengenai wajahku yang sedang duduk berhadapan dengannya. Dia sepertinya geli sendiri memegangnya. Maklum saja mungkin ini kali pertama dia melihat benda itu. Iya sebuah lingerie berwarna coklat.
"Kenapa kok dilempar ? Gak suka ya ?" Tanyaku
"Tidak Mas. Aku hanya sedikit geli saja melihat benda itu karena seumur hidup aku belum pernah memiliki benda seperti itu apalagi menggunakannya" jawabnya sambil sedikit tertawa.
Tak ku sangka dia mengambil kembali lingerie yang tadi dia lempar. Aku kira dia bakalan menolak menggunakannya. Tetapi ternyata dia malah menggunakannya dan menggodaku.
"Baiklah kalau itu maumu. Demi baktiku kepada pria yang baru saja menjadi suamiku, malam ini aku akan menjadi wanita nakal" ucapnya menggodaku.
Dengan perasaan sungkan dia meraih baju minim bahan itu lalu mematikan lampu dan segera memakaikannya.
"Dek kok kamu diam saja. Bajunya sudah kamu pakai belum ?" Tanyaku penasaran.
"U..uudah Mas" jawabnya gugup seperti orang yang tengah kebingungan.
Dalam keadaan kebingungan aku langsung menariknya. Dan kini, tubuh kami benar-benar terbaring di atas ranjang yang sama.
Sebuah lampu tidur menyala dengan cahaya remang-remang. Hujanpun turun menambah kesyahduan malam ini. Wajah yang hanya berjarak beberapa senti, kini semakin mengarah dekat kepadanya. Lengan kekarku memeluk tubuh Lia dengan erat. Kini aku menjadi suami dari Elia Raharja seutuhnya.
Malam semakin larut, dan kami semakin hanyut dalam indahnya malam pengantin baru.
***
Pagi buta aku terbangun dalam suasana yang berbeda. Saat membuka mata, ku dapati sebuah tangan yang melingkar di tubuhku. Sesosok lelaki terbaring lelah disampingku. Betapa malunya aku saat mengingat kejadian semalam.
Aku segera bangkit, sebelum Mas Wawan terbangun. Lalu dengan sangat hati-hati aku turun dari kasur untuk mengambil pakaianku dan mengganti baju minim bahan itu dengan pakaian yang semalam aku gunakan.
'Kenapa semalam aku bisa hilang kendali dalam keremangan cahaya lampu tidur ? Apa aku kesurupan jin pengantin baru ? Entahlah aku juga gak tahu' gumamku.
Aku langsung bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat selesai mandi ku dapati Mas Wawan masih terlelap tidur. Lantas ku bangunkan dia untuk segera membersihkan dirinya karena waktu sudah hampir subuh.
"Mas bangun. Sudah mau subuh. Kamu mandi gih !" ucapku dengan menepuk punggungnya.
Dengan mata yang masih mengantuk Mas Wawan pun bergegas untuk mandi. Dan setelahnya kami melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Pagi harinya aku dan ibu juga dibantu kakak-kakakku menyiapkan sarapan. Hari ini ke tiga kakakku beserta anak dan suaminya mau kembali lagi ke kota.
"Bu kami mau berangkat sekitar jam tujuh pagi supaya tidak terlalu siang sampai rumahnya" ucap Mbak Lusi.
Rumah Mbak Lusi memang terbilang cukup jauh dibandingkan dengan rumah Mbak Lala dan Mbak Lina. Jarak tempuh untuk menuju rumah Mbak Lusi hampir menghabiskan waktu tiga jam. Sementara untuk menuju rumah Mbak Lala dan Mbak Lina cukup menempuh waktu satu jam saja.
"Ibu sudah menyiapkan makanan untuk bekal nanti dijalan. Kalian jangan lupa membawanya ya. Masing-masing sudah ibu siapkan satu kantong plastik dan satu dus makanan" jawab ibuku sambil menunjuk ke arah bingkisan yang telah disiapkannya.
"Iya bu" jawab ketiga kakakku serentak.
Kemudian kami sarapan bersama dan setelahnya ketiga kakakku langsung pamit.
***
Setelah ketiga kakakku berangkat, ibu dan bapak pergi ke kebun untuk panen karena ada beberapa tanaman pisang yang sudah cukup untuk dipanen. Sementara aku dan Mas Wawan memilih untuk tidak ikut dan tinggal di rumah.
Untuk urusan beres-beres rumah, ibu menyuruh Mbak Wina tetangga kami untuk membereskan rumah yang masih sedikit berantakan setelah acara pernikahanku. Sebelumnya sudah dibereskan oleh ketiga kakakku tapi karena mereka buru-buru jadi tidak sampai selesai membereskannya.
Mbak Wina langsung mengambil alih pekerjaan yang sempat tertunda. Sementara aku dan Mas Wawan mengobrol di ruang televisi. Seakan tak ingin melewatkan waktu berduaan. Mas Wawan mulai menggodaku kembali. Aku yang tengah duduk di atas kasur yang sengaja kami simpan di ruang tivi dan tengah menikmati cemilan tiba-tiba merasa kaget saat Mas Wawan memeluk tubuhku dari belakang.
"Mas kamu apa-apaan. Malu takut dilihat Mbak Wina" ucapku sambil berusaha membuka pelukan tangannya dan berbalik arah.
"Tidak apa-apa sayang kita kan sudah sah menjadi suami istri. Aku mau melanjutkan yang semalam" jawabnya sambil tersenyum nakal dan tangan yang mulai membelai kepalaku.
"Jangan sekarang juga dong. Nanti nunggu Mbak Wina selesai membereskan rumah dan dia pulang"
"Ya sudah Mas mau cek Mbak Wina dulu masih lama gak selesainya. Mas sudah gak sabar ingin mesra-mesraan dengan istriku"
Lalu lelaki yang kini sudah resmi menjadi suamiku itu pun bangkit dari tempat duduknya dan beranjak ke dapur untuk mengecek Mbak Wina. Saat Mas Wawan hendak membuka pintu dapur, tiba-tiba Mbak Wina mendahului membuka pintu. Sontak mereka berdua merasa kaget.
"Maaf Mas, saya gak tahu kalau ada Mas Wawan di balik pintu" ucap Mbak Wina segan.
"Tidak apa-apa Mbak. Saya juga minta maaf sudah mengagetkan Mbak" jawab suamiku dengan mengelus dadanya.
Aku hanya terdiam menyaksikan mereka. Jarak antara dapur dan ruang televisi memang berdekatan dan tidak ada penyekat jadi bisa langsung terlihat ke arah dapur.
Mas Wawan pun kembali menghampiriku dan duduk di sampingku. Mbak Wina membuntutinya dari belakang.
"Mbak Lia, semua pekerjaannya sudah selesai. Saya pamit pulang dulu ya" ucap Mbak Wina.
"Oke. Mbak tunggu di sini sebentar ya saya mau ke belakang dulu" jawabku kemudian beranjak dari tempat tidurku dan bergegas ke kamar untuk mengambil beberapa lembar uang sebagai upah untuk Mbak Wina dan memberikannya bingkisan.
"Mbak terimakasih ya sudah mau membantu membereskan pekerjaan rumah saya. Ini upah buat Mbak dan ini ada sedikit makanan buat Mbak dan anak-anak di rumah" ucapku sembari memberikan tiga lembar uang berwarna merah dan memberikan satu kantong kresek makanan.
"Terimakasih banyak Mbak Lia. Kalau sekiranya ada yang bisa saya bantu lagi, Mbak jangan sungkan-sungkan untuk menyuruh saya ya" jawabnya sambil mengambil uang dan makanan yang saya berikan.
Aku menganggukkan kepalaku. Mbak Wina adalah seorang janda yang mempunyai dua orang anak yang masih kecil. Anak pertamanya berumur tujuh tahun dan anak keduanya berumur tiga tahun. Sedangkan suaminya sudah meninggal karena kecelakaan. Jadi sekarang dia harus menggantikan suaminya mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Makannya dia merasa sangat senang sekali apabila ada yang menyuruhnya untuk sekedar bantu-bantu atau nyuci gosok.
Tak lama kemudian Mbak Wina pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku mengantarkannya sampai ke depan pintu sekalian mau menutup pintu yang dari tadi terbuka. Saat kembali dari mengantarkan Mbak Wina, aku langsung ditarik oleh suamiku menuju ke kamar. Setelah masuk ke dalam kamar, dia langsung mengunci pintu.
"Sekarang di rumah ini tinggal kita berdua. Gak akan ada yang mengganggu kita" ucapnya sambil menatapku nakal.
Aku tak menjawab ucapannya dan hanya pasrah saja tidak bisa apa-apa.
Tiba-tiba Mas Wawan mengangkat tubuhku dan membaringkannya di tempat tidur. Kini kami saling bertatapan dengan jarak yang semakin dekat. Detak jantungku sudah mulai tak beraturan. Dan... sudahlah aku kembali terbuai dalam indahnya pengantin baru.