Hari Pernikahanku

1280 Words
Sepulangnya dari fitting baju dan membeli perhiasan. Aku langsung bersih-bersih dan melaksanakan shalat dzuhur karena tadi belum sempat shalat. Sementara Mas Wawan tadi dia langsung pamit pulang. Selesai shalat aku pergi ke dapur untuk memasak biar nanti pas ibu dan bapak pulang dari kebun bisa langsung makan. Setelah masak aku pergi ke kamarku untuk sekedar melepas rasa lelah. Hingga tak sadar aku ketiduran. "Li bangun nak udah sore " ucap ibu sambil membangunkanku. "Oh iya bu. Ibu kapan pulang ? Maaf aku ketiduran" jawabku sambil menggeliat dan bangun dari tidurku. "Ibu sudah makan belum ? Tadi aku sudah masak buat ibu dan bapak" tanyaku. "Belum nak. Ayo kita makan bareng-bareng" ajak ibuku sambil beranjak dari kamarku. Kemudian kami makan bersama di ruang makan. "Gimana nak sudah dapat baju dan perhiasannya ?" Tanya ibu "Sudah bu. Besok juga rencananya aku dan Mas Wawan akan pergi ke Kantor Urusan Agama untuk mengurus persyaratan yang dibutuhkan" jawabku sembari menyuapkan nasi ke mulut. "Iya Nak" Keesokan harinya aku dan Mas Wawan pergi ke Kantor Urusan Agama untuk mengurus persyaratan apa saja yang diperlukan. Dan setelahnya aku mencari jasa rias pengantin. *** Hari ini adalah tiga hari menuju pernikahanku. Semua undangan sudah aku sebar. Di depan rumahku juga sudah mulai dipasang tenda biru. Ibu-ibu tetangga disini juga sudah mulai bantu-bantu memasak untuk hidangan nanti. Sudah menjadi tradisi di desaku kalau ada yang menikah atau hajatan pasti tetangganya ikut membantu memasak dan menyumbang beberapa bahan makanan. "Bu Sari ini ada beberapa kaleng biskuit dan beberapa bahan makanan dari ibu-ibu di desa sini" ucap Bu RT sambil memberikan tentengannya kepada ibu. "Terimakasih Bu. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT." jawab ibuku sambil mengambil pemberian dari bu RT. "Silahkan masuk bu" sambungnya mempersilahkan masuk. Bu RT dan rekannya pun masuk ke rumah ibu. Aku langsung ke dapur membuatkan minum untuk mereka. Sementara ibu menyimpan barang bawaan pemberian dari Bu RT dan rekannya. "Silahkan diminum Bu" ucapku sambil menyodorkan air minum dan beberapa cemilan. "Iya terimaksih Lia" jawab bu RT. "Kamu kok malah memilih menikah diusia muda. Seharusnya kan anak seusia kamu itu masih duduk di bangku kuliah tapi kok kamu malah memilih untuk menikah ?" Tanya Bu Rika yang tengah duduk di samping Bu RT. Bu RT pun menatap kepadanya seraya mengedipkan matanya. Aku tidak menjawab ucapan Bu Rika tadi. "Iya bu saya gak punya uang untuk menguliahkan Lia. Untuk makan sehari-hari saja kami hanya mengandalkan dari hasil kebun kami" jawab ibu "Kalau begitu kenapa gak disuruh kerja saja Lia nya. Kan lumayan bisa buat bantu-bantu memenuhi kebutuhan sehari-hari" jawab Bu Rika. "Ini mentang-mentang sudah ada yang mau sama Lia main nikahkan saja" sambungnya seraya menyunggingkan bibirnya. Ibu hanya diam saja tidak menjawab ucapan bu Rika. Sementara aku lebih memilih untuk meninggalkan mereka daripada harus terpancing emosi dengan ucapan bu Rika. Bu RT yang tidak enak dengan ucapan Bu Rika akhirnya mengajaknya untuk pulang. Tak lama kemudian mereka pun pamit pulang. "Bu maafkan Lia ya. Selama ini Lia hanya menyusahkan ibu saja. Yang dikatakan Bu Rika itu benar seharusnya aku menunda pernikahanku dan bekerja terlebih dahulu mencari uang untuk membantu ibu dan bapak" ucapku gemetar menahan tangis. "Kamu gak usah dengerin kata Bu Rika ya. Selama ini kamu gak pernah nyusahin ibu. Kamu juga sudah cukup banyak membantu meringankan pekerjaan ibu dan bapak selama ini" jawab ibu seraya memelukku. Aku pun menangis dipangkuan ibu. *** Hari pernikahanku dengan Mas Wawan sudah tiba. Pagi hari setelah shalat subuh kami sarapan bersama terlebih dahulu. Di rumah ibu sudah ada kakak-kakakku dan juga suaminya serta anaknya. Mereka datang kemarin sore. Selesai sarapan aku langsung didandanni oleh Mbak Wati seorang tukang rias profesional. Ibu dan kakakku juga anggota keluarga lain ikut didandani juga oleh para asisten Mbak Wati. "Mbak aku minta makeupnya yang natural saja ya jangan terlalu menor" ucapku. "Iya Mbak" jawab Mbak Wati. Tak berasa waktu sudah menunjukan jam tujuh. Semua sudah siap menyambut kedatangan calon pengantin laki-laki. Suasana di depan rumahku sudah cukup ramai dengan para tamu undangan juga para tetanggaku yang sudah mulai berdatangan. Tak lupa juga para pedagang yang menambah keramaian. Tepat jam tujuh tiga puluh rombongan pengantin laki-laki datang. Ibu dan bapak langsung menyambut kedatangan mereka dengan mengalungkan kalung bunga melati yang masih segar. Aku melihat mereka dari balik jendela kamarku. Ku lihat hari ini Mas Wawan tampil beda banget dan kelihatan berwibawa. Dia mengenakan jas putih dan celana putih serta peci yang senada. *** Setelah beberapa saat, seorang pemuka agama disini memberikan kata sambutan dan menyampaikan susunan acara. Hingga tibalah aku mengucapkan janji suci untuk mengikat wanita pilihan hatiku menjadi pasangan hidup untuk selamanya. Jam sembilan tiga puluh acara ijab qobul pun dimulai. Lia digandeng menuju meja akad oleh kakaknya. Semua orang yang berada di sana langsung menatapnya tak terkecuali aku sendiri. Aku nampak kagum melihatnya. Dia sangat cantik sekali sampai aku pangling melihatnya. Kemudian Lia pun duduk di sampingku. Aku membenarkan posisi dudukku. Ku jabat tangan Pak Wahyu dan disaksikan seluruh tamu undangan yang hadir. Satu set perhiasan yang terpajang dalam manekin berada di meja kecil yang telah disiapkan. Bapak menjadi saksi dari pihakku. Sementara pak RT menjadi saksi dari pihak Lia. "Sodara Wawan Kurniawan saya nikahkan engkau dengan anak perempuan saya yang bernama Elia Raharja binti Wahyu dengan maskawin satu set perhiasan emas seberat dua puluh gram dibayar tunai" ucap pak Wahyu dengan lantang dan gemetar sepertinya dia menahan tangis. "Saya terima nikah dan kawinnya Elia Raharja binti Wahyu dengan maskawin tersebut dibayar tunai" jawab Mas Wawan dengan sigap dan satu kali nafas tanpa harus diulang. "Sah..." semua yang menyaksikan acara ijab qobul teriak kompak. Aku bernafas lega. Setitik air mata jatuh mengenai telapak tangan saat aku meng-aamiin-kan do'a yang dibacakan oleh seorang ustadz. Begitu juga dengan Lia, dia nampak mengusap air matanya dengan tisu. Bahagia, terharu bercampur menjadi satu. Semoga ini pernikahan pertama dan terakhir untuk kami. Semoga aku dan Lia bisa menggapai mahligai rumah tangga yang indah. Senoga kami berdua saling menyayangi dan mengasihi sampai tua kelak. Dan semoga kami segera diberikan keturunan yang shaleh dan shalehah. Aamiin. "Titip Lia ya. Jaga dan sayangi anakku sebagai mana mestinya. Jangan sakiti dia. Bila sekiranya kamu sudah bosan dan Lia sudah tidak kamu inginkan lagi kembalikanlah dia pada saya dengan penuh hormat". Pak Wahyu memberikan sebuah pesan dihadapan semua tamunya. Sedikit isak terdengar saat lelaki itu berbicara. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokan beliau. Aku sangat faham dengan apa yang dirasakannya. Lidah ini pun mendadak kelu. Hanya anggukkan kepala yang bisa kuberikan. Setelah rangkaian acara selesai, kami langsung menuju pelaminan. Para tamu undanganpun mulai memberikan ucapan selamat kepada kami dan mulai menyantap hidangan yang telah disediakan. Tidak ada acara hiburan hanya musik dari saron saja yang terdengar untuk meramaikan suasana. Saat para tamu tengah menikmati hidangan, kasak kusuk tentang besarnya mahar pernikahan yang ku berikan sepintas terdengar ditelinga ini. Maklum, tempat tinggal Lia berada di desa. Benda dengan nominal dua puluh gram pastilah terasa sangat mahal oleh mereka. "Selamat ya akhirnya sahabatku sekarang resmi menjadi kakak iparku" ucap Dila menggodaku sambil menggendong bayinya. "Iya terimakasih Dil. Kita foto bareng yuk" ajakku. Kami pun mengambil beberapa gambar untuk dijadikan kenangan. Semua keluarga juga ikut foto bersama. Lalu setelahnya mereka menyantap makanan yang tersedia di meja. Selesai acara makan, mereka langsung pergi. Begitu juga dengan keluargaku, mereka langsung pamit pulang karena waktu sudah menunjukan tengah hari. "Nduk kami pamit dulu ya. Selamat menempuh hidup baru semoga kalian menjadi keluarga yang sakinnah mawaddah warrahmah" ucap ibu kepada kami yang masih duduk di pelaminan. "Iya bu" jawabku sambil mencium tangan mertuaku dan juga anggota keluarga yang lain. Lalu merekapun berpamitan kepada mertuaku dan langsung pulang dengan menggunakan mobil yang telah kami sewa dari tetangga. Hingga di persimpangan jalan, mobil yang mereka tumpangipun sudah tidak kelihatan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD