Lima bulan sudah aku membina biduk rumah tangga bersama Mas Wawan. Selama ini kami selalu harmonis dan baik-baik saja. Tetapi ada sesuatu hal yang membuatku merasa sedih karena sampai saat ini aku belum juga hamil.
Bukan karena hal itu saja yang membuatku merasa sedih tetapi sikap Mas Wawan dan semua anggota keluarganya berubah seratus delapan puluh derajat kepadaku. Itu karena aku yang sampai saat ini belum bisa hamil juga.
Usaha dan do'a selalu aku panjatkan setiap waktu. Tapi apa daya Tuhan belum menghendaki aku untuk mempunyai seorang anak.
Pagi hari saat aku sedang memotong rumput di halaman rumah, tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan rumahku. Aku langsung bangkit dan melihat siapa yang datang. Saat pintu mobil dibuka ternyata itu adalah keluarga suamiku. Ku lihat ada Bu Salma, Pak Yanto, Mbak Sarah dan Mbak Sinta juga anak-anaknya. Sementara Dila dia tidak ikut.
"Ibu bapak apa kabar ? kok mau kesini gak bilang-bilang dulu" ucapku sambil menyambut kedatangan mereka dan menyalaminya satu persatu.
"Iya kami sengaja tidak memberi tahu kalian, kami mau berkunjung ke rumah Bu Santi adiknya Bu Salma yang sedang sakit. Sekalian kami mampir ke sini" jelas Pak Yanto.
Lalu aku pun mempersilahkan mereka masuk dan bergegas ke dapur mengambil minum dan cemilan.
"Mas ada keluargamu datang. Kamu temui mereka dulu, aku mau mengambil air minum dan cemilan" ucapku kepada Mas Wawan yang sedang memainkan benda pipihnya di ruang tivi. Kebetulan ini adalah hari minggu jadi Mas Wawan sedang libur bekerja.
"Iya Dek" jawabnya sambil berlalu menemui keluarganya.
"Bapak, ibu. Apa kabar ? Kok kalian gak ngasih kabar dulu mau kesini" ucap Mas Wawan .
"Alhamdulillah kabar kami baik. Iya Nak. Kami mau ke rumah Bude mu yang sedang sakit. Sekalian saja kami mampir ke sini. Kali aja kalian mau ikut ke sana untuk menengoknya" jawab Bu Salma.
"Silahkan diminum. Ini juga cemilannya silahkan dicicipi. Maaf ya ibu dan bapak sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang pergi ke kebun." ucapku sambil menyuguhkan beberapa gelas air minum dan cemilan.
Mereka pun langsung meminum air yang sudah aku suguhkan.
"Dila kemana bu, kok dia tidak ikut ?" Tanyaku.
"Sudah tiga hari ini dia sedang menginap di rumah mertuanya. Jadi dia tidak ikut" jawab bu Salma.
"Dek, ibu mau mengajak kita ke rumah Bude Santi. Dia sedang sakit. Kamu mau ikut menengoknya tidak ? " tanya Mas Wawan sambil menatapku.
"Iya ayo Mas. Sebentar ya aku siap-siap dulu". Jawabku lalu bangkit dan segera masuk ke kamar untuk mengganti pakaianku.
Setelah semuanya siap. Kami pun langsung berangkat menuju rumah Bu Santi.
Sesampainya di sana kami disambut oleh Mbak Eka anaknya Bu Santi dan kami pun langsung menghampiri Bude Santi yang tengah duduk di kasur di ruang tengah.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang ?" Tanya ibu mertuaku.
"Alhamdulillah sekarang sudah agak mendingan" jawab Bude Santi.
Lalu kami pun berbincang kesana kemari. Tapi ada sesuatu hal yang membuatku sedih ketika mereka membahas soal anak.
"Kamu sudah ngisi belum Lia ?" Tanya Bude Santi seraya menatapku.
"Belum bude. Do'akan ya semoga kami secepatnya diberi momongan" jawabku sedih.
Sementara Mas Wawan dan keluarganya hanya berdiam saja tanpa ikut menimbrung pembicaraan kami.
"Ko masih belum ngisi juga padahal kan kalian menikah sudah lama. Masa kalah sama anak tetanggaku yang baru sebulan menikah dia sudah hamil." sambung Bude Santi dengan nada ketus.
"Coba kamu periksa ke bidan siapa tahu ada kelainan di rahim kamu" sambung Mbak Eka.
Deg...seketika d**a ini terasa sesak saat mendengar ucapan Mbak Eka. Ingin rasanya aku bungkam mulut mereka. Tetapi aku lebih memilih untuk diam tidak menjawab lagi ucapan mereka.
Tak berselang lama kami pun berpamitan untuk pulang. Ditengah perjalanan semua keluarga Mas Wawan termasuk Mas Wawan sendiri mendadak mendiamkanku. Tak sepatah katapun terucap dari mulut mereka. Beda dengan saat tadi berangkat.
'Entah ada apa dengan mereka. Kenapa mereka mendadak mendiamkanku. Apa karena aku yang sampai saat ini belum hamil ?' Gumamku. Tiba-tiba mobil yang ku tumpangi berhenti membuyarkan lamunanku. Dan sudah sampai tepat di depan rumahku.
Sesampainya di rumah aku langsung turun dari mobil dan bergegas masuk. Sementara keluarga Mas Wawan langsung pamit pulang. Aku pergi ke kamar untuk mengganti pakaianku dan Mas Wawan membuntutiku dari belakang.
Aku jadi bingung sendiri dengan sikap Mas Wawan dan keluarganya yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.
Ku biarkan Mas Wawan yang masih tidak mau bicara itu. Biar nanti saja ku tanyakan alasan dia mendiamkanku. Sekarang biarkan saja hatinya tenang dulu.
Sore harinya setelah shalat asar, aku menghampiri Mas Wawan yang tengah duduk di ruang tengah. Aku ingin menanyakan ada apa sebenarnya dengan mereka.
"Mas kamu kenapa kok dari tadi diam terus tanpa alasan yang jelas. Keluarga kamu juga tadi tiba-tiba mendiamkanku. Kalian kenapa ?" Tanyaku penasaran.
"Kamu pikir saja sendiri. Aku sedang malas berbicara. Tolong kamu tinggalkan aku sendirian di sini" jawabnya ketus.
"Mas aku tahu dengan apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu ingin segera punya anak kan makannya kamu marah saat Bude Santi menanyakan soal itu?" ucapku kepada Mas Wawan yang tengah menikmati secangkir kopi di ruang tengah.
"Aku juga sama Mas ingin segera punya anak. Aku sedih setiap kali ada orang yang menanyakan soal itu. Harusnya kamu support aku bukan malah mendiamkan aku seperti ini. Kita harus terus berusaha dan berdo'a supaya segera dikaruniai seorang anak" sambungku dengan netra yang mulai berembun.
Mas Wawan hanya terdiam tidak menjawab ucapanku. Aku paham betul dengan perasaannya. Bagaimanapun dia sangat menginginkan seorang anak sama sepertiku. Aku lalu masuk ke kamar meninggalkannya yang masih berdiam diri.
Ku baringkan tubuh ini di atas kasur. Tak berasa air mata jatuh membasahi pipiku. Sebagai seorang wanita tentulah aku merasa sedih saat berbicara tentang anak. Bukan inginku hanya waktu saja yang belum berpihak kepadaku.
'Ya Tuhan. Semoga secepatnya aku dikaruniai seorang anak'. Gumamku.
Cekrek !
Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamar dan membuyarkan lamunanku. Aku langsung membalikan tubuhku membelakangi pintu dan menghapus air mataku. Sepertinya itu adalah Mas Wawan. Aku pura-pura tidur karena tak ingin ketahuan Mas Wawan kalau aku sedang menangis.
Kemudian dia membaringkan tubuhnya di sampingku tanpa menyapaku. Saat sedang tiduran tiba-tiba gawaiku berbunyi. Segera ku raih benda pipihku itu yang terletak tidak jauh dariku. Sebuah panggilan masuk dengan nomor yang tidak aku kenal. Lalu aku mengangkat telepon itu siapa tahu penting.
"Hallo Assalamu'alaikum. Maaf ini dengan siapa ya ?" ucapku.
"Wa'alaikumsalaam. Ini aku Dea temen kamu waktu SD" jawab seseorang diseberang sana.
Dea merupakan sahabat aku waktu duduk dibangku sekolah dasar. Setelah lulus SD kami sudah tidak pernah saling memberi kabar apalagi bertemu karena Dea harus pindah rumah ke luar kota ikut keluarganya.
"Walaaah. Dea apa kabar ? Lama tidak bertemu. Kamu tahu nomor aku dari siapa ?" Ucapku dengan penuh gembira karena bisa berbincang dengan sahabat lamaku
"Kabarku baik Lia. Aku tahu nomor kamu dari Bude Yati. Kebetulan waktu itu aku pernah bertemu dengannya di sebuah kedai bakso" jawab Dea.
Kami pun berbincang panjang lebar melepas rasa rindu yang selama ini tersimpan. Hingga tak terasa suara adzan magrib sudah berkumandang.
"Lia sudah dulu ya, sudah adzan magrib. Nanti kalau ada waktu aku ingin bertemu denganmu. Aku sudah rindu kebersamaan kita waktu dulu" ucap Dea mengakhiri percakapan
"Iya Dea. Nanti aku tentukan ya kapan waktunya. Aku juga sama sudah rindu banget sama kamu. Salaam untuk keluarga kamu disana" jawabku lalu menutup telpon dan bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sembahyang magrib.
Saat aku menyimpan kembali gawaiku dan membalikan badanku ternyata mas Wawan sudah tidak ada di kamar. Mungkin dia sudah pergi ke mesjid untuk melaksanakan shalat magrib berjamaah. Lalu aku segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan shalat.
Waktu sudah hampir mau isya tapi mas Wawan belum juga pulang. Kemana dia, apa dia sebegitu marahnya kepadaku sampai keluar rumah pun tak berpamitan kepadaku. Kemudian aku menghampiri bapak untuk menanyakan keberadaan Mas Wawan.
"Pak, mas Wawan kemana kok belum pulang. Apa dia ada di mesjid ?" Tanyaku sambil duduk di di kursi di depan bapak dengan perasaan khawatir.
"Dia ada di mesjid. Tadi dia menyuruh bapak pulang duluan katanya dia mau sekalian nunggu waktu isya di mesjid" jawab bapak mengurangi rasa kekhawatiranku.
"Syukurlah kalau begitu. Aku khawatir takut dia keluyuran kemana saja soalnya tadi pas mau berangkat dia tidak pamitan kepadaku mungkin karena tadi aku lagi telponan"
Aku merasa lega setelah mengetahui keberadaan mas Wawan. Ini kali pertama dia memperlakukanku seperti ini. Wajar saja jika aku merasa khawatir.
"Lia, kalian kenapa ? Bapak perhatikan hari ini ada yang berbeda dengan Wawan, di dari tadi terlihat diam saja tidak banyak bicara tak seperti biasanya. Apa kalian sedang ada masalah ?" Tanya bapak seraya menatapku.
"Tidak apa-apa pak kami baik-baik saja. Mungkin mas Wawan sedang kurang enak badan makanya dia tidak banyak bicara" jawabku ngeles dan berusaha terlihat baik-baik saja di depan bapak.
Aku tidak ingin memberitahu dulu kepada orang tuaku perihal masalah ini karena takut malah membuat mereka menjadi sedih. Biar nanti saja nunggu waktu yang tepat.
"Ya sudah syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Kalau ada masalah apa-apa kamu jangan sungkan bilang ke bapak atau ibu mu ya" sambung pria itu dan bangkit meninggalkanku.
Ku anggukkan kepalaku tanda meng-iya-kan ucapannya. Aku bingung harus berbuat apa. Aku tahu dari dulu sebelum menikah mas Wawan memang menginginkan untuk segera mempunyai anak, tapi apalah dayaku jika Tuhan belum berkehendak aku bisa apa.
Aku masih mengkhawatirkan mas Wawan takut dia tidak pulang ke rumah. Aku menunggunya di depan rumah. Dan setelah shalat isya akhirnya mas Wawan pulang juga. Aku merasa lega melihat kepulangannya dan segera menghampirinya.
"Mas kamu dari mana saja ? Kenapa baru pulang ? Kamu pergi juga gak pamitan sama aku tidak seperti biasanya" Tanyaku sambil menghampiri mas Wawan yang masih dengan muka masamnya.
"Aku dari mesjid dan sekalian menunggu waktu shalat isya. Tadi aku mau pamitan tapi kamunya sedang asyik telponan" jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam kamar.
Aku membuntutinya dari belakang. Mas Wawan langsung mengganti pakaiannya dengan piama dan setelahnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Mas kamu masih marah ya sama aku ?" Tanyaku sambil duduk di sampingnya.
"Enggak. Aku gak marah sama kamu, aku hanya bingung saja kenapa kita belum dikasih kepercayaan untuk punya anak" jawabnya dengan netra yang mulai berembun.
"Mungkin benar kata Mbak Eka kita harus melakukan konsultasi dan memeriksakan kesehatan kita takutnya ada kelainan diantara kita berdua sehingga kita sulit mempunyai keturunan" sambungnya lagi.
Aku menganggukan kepalaku dan tak terasa air mata mulai membasahi pipiku.
"Kamu nangis Dek ?" Tanya mas Wawan sambil membangunkan tubuhnya. Kemudian mas Wawan mengusap air mataku.
Saat berbicara tentang anak, aku pasti mendadak jadi wanita yang lemah. Bagaimana tidak, mempunyai anak adalah impian semua orang.
"Kamu jangan menangis ya, nanti kalau mas libur kerja kita pergi ke dokter kandungan ya untuk konsultasi, kamu mau kan ?" Ucapnya lagi.
"Iya mas" jawabku singkat sambil menghapus air mataku.