Tok...tok...tok...
"Lia, ayo kita makan malam dulu. Ibu tunggu di ruang makan ya". Suara ibu terdengar dari balik pintu.
"Iya bu, ibu duluan saja nanti kami menyusul" jawabku lalu segera menghapus air mata yang jatuh di pipiku. Aku tak ingin ibu mengetahui kalau aku tengah bersedih.
"Mas kita makan malam dulu yuk ibu sudah memanggil. Tadi bapak menanyakan perihal sikap kamu yang mendiamkan aku dan aku jawab kamu sedang kurang enak badan. Kamu harus terlihat baik-baik saja di depan mereka jangan menunjukan kalau kita sedang ada masalah. Kalau bapak nanya jawab aja seperti apa yang aku katakan" jelasku kepada mas Wawan.
"Iya Dek." Jawab mas Wawan dan kami pun segera keluar kamar untuk makan malam bersama.
Bapak dan ibu sudah terlebih dahulu berada di meja makan. Mereka sudah mulai menikmati hidangan yang tersedia. Kami pun segera bergabung bersama mereka. Dan benar saja saat kami sedang makan, bapak bertanya kembali perihal sikap mas Wawan tadi.
"Nak Wawan kamu kenapa dari tadi kelihatannya diam terus tidak banyak bicara tak seperti biasanya. Kamu sedang ada masalah apa ?" Tanya bapak, rupanya dia masih penasaran.
"Tidak apa-apa pak, aku hanya sedang tidak enak badan saja." Jawab mas Wawan sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Benar kamu tidak apa-apa nak ? Kalau sedang ada masalah kamu cerita sama kami ya, kan sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Kami pun sudah menganggap kamu sebagai anak kandung kami sendiri" sambung ibu.
Aku hanya melirik ke arah mereka bertiga tak ikut nimbrung percakapan mereka. Untung saja tadi aku sudah bilang ke mas Wawan perihal ini jadi jawabannya bisa sama.
"Benar bu aku tidak apa-apa kok hanya sedang kurang fit saja mungkin karena kecapekan" jawab mas Wawan meyakinkan kedua orang tuaku.
"Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa nak. Ibu dan bapak hanya khawatir saja. Bagaimana pun juga kamu sudah menjadi tanggungjawab kami sekarang"
Kemudian kami pun melanjutkan makan malam kami. Dan setelahnya langsung bergegas ke kamar masing-masing untuk tidur.
***
Pagi harinya seperti biasa mas Wawan berangkat ke tempat kerja jam enam pagi. Mas Wawan pulang ke rumah seminggu sekali setiap hari sabtu sore dan berangkat lagi senin subuh.
Saat mas Wawan sedang mandi tiba-tiba gawainya berbunyi. Aku yang sedang merapikan kamar segera mengambil benda pipih milik suamiku itu yang terletak di atas meja rias kamarku. Ternyata sebuah panggilan masuk dari mbak Sarah.
'Mbak Sarah ? Ada apa tumben-tumbenan dia menelpon jam segini ?' Gumamku. Ada perasaan ragu saat aku akan mengangkat panggilan darinya. Tapi aku penasaran takutnya ada sesuatu hal penting yang ingin mbak Sarah sampaikan. Akhirnya aku pun mengangkat telepon itu.
"Assalamu'alaikum mbak" ucapku saat mengangkat telpon darinya.
"Wa'alaikumsalaam. Lia ini ibu, Wawannya kemana ? Ada yang perlu ibu bicarakan sama dia" jawab ibu to the point.
"Mas Wawan sedang di kamar mandi bu. Ibu mau bicara apa biar nanti aku sampaikan kepada mas Wawan"
"Tidak usah, ibu mau bicara langsung dengan Wawan. Kalau begitu nanti saja ibu telpon lagi" jawab wanita yang telah melahirkan suamiku itu dengan nada ketus. Lalu kemudian dia mematikan panggilan tersebut tanpa berpamitan kepadaku.
'Ada apa dengan ibu, kenapa akhir-akhir ini sikapnya berubah kepadaku tidak seperti dulu lagi' gumamku.
"Dek kamu kenapa ?" Tiba-tiba mas Wawan menghampiriku dan membuyarkan lamunanku. Sontak aku merasa kaget dan segera menyimpan benda pipih miliknya.
"Tidak apa-apa mas. Tadi ibu telpon pake nomornya mbak Sarah. Katanya ada yang perlu dia bicarakan sama kamu." jawabku.
"Perihal apa ?" Tanyanya penasaran.
"Aku gak tahu mas, tadi ibu tidak memberitahuku. Katanya dia mau berbicara langsung dengan kamu" jelasku sambil melanjutkan kembali membereskan kamar.
"Ya sudah nanti kalau lagi santai biar mas telepon ibu"
Waktu sudah menunjukan pukul lima tiga puluh. Aku segera bergegas menyiapkan sarapan dan bekal untuk dibawa mas Wawan.
"Mas kamu sarapan dulu ya, ini aku bawakan kopi dan pisang goreng". Ucapku sambil menyodorkan baki.
"Iya dek". Jawab mas Wawan yang sedang memakai sepatu di depan rumah.
Kemudian aku kembali ke dapur untuk mengambilkan bekal yang akan di bawa mas Wawan. Dan langsung memberikannya kepada mas Wawan.
"Pak, bu aku berangkat ya" ucap Mas Wawan sambil bersalaman kepada bapak dan ibu.
"Iya nak. Kamu hati-hati di jalannya ya".
"Dek, mas pamit berangkat dulu ya." Ucapnya sambil menghabiskan kopi yang masih tersisa sedikit di cangkir.
"Iya mas. Ini bekalnya, jangan lupa nanti dimakan ya" jawabku sambil memberikan sebuah rantang yang berisi nasi dengan lauk ayam serundeng dan tumis kangkung serta sambal dan lalaban sebagai pelengkap.
Mas Wawan segera bergegas menaiki kuda besi miliknya. Dengan pelan-pelan dia mulai menarik tuas gasnya. Sebuah klakson dibunyikan tandanya dia pamit. Lalu dia melajukan motornya dengan pelan hingga sampai di persimpangan jalan jejaknya sudah tidak nampak lagi.
Aku segera kembali masuk ke dalam rumah dan melanjutkan pekerjaan rumah. Sementara bapak dan ibu sudah bersiap-siap untuk pergi ke kebun.
"Lia, bapak dan ibu pamit pergi ke kebun dulu ya. Kamu jaga rumah baik-baik jangan kemana-mana" pamit bapak.
"Iya pak. Bekal yang sudah aku siapkan tadi jangan lupa dibawa" jawabku sambil bergegas ke dapur menyimpan baki.
Ibu dan bapak pun langsung berangkat menuju kebun. Hari ini mereka berangkat pagi karena mau memanen ubi yang mereka tanam dan menjualnya ke pengepul.
Setelah semua pekerjaan selesai, aku pergi ke warung untuk membeli beberapa kebutuhan dapur yang sudah habis. Di sana sudah banyak ibu-ibu yang sedang berbelanja dan salah satunya adalah bu Rika. Tetanggaku yang suka sekali nyinyirin orang.
Sebenarnya aku malas kalau ke warung bertemu dengan dia. Pasti selalu ada saja kata-katanya yang menyakitkan dan merusak mood. Tapi mau pulang lagi nanggung sudah mau sampai. Lagi pula jarak rumahku dengan warung di desaku lumayan jauh jadi kalau aku pulang lagi hanya membuang-buang tenaga saja.
Dengan sangat terpaksa aku melanjutkan jalanku. Terserah nanti mau mendapatkan perkataan apapun dari bu Rika biar aku pura-pura tidak mendengar saja.
Saat aku sudah sampai di warung, semua orang yang ada di sana menatap sinis kepadaku. Tak terkecuali bu Rika. Rupanya mereka tengah membicarakanku.
"Eh ini dia orangnya datang. Panjang umur kamu Lia" ucap bu Rika dengan tatapan sinisnya.
"Memangnya kenapa bu ?" Tanyaku polos.
"Eh Lia, kamu itu mandul kan ?" Ucap bu Rika dengan tangan yang menunjuk ke arahku.
Seketika jantung ini terasa mau copot saat mendengar ucapan bu Rika. Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu sementara dia tidak mengetahui kebenarannya. Aku mengusap dadaku dan menarik nafas berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Kenapa kamu diam saja ? Kamu itu memang mandul kan ? Buktinya saja sampai sekarang kamu belum punya anak" sambungnya lagi.
Sementara Ibu-ibu yang lain hanya terdiam saja.
"Bagaimana bisa ibu bicara seperti itu ? Dari mana ibu tahu kalau saya ini mandul ? Saat ini saya memang belum bisa hamil tapi bukan berarti saya mandul, hanya belum waktunya saja." jawabku kesal.
"Halaaah kalau mandul ya mandul aja gak usah ngeles" jawabnya lagi dengan mulut yang dinaik-naikin.
Ibu-ibu yang menyaksikan perdebatan kami hanya saling senggol dan saling berbisik. Aku yang tak mau berkelanjutan akhirnya segera mengalihkan pembicaraan dan kembali ke tujuanku untuk membeli beberapa bahan makanan.
"Bu. Aku mau membeli telur satu kilo, gula satu kilo, kopi, terigu satu kilo dan minyak lima liter" ucapku kepada bu Erna pemilik warung.
"Iya Lia. Sebentar ya saya siapkan dulu barangnya" jawab bu Erna lalu pergi mengambil barang-barang yang aku butuhkan.
Sementara ibu-ibu yang ada di sana mulai meninggalkan warung, kecuali bu Rika. Sepertinya dia masih belum puas nyinyirin aku.
"Eh Lia, kamu harus hati-hati ya kalau kamu belum punya anak juga bisa-bisa kamu ditinggalin sama suami kamu" nyinyirnya lagi.
"Cukup bu Rika, tolong jaga ucapan anda ! Dari tadi ibu berbicara yang tidak pantas kepada saya" jawabku dengan nada tinggi karena sudah geram dengan ucapannya bu Rika.
"Memang kenyaataannya seperti itu, banyak kasus perempuan yang ditinggalin suaminya gara-gara belum punya anak" sambungnya lagi.
Kali ini aku tak menjawab ucapannya, bagiku sama gilanya kalau terus meladenin perempuan paruhbaya itu.
"Lia, ini barangnya. Semuanya jadi dua ratus tiga puluh lima ribu" tiba-tiba bu Erna datang dan menyodorkan barang yang tadi dia ambil.
Aku langsung membayar barang belanjaanku dan segera pulang. Aku tak ingin berlama-lama di sana apalagi meladeni perempuan macam bu Rika.