Sepulangnya dari warung, aku kefikirin terus soal ucapannya bu Rika. Bagaimana kalau yang ia katakan itu benar-benar terjadi kepadaku.
"Lia sedang apa nak ?" Tiba-tiba ibu datang mengagetkanku.
"Eh ibu sudah pulang. Ini lagi mau beresin belanjaan. Tadi habis dari warung membeli beberapa bahan makanan yang sudah habis" jawabku sambil membereskan belanjaanku.
"Oh begitu. Ya sudah ibu mau bersih-bersih dulu ya"
"Iya bu"
Lalu ibu pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Sementara aku langsung menyiapkan makanan untuk kami makan siang.
***
Seminggu kemudian, tibalah waktunya mas Wawan pulang. Tadi siang dia mengabariku bahwa dia akan pulang lebih cepat dari biasanya, karena hari ini sedang tidak banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Tepat jam sebelas siang mas Wawan sudah tiba di rumah. Aku langsung menyiapkan makanan untuk makan siang kami. Kami pun makan siang dengan lahap dan setelahnya kami langsung melaksanakan shalat dzuhur.
"Dek. Nanti sore ibu mau main ke sini" ucap mas Wawan.
"Iya mas. Mau sama siapa ke sininya ?" Jawabku sambil melipat mukena.
"Katanya mau sama bapak juga mbak Sarah dan mbak Sinta"
"Oh ya sudah biar aku siapkan makanan untuk mereka nanti"
Lalu aku pun memberitahu ibu dan bapak bahwa mertuaku akan datang sore ini. Dan bergegas ke dapur untuk memasak beberapa menu makanan untuk menyuguhi mertuaku dan juga kakak iparku.
Selesai masak, aku langsung mandi membersihkan badanku dan setelahnya aku melaksanakan shalat asar.
Tepat jam empat sore ku dengar sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Segera aku keluar kamar dan melihat siapa yang datang. Ternyata itu adalah keluarga suamiku. Ku lihat ada ibu, bapak, mbak Sarah dan juga Mbak Sinta, tak ketinggalan anak-anaknya. Lalu aku bergegas menghampiri mereka dan menyambut hangat kedatangannya. Ibu dan bapak membuntutiku dari belakang.
Namun bukannya mereka menyambut hangat sambutan dariku, mereka malah memasang muka masam. Bersalamanpun tanpa memberikan senyuman kepada kami.
"Mari silahkan masuk" ucapku mempersilahkan mereka masuk.
Tanpa menjawab ucapanku, mereka langsung masuk ke rumah dan menanyakan keberadaan mas Wawan.
"Wawannya kemana ?" Tanya ibu.
"Ada bu di kamar. Sebentar ya aku panggilkan dulu" jawabku sambil berlalu menuju kamar untuk memanggil mas Wawan.
"Mas, keluargamu sudah datang. Kamu temui mereka. Ibu sudah menanyakanmu." Ucapku dari balik pintu kamar.
"Iya sebentar Dek, mas ganti baju dulu" jawabnya.
Lalu aku bergegas ke dapur untuk mengambil air minum dan cemilan.
"Silahkan diminum airnya" ucapku sambil menyodorkan minuman dan cemilan.
"Iya terimakasih" jawab mereka.
Masih dengan muka masam, kini mereka menatap sinis kepadaku. Entah ada apa dengan mereka, setelah pulang dari rumah Bude Santi waktu itu sikapnya menjadi berubah drastis.
"Lia kamu sudah hamil belum ?" Tanya ibu memulai pembicaraan.
Aku menggelengkan kepalaku. Sudah ku duga ibu pasti akan menanyakan soal ini.
"Ini sudah hampir satu tahun loh kalian menikah, kok kamu belum hamil juga ?" Sambungnya lagi.
Aku tidak bisa berbicara apa-apa saat mendengar ucapan ibu mertuaku.
"Mungkin belum waktunya bu. Kita sabar saja ya dan harus terus mendo'akan anak kita semoga segera diberikan keturunan" jawab ibuku dengan bijak.
"Sabar bagaimana bu, ini sudah hampir satu tahun loh mereka menikah. Wawan itu sangat menginginkan kehadiran seorang anak" ucap mbak Sarah dengan nada tinggi.
Sementara aku hanya diam saja mendengar ucapan mereka. Sedih memang tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Apa jangan-jangan kamu mandul" sambung mbak Sinta sambil menatap sinis kepadaku.
"Maaf mbak, mbak jangan bicara sembarangan. Saat ini aku memang belum bisa hamil tapi belum tentu juga aku ini mandul. Rencananya minggu ini aku dan mas Wawan akan berkonsultasi ke dokter spesialis kandungan". Jawabku kesal.
Ku lihat mas Wawan hanya diam saja. Aku faham betul dengan perasaannya. Tapi tidakkah mereka juga merasakan apa yang aku rasakan.
"Baguslah kalau begitu. Tapi ingat kalau kamu gak bisa hamil juga, saya akan menyuruh Wawan untuk menceraikan kamu" ucap ibu mertuaku dengan sinis. Kedua kakak mas Wawan juga ikut menganggukkan kepala seolah mereka menyetujui apa yang ibu mertuaku katakan.
Sementara mas Wawan masih diam seribu bahasa. Aku pun hanya terdiam saat ibu mertuaku bicara seperti itu. Sedih, sakit hati dan marah bercampur menjadi satu. Tak berasa air mataku mulai jatuh membasahi pipiku.
"Maaf bu Salma, ibu tidak sepantasnya berbicara seperti itu. Seharusnya kita sebagai orang tua harus mensupport anak kita bukan malah berbuat yang tidak-tidak" ucap ibuku menengahi.
"Masalah Lia yang belum bisa hamil, kita pasrahkan saja kepada sang Maha Pencipta." Sambungnya lagi.
Ibu pasti ikut sedih dengan keadaanku seperti ini. Ibu juga sama ingin segera menimang cucu yang terlahir dari rahimku. Tapi ibu tidak terlalu menuntutku dan dia mengerti betul perasaanku.
"Sudahlah kita pulang saja. Bikin pusing saja lama-lama disini" ucap ibu mertuaku. Lalu mereka pun pulang.
Aku langsung bangkit dari tempat dudukku dan segera pergi ke kamar tanpa mengantar keluarga suamiku ke depan rumah.
Ku lemparkan tubuh ini ke atas kasur. Aku menangis sejadi-jadinya. Ku luapkan semua amarah dan sakit hati yang membuncah difikiranku.
'Kenapa mereka tega berbicara seperti itu kepadaku. Bukan inginku yang sampai saat ini belum bisa punya anak. Apa iya aku ini mandul ? Ya Tuhan bantu aku, jika memang keluarga suamiku menginginkan aku segera hamil, tolong secepatnya beri aku keturunan. Aku tak sanggup mendengar ucapan keluarga suamiku yang selalu menyakiti hati ini' gumamku ditengah derasnya air mata yang mengalir.
"Lia boleh ibu masuk ?" Ucap ibu di balik pintu.
"Masuk saja bu, pintunya tidak aku kunci"
Ibu langsung memeluk erat tubuhku saat melihatku yang tengah menangis. Ibu berusaha menenangkanku.
"Lia kamu gak usah bersedih ya. Ibu paham betul dengan apa yang kamu rasakan. Ucapan keluarga suamimu tadi tak usah didengarkan. Kamu harus terus berusaha dan berdoa semoga kamu dan Wawan secepatnya diberi keturunan" ucap ibu sambil memeluk tubuhku dan mengelus kepalaku.
"Sudah kamu hapus air matamu tak usah menangis lagi. Ibu yakin suatu saat nanti kamu pasti akan mempunyai seorang anak" sambungnya lagi sambil mengusap air mata yang jatuh di pipiku.
"Kok ada ibu." Ucap mas Wawan yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
"Iya nak. Kalau begitu ibu keluar dulu ya" jawab ibuku sambil meninggalkan kami berdua.
Tak terasa suara adzan magrib telah berkumandang. Aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat magrib. Sementara mas Wawan dia pergi ke mesjid.
Selepas shalat magrib, aku masih mengurung diri di kamar menenangkan hati dan fikiranku.
"Dek, maafkan ibu dan juga kakak-kakakku ya. Kamu gak usah dengerin apa kata mereka." Ucap mas Wawan sambil menghampiriku yang masih termenung di atas kasur.
"Tapi mas ucapan ibumu dan kakakmu tadi sudah kelewatan. Tak sepantasnya mereka berbicara seperti itu." Jawabku dengan pipi yang masih dibasahi air mata.
"Aku kecewa sama keluargamu mas. Dulu mereka baik banget sama aku, tapi sekarang sikap mereka berubah drastis hanya karena aku belum bisa hamil" sambungku sambil menangis sesegukan.
"Aku paham dengan perasaanmu Lia. Tolong kamu jangan bersedih lagi ya. Nanti hari senin aku izin tidak masuk kerja, rencananya aku mau mengajak kamu untuk berkonsultasi ke dokter kandungan. Kamu mau ya."
Aku menganggukkan kepalaku seraya menghapus air mata yang jatuh membasahi pipiku.
"Ya sudah sekarang kamu tenangkan hati dan pikiran kamu. Gak usah bersedih lagi ya." Mas Wawan lalu memelukku dan mengusap kepalaku.
***
Pagi harinya saat semua pekerjaan rumah sudah selesai, aku duduk di ruang tivi sembari memainkan gawaiku. Saat aku membuka media sosialku, entah itu kebetulan atau apa ada seseorang yang memposting tentang permasalahannya yang sulit mempunyai anak sama sepertiku.
Dalam postingannya dia menuliskan bahwa sudah hampir dua tahun dia belum bisa hamil. Hingga pada akhirnya dia berjumpa dengan seorang dokter spesialis kandungan dan berkonsultasi dengannya. Dan alhamdulillah sekarang dia sudah mempunyai seorang anak perempuan.
Aku penasaran dengan wanita yang umurnya aku perkirakan tiga tahun lebih tua dariku. Lalu aku mengklik akun miliknya dan mencari tahu asal usul wanita ini. Ternyata dia masih satu kecamatan denganku hanya beda kampung saja.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, segera aku mengirimkan pesan kepadanya lewat aplikasi biru tersebut untuk menanyakan nama dokter spesialis kandungan itu dan alamat lengkapnya.
[Assalamu'alaikum. Mbak, maaf mengganggu waktunya, tadi aku tidak sengaja membaca postingan Mbak perihal permasalahan Mbak yang sulit mempunyai anak. Dan sekarang Mbak sudah mempunyai seorang anak perempuan berkat berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis kandungan]. Satu pesan aku kirimkan kepada pemilik akun yang bernama Indah Saraswati.
[Kalau boleh tahu, siapa nama dokter itu dan dimana alamatnya ?]. Sambungku
Kemudian dia langsung membaca pesanku dan membalasnya karena kebetulan dia sedang online juga.
[Wa'alaikumsaalam. Oh iya kamu bukannya Lia ya dari kampung sebelah ?] Dia malah balik nanya kepadaku.
[Ya sudah aku kasih tahu nama dokternya, dia adalah Dr.Irsyad spesialis kandungan. Dia tinggal di kota deket sini juga]. Isi jawaban pesan selanjutnya darinya.
Seketika aku kaget kok dia bisa mengenal aku sementara aku sendiri tidak mengenalnya. Lantas aku menanyakan soal itu kepadanya.
[Kok Mbak bisa kenal sama saya ? Padahal saya sendiri gak kenal loh sama Mbak]. Tanyaku penasaran.
[Iya Lia, aku kenal kamu dari medsos ini dan karena waktu itu ibumu pernah datang ke rumah ibuku. Dia bercerita tentang keadaan kamu. Ibuku dan ibumu berteman sejak mereka SD. Lalu ibumu menanyakan bagaimana caranya aku bisa punya anak]. Jelasnya
Ternyata ibunya Mbak Indah adalah teman ibuku. Kebetulan sekali jadi aku bisa tanya-tanya sama Mbak indah perihal kehamilan.
[Oh seperti itu. Kebetulan sekali ya Mbak, jadi aku bisa tanya-tanya perihal kehamilan sama Mbak. Salaam kenal ya Mbak. Terimakasih karena Mbak sudah mau memberitahu aku nama dan alamat dokter kandungan itu]
[Iya sama-sama Lia]
Akhirnya kami pun berbincang-bincang dan tukeran nomor handphone.