“Tunggu sebentar, aku ambil uang dulu.” Louisa mendorong pintu taxi, lalu keluar. Wanita itu berlari masuk ke dalam rumah. Dia benar-benar tidak membawa uang.
“Ada apa lari-lari?”
“Aku harus membayar taxi, Ma.”
Casandra memutar tubuh lalu menggeleng ketika melihat sang putri semata wayang berlari menaiki tangga. “Kenapa harus berlari?” gumam wanita itu sebelum melanjutkan langkah keluar. Wanita itu kemudian menghampiri pengendara taxi yang langsung keluar dari pintu pengemudi begitu melihat dirinya.
“Berapa tagihan anakku?” tanya Casandra yang detik berikutnya memasukkan tangan ke dalam tas tangannya. Perempuan dengan dres merah yang membalut tubuhnya itu mengeluarkan dompet.
“Ini. Ambil saja kembaliannya,” kata Casandra setelah memberikan dua lembar uang kertas kepada sang pengemudi taksi.
Casandra tersenyum sambil menganggukkan kepala ketika sang pengemudi mengucap terima kasih, lalu berpamitan. Wanita 52 tahun itu memperhatikan sang sopir taksi hingga pria itu masuk kembali ke dalam taksi, lalu kendaraan roda empat tersebut melesat keluar dari pekarangan rumah besarnya.
“Kemana sopir taksinya?” Dengan napas memburu, Louisa yang baru saja tiba di teras setelah berlari naik turun tangga itu bertanya pada sang ibu.
Casandra memutar kepala. “Sudah pergi.”
“Aku belum bayar, Ma.”
“Mama sudah membayarnya. Ayo, ikut Mama sekarang.”
Louisa mengerjap cepat. Wanita muda itu mengayun langkah mengikuti sang ibu dengan kening mengernyit. Louisa mempercepat langkah kaki, hingga bisa berjalan bersisian dengan sang ibu.
“Memangnya kita mau kemana?” tanya Louisa sambil meraih sebelah lengan sang Ibu, kemudian bergelayut manja.
“Ke acara lelang—”
“Lagi?” tanya Louisa bahkan sebelum sang ibu menyelesaikan kalimatnya.
Casandra menghembuskan napas pelan. Wanita itu tidak langsung menjawab. Melepas tangan sang putri, Casandra masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka oleh salah satu sopir di rumahnya.
Louisa kemudian mengikuti sang ibu, masuk ke dalam mobil. Sepasang ibu dan anak tersebut duduk bersisian. Pintu ditutup dari luar, kemudian sang sopir berlari memutari setengah badan mobil untuk masuk dari pintu pengemudi.
“Mereka membuat penggalangan dana untuk anak-anak yang kurang mampu.”
“Oh.” Louisa menggerakkan kepala turun naik. Sepasang mata wanita itu bergerak saat mobil sudah melaju keluar dari halaman rumah tiga lantai milik orang tuanya. Louisa sendiri heran mengapa orang tuanya membuat rumah besar tiga lantai, padahal mereka hanya memiliki satu anak. Dirinya.
“Rumah kita seharusnya bisa untuk menampung anak-anak malang itu. Lihatlah, Ma. Rumah kita terlalu besar untuk kita bertiga.” Louisa sudah memutar setengah tubuh ke belakang. Sepasang matanya memperhatikan bangunan megah yang semakin lama terlihat semakin kecil.
Casandra tersenyum. Putrinya memang memiliki hati lembut. Louisa adalah sosok yang sempurna sebagai seorang wanita. Hanya satu kekurangan Louisa. Pemalas. Ya, putrinya itu sosok yang pemalas. Dari kecil, Louisa malas belajar. Sekolah hanya untuk sekedar mendapatkan ijazah. Louisa lebih suka melukis dan bermain piano. Mengingat hal itu, Casandra membuka mulutnya.
“Mama ambil dua lukisanmu untuk diikutkan lelang. Kamu tidak keberatan, bukan?”
Louisa memutar kepala lalu mengerutkan sepasang bibirnya. “Kenapa hanya dua? Mama bisa ambil sebanyak mungkin.”
Casandra kemudian berdecak. “Yang mau ikut menyumbang untuk lelang tidak hanya Mama. Banyak yang lain.”
Louisa terkekeh ringan.
“Kamu bisa main piano nanti. Siapa tahu ada yang mau menyumbang setelah mendengarmu bermain piano.”
“Tentu saja. Aku tidak akan keberatan.” Louisa tersenyum lebar.
***
Sementara di bagian lain kota tersebut—di sebuah rumah mewah, seorang pria sedang kesulitan menenangkan sang putra. Sebastian berulang kali menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Ayolah, Ellio. Jangan seperti ini. Bukankah Ellio sekarang sudah besar?”
Ellio memukulkan dua tangannya bergantian ke lantai. Sementara kedua kaki anak itu terus bergerak seolah sedang menghalau sesuatu yang mendekat.
“Papa meninggalkan Mommy.”
“Dia bukan mommy Ellio. Dia miss Louisa. Guru piano di sekolah Ellio.” Sebastian yang masih berjongkok dengan satu lutut tertumpu ke lantai itu, mencoba menjelaskan kepada sang putra. Dia tidak mungkin menikahi putri dari musuh bisnisnya.
Sebastian mengacak rambutnya yang sudah tidak lagi tertata rapi, ketika Ellio kembali meraung memanggil-manggil nama gurunya.
“Ada apa ini? Kenapa dengan cucu grandma?”
“Papa meninggalkan mommy Ellio, grandma.” Ellio mengadu. Wajah anak itu sudah basah. Ujung hidungnya merah. Ellio mendongak dengan mata berkaca-kaca.
“Mommy Ellio?” tanya ibu Sebastian dengan kerut di kening yang semakin terlihat banyak. Wanita yang sudah tidak lagi muda itu menurunkan tubuh, lalu berlutut di samping cucunya. “Siapa mommy Ellio?” tanya wanita itu.
“Mommy Louisa. Mommy Louisa, Grandma. Mommy Louisa ... mommy Ellio!” Anak itu kembali berteriak.
Ibu sebastian memutar kepala ke arah sang putra dengan sorot mata bertanya. “Siapa mommy Louisa?”
Sebastian menghentak keras karbondioksida dari celah dua bibir yang terbuka.
“Teman kencanmu yang baru? Sudah ganti lagi? Tidak dengan Miranda lagi?”
“Bukan, Ma. Dia guru Ellio di sekolah.”
Sepasang alis nenek Ellio bergerak, hingga ujung-ujung bagian dalamnya nyaris bertabrakan. “Guru Ellio?” Melihat anggukan kepala sang putra, wanita itu menambahkan. “Kalau begitu, ayo kita lamar dia. Ellio mau wanita itu yang jadi ibunya. Lupakan Miranda. Mama juga tidak menyukai wanita matrealistis itu.” Wanita tua itu berdecih. “Dia hanya menginginkan kamu dan hartamu, tapi tidak dengan Ellio. Memangnya mau kamu kemanakan cucuku?” Bola mata wanita itu membesar.
Sebastian langsung tersedak ludahnya sendiri. Pria itu meringis saat mendengar suara tangis Ellio yang semakin keras.
“Mommy Louis. Ellio mau mommy Louis!”
Sekali lagi Sebastian menghentak karbondioksida dari mulutnya. Kepala pria 37 tahun itu bergerak ke kanan kiri. “Mama carikan perempuan dengan nama Louisa saja. Aku akan menikahinya. Tapi bukan guru Ellio. Aku tidak bisa.”
“Hah? Apa maksudmu?” tanya ibu Sebastian bingung.
Sementara Sebastian sudah memaksa mengangkat tubuh Ellio, sekalipun anak itu berusaha menolak. Sebastian berdiri diikuti ibunya yang beranjak dengan sedikit kesusahan.
“Ellio mau mommy Louisa, bukan?” Sebastian bertanya yang langsung diangguki oleh anak yang masih menangis tersebut. “Sekarang Ellio jangan menangis lagi. Grandma akan mencarikan Ellio mommy Louisa.”
“Sebastian … apa maksudmu?” Wanita tua itu mengikuti sang putra yang sudah melewati ambang pintu—berjalan masuk ke dalam rumah.
“Mama tolong carikan perempuan bernama Louisa. Yang penting namanya Louisa, Ma. Dan bawa dia ke sini.”
Wanita yang sudah berusia hampir 70 tahun, tapi masih memiliki badan sehat itu menghentikan langkah kakinya. Nyaris saja dia lupa jika harus segera pergi sebelum lelang dimulai.
“Aneh.” Wanita itu memutar langkah, lalu kembali mengayun sepasang kakinya keluar rumah. Mobil sudah siap dengan pintu bagian penumpang terbuka. Wanita itu kemudian bergegas masuk ke dalamnya. Dia akan memikirkan permintaan aneh putranya itu nanti.
***
Sebastian membawa sang putra ke kamarnya. Pria itu mendorong daun pintu dengan bahunya, lalu melangkah masuk.
“Apa tuan muda Ellio membutuhkan sesuatu, Tuan?” tanya perempuan yang sudah satu tahun bekerja menjadi pengasuh Ellio. Dia adalah wanita yang kesekian kali, yang Sebastian pekerjakan untuk menemani Ellio. Sudah lebih dari 10 orang yang mengundurkan diri karena tidak bisa menangani Ellio ketika sedang tantrum seperti saat ini.
Sebastian menggeleng. “Tinggalkan kami. Istirahatlah. Jangan mendekati Ellio kalau kamu belum benar-benar sembuh. Aku akan menenangkan Ellio.”
“Baik, Tuan.” Perempuan itu kemudian undur diri dan keluar dari dalam kamar sang tuan muda.
“Lima dikali lima?”
“Dua puluh lima.” Ellio menjawab dengan cepat.
“Seratus dua puluh lima dikali dua puluh dibagi sepuluh?”
“Dua ratus lima puluh.” Lalu Ellio kembali menangis. “Huaaaa!”
Sebastian terkekeh pelan. Pria itu kembali memberikan pertanyaan dalam hal hitung menghitung yang akan Ellio jawab dengan cepat. Sebastian tidak memberi jeda pada Ellio untuk menangis. Pria itu dengan cepat kembali memberi pertanyaan, begitu Ellio selesai menjawab—hingga akhirnya Ellio lupa pada tangisnya.
***
“Ayo … sepertinya lelang sudah akan dimulai.” Casandra menarik sebelah tengan sang putri. Sementara sang sopir yang juga diperintah untuk turun dari mobil itu, membawa dua lukisan milik Louisa.
“Wah … sudah ramai.” Casandra mengedarkan matanya. Masih sambil mengayun langkah masuk ke dalam ballroom hotel yang digunakan oleh pihak penyelengga, untuk mengadakan lelang—wanita itu melongok mencari seseorang yang dikenalnya.
“Nyonya Casandra Reed?”
Casandra serta Louisa menoleh bersamaan. Seorang perempuan paruh baya dengan penampilan elegan, berjalan anggun menghampiri mereka.
“Maaf, apa kami terlambat?” tanya Casandra. Ruangan tersebut sudah dipenuhi oleh kaum sosialita sepertinya.
“Oh … belum. Hampir saja sebenarnya. Lima menit lagi acara akan dimulai.”
“Syukurlah.” Casandra menghembuskan napas lega. Wanita itu kemudian memutar kepala ke belakang. “Ini lukisan yang kemasin aku bicarakan. Lukisan hasil karya putriku. Louisa Reed.”
“Wah … ini yang ditunggu-tunggu. Baiklah, silahkan nikmati acaranya. Saya akan ambil lukisan berharga ini.” Wanita itu tersenyum pada Casandra, sebelum memutar kepala ke samping. “Ternyata nona Louisa lebih cantik saat dilihat secara langsung seperti ini.”
Louisa tersenyum lebar. “Terima kasih. Oh ya, apa aku boleh memainkan piano di acara ini?”
“Piano?”
Louisa mengangguk keras. Dia selalu suka ketika duduk di belakang tut-tut itu. Sepasang bibir wanita itu melengkung ke atas dengan mata berbinar senang.
“Tentu saja. Saya rasa ini bisa cari lelang yang berbeda. Saya akan melelang satu penampilan anda. Bagaimana?”
Louisa ikut tertawa ketika sang penyelenggara lelang tertawa. Wanita itu mengangguk setuju.
“Baiklah. Saya tinggal dulu, acara akan segera dimulai.”
Casandra serta Louisa mengangguk. Keduanya mengikuti pergerakan wanita itu menjauh dengan sepasang mata mereka. Sopir keluarga Reed berjalan mengikuti sang penyelenggara lelang dengan membawa dua lukisan di tangannya.
“Ayo kita cari tempat kita.” Casandra kemudian meraih sebelah tangan sang putri, lalu mengajak putrinya itu mencari tempat duduk yang sudah disiapkan dengan namanya. Baru beberapa langkah, seorang wanita dengan seragam menghampiri mereka dengan langkah cepat.
"Nyonya Reed ... mari saya antar ke meja anda."
***
“Kita sudah sampai, Nyonya.”
Wanita yang duduk di kursi penumpang belakang itu kemudian mendorong pintu, lalu bergegas keluar. Dia sudah terlambat dua puluh menit.
“Aku benar-benar terlambat.” Wanita itu melangkah lebih cepat. Masuk ke dalam ruangan, seorang petugas menghampiri, lalu menanyakan kartu undangannya. Wanita itu memberikan kartu undangan yang sudah dia siapkan sedari masih di dalam mobil.
“Mari ikut dengan saya.”
“Sudah berapa barang yang dilelang?” tanya wanita itu pada sang petugas.
“Tiga, Nyonya.”
“Oh … syukurlah. Seharusnya masih banyak yang tersisa.” Ayunan kaki wanita itu berhenti di sebuah meja yang sudah terisi tiga orang. Wanita itu menyapa ketiga perempuan yang sudah dikenalnya dengan baik.
“Kamu terlambat.”
“Iya … akhir-akhir ini ingatanku semakin buruk. Aku hampir lupa hari ini ada lelang.”
Obrolan beberapa orang itu terhenti ketika pembawa acara menyebut satu benda yang akan kembali di lelang.
“Yang ini adalah lukisan dari seniman muda bertalenta kita. Nona Louisa Reed.”
Wanita yang baru saja duduk di kursinya itu, terbelalak ketika mendengar nama pemilik lukisan yang hendak di lelang.
“Siapa tadi namanya? Apa kali ini fungsi telingaku juga sudah menurun? Kenapa aku mendengar nama Louisa? Nama mommy yang diminta oleh Ellio.”
“Kamu tidak salah mendengar. Pemilik lukisan itu memang bernama Louisa—” belum selesai menjelaskan, seorang perempuan yang duduk bersama nenek Ellio itu mengerjap begitu sang teman sudah langsung mengangkat papan penawarannya.
“Aku akan membeli lukisan itu.”