MPE Bab 6

1647 Words
“Lelangnya kita buka di angka lima ratus dollar. Baiklah, meja nomor 9!” Sang pembawa acara bersuara. “Ada lagi? Enam ratus dollar?” Pria yang bertugas untuk menjalankan acara lelang itu mengedarkan mata. “Ah, oke … meja nomor 4! Kita naikkan lagi. Tujuh ratus dollar!” “Seribu dollar!” Louisa dengan cepat menoleh ke arah datangnya suara. Sepasang mata wanita muda itu mengerjap. Beberapa detik berikutnya Louisa mendesah. “Sepertinya dia masih belum menyerah.” Casandra yang sudah ikut memutar kepala ke arah suara berat yang baru saja terdengar, menepuk pelan lengan sang putri sambil tersenyum. “Bagaimana dia bisa ada di sini?” tanya Louisa dengan nada mengeluh. “Dia menemani ibunya.” Casandra mengedik kepala ke arah wanita seusianya yang duduk satu meja dengan David. “David anak yang baik. Sayang pada orang tuanya.” Louisa kemudian berdecak. “Tapi sayang, matanya suka jelalatan.” Lalu Louisa mencondongkan tubuh—mengikis jarak dengan sang ibu. “Dan tidak bisa menahan kemaluannya.” Louisa menatap sang ibu dengan wajah horor. “Dia sudah dewasa, Louis.” Sang ibu menyahut singkat. Wanita itu kembali menoleh ke arah pria yang pernah menjadi kekasih putrinya. Casandra mendesah. “Seribu lima ratus!” Mulut Louisa menganga begitu mendengar lukisannya ditawar dengan harga lebih dari seribu dollar. Siapalah dia? Dia bukan seniman terkenal. Louisa memutar kepala. Buru-buru wanita itu menutup mulut yang menganga, lalu mengangguk kecil sambil tersenyum ketika bertemu tatap dengan sang penawar lukisannya. Bukan! Tentu saja bukan David. Dia tidak akan tersenyum jika itu David. “Siapa wanita tua itu, Ma?” tanya pelan Louisa. “Dia nyonya Arkane. Salah satu keluarga kaya di kota kita.” “Oh ….” Kepala Louisa bergerak turun naik beberapa kali. “Dua ribu dollar!” “Sepertinya David ingin sekali mendapatkan lukisanmu.” Casandra mencondongkan tubuh ke samping, lalu menyenggol bahu sang putri dengan lengannya. Sepasang mata wanita itu mengecil ketika sang pemilik tersenyum. Louisa berdecih. Dia tidak berharap lukisannya jatuh di tangan David. “Apa kita juga boleh ikut membidik, Ma?” tanya Louisa. Dia akan mempertahankan lukisan itu dari David. “Tentu saja tidak boleh. Nanti, kamu boleh ikut membidik untuk barang lain, yang bukan punya kita.” “Aku tidak mau lukisanku jatuh ke tangan playboy itu.” “Sepertinya kamu punya idola baru.” Lalu Casandra meminta sang putri untuk mengikuti arah pandangnya. Louisa menurut. Wanita muda tersebut mengikuti ke mana ibunya sedang menatap. Dan Louisa harus kembali menganga ketika melihat wanita tua yang sebelumnya sudah membidik, kini mengangkat papan bidikannya--lagi. “Lima ribu dollar.” Suara riuh terdengar di dalam ruangan tersebut ketika mendengar seseorang membidik sebuah lukisan dengan harga lima ribu dollar. Sementara sang pemilik lukisan, terbatuk. Louisa memukul pelan dadanya. Oh … kalau lukisannya bisa laku dengan harga setinggi itu, mungkin dia akan menjadi pelukis saja. Dia bisa membiayai hidupnya dengan hasil lukisannya. “Ada lagi? Tuan … mau ditambah?” Sang pembawa acara menawarkan pada David. David sudah akan mengangkat papan bidiknya, sebelum sang ibu menarik tangan pria itu. “Ada lagi yang akan membeli dengan harga lebih dari lima ribu dollar?” Pembawa acara kembali menawarkan sambil pandangan matanya menyapu sekitar—memperhatikan jika ada yang mengangkat papan penawaran mereka. “Tidak ada? Sudah? Lima ribu dollar?” Pria itu mengangkat palu di tangan kanannya, lalu memukul ke atas meja serupa mimbar. ‘TOK! TOK! TOK!’ “Lukisan gadis cantik di taman bunga, jatuh ke tangan nyonya di meja 9. Selamat!” Louisa menghembuskan napas lega. Lukisannya tidak jatuh di tangan mantan kekasih yang sudah dia buang ke laut. *** Sebastian menatap wajah Ellio yang sedang tertidur, setelah anak itu berhenti menangis. Pria itu menghela napas panjang. Sebastian mengusap keningnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Bagaimana jika nanti Ellio bangun, dan kembali mengingat tentang perempuan bernama Louisa itu? Sebastian menatap lekat wajah tenang Ellio. Putranya yang terlahir dengan kekurangan. Meskipun begitu, Sebastian menyayangi Ellio lebih dari dirinya sendiri. Ellio adalah hidupnya. Peninggalan sang istri yang harus meregang nyawa karena kanker. “Seandanya saja kamu masih ada, Lane.” Pria itu menggumam dengan sepasang mata yang masih menatap wajah tampan sang putra. “Ellio pasti tidak akan seperti sekarang. Kamu pasti akan menghujaninya dengan kasih sayang. Ellio akan tumbuh tanpa kekurangan cinta. Bukankah begitu?” Sebelah tangan pria itu bergerak mengusap pipi sang putra. Kedua sudut bibir Sebastian tertarik ketika sang putra melenguh. “Mommy.” Sebastian mengerjap. Senyum di wajah pria itu seketika menghilang. Dalam tidurpun Ellio masih memanggil mommy. Celaka. Jika dalam alam bawah sadar saja Ellio masih mengingat perempuan itu, artinya dia akan menghadapi masalah setelah dua mata putranya tersebut terbuka. Sebastian meringis. Pria itu kemudian beranjak dari tepi ranjang. Menatap sesaat wajah sang putra sekali lagi, Sebastian kemudian melangkah keluar dari kamar Ellio. Pria yang masih memakai setelan jas nya tersebut, memasukkan satu tangan ke saku bagian dalam jas, lalu mengeluarkan benda persegi pipih yang memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah untuk tersambung dengan orang lain, sekalipun mereka berada di belahan bumi yang berbeda. Sebastian menggulir layar ponsel—mencari nama kontak seseorang. Setelah menemukannya, pria itu segera menekan tombol panggil, lalu membawa benda tersebut menempel ke telinga kiri. Langkah sepasang kaki pria itu terhela menuju pintu kamarnya yang berada di sebelah kamar sang putra. “Reynold,” sapa Sebastian setelah mendengar panggilannya tersambung. “Aku butuh bantuanmu.” Sebastian mendorong daun pintu, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Satu tangan yang bebas bergerak mendorong kembali daun pintu hingga tertutup. Langkah kaki Sebastian tertuju ke arah meja kerjanya. “Ayolah, Bastian. Aku sedang berlibur. Jangan menggangguku.” Sebastian langsung berdecak. “Aku tidak akan mengganggumu lagi setelah ini. Kamu bisa menikmati waktumu. Bersenang-senang dengan banyak wanita di situ. Aku hanya minta kamu mencari perempuan dengan nama Louisa. Tapi kamu harus pastikan dia sesuai seleraku.” “Astaga … apa yang terjadi denganmu? Kamu sudah putus dengan Miranda?” “Belum.” “Lalu, untuk apa kamu mencari perempuan bernama Louisa?” “Yang itu untuk Ellio.” “Kamu gila? Ellio masih kecil. Jangan kamu hancurkan pikiran polosnya dengan wanita.” Reynold sudah tidak bisa lagi bersantai. Pria yang sedang menyandar kepala ranjang itu seketika bangkit. Pria itu hanya menoleh saat mendengar tawa renyah perempuan di atas ranjang. “Dengarkan aku, Bastian. Ellio itu semurni—” “Iya aku tahu. Aku juga belum segila itu, Sialan. Maksudku, Ellio ingin punya mommy bernama Louisa. Karena itu aku meminta bantuanmu. Bawa pulang perempuan dengan nama Louisa. Tapi harus sesuai dengan seleraku. Jangan sembarangan. Aku tidak mau rugi.” Reynold akhirnya tertawa setelah mengetahui tujuan sebenarnya sang sahabat mencari perempuan dengan nama Louisa. Tawa pria itu perlahan reda ketika satu pertanyaan menggelitik otaknya. “Memangnya harus yang bernama Louisa?” “Iya. Ellio tidak mau yang lain.” “Dari mana dia mendapatkan nama itu?” “Salah satu gurunya bernama Louisa.” “Kenapa tidak kamu nikahi saja guru itu? Apa dia tidak sesuai seleramu? Kamu tidak bernafsu dengannya?” Sebastian terdiam. Isi di dalam kepalanya langsung berputar—mengorek ingatan tentang wanita muda bernama Louisa. Wajah cantik dan segar wanita muda itu, lalu tubuh dengan tonjolan di beberapa bagian yang begitu pas hingga membuat Sebastian harus menarik napas pelan saat menyusurinya. “Ya … tubuhnya membuatku tidak bernafsu untuk membawanya ke atas ranjang,” bohong Sebastian. Mendengar jawaban Sebastian, Reynold mendesah. “Baiklah, aku akan mencarinya.” *** Louisa tersenyum hingga sepasang matanya mengecil. “Terima kasih sudah membeli lukisan-lukisan saya.” “Tidak masalah. Lukisanmu bagus. Aku menyukainya.” Perempuan yang tidak lain adalah nenek Ellio itu menepuk punggung tangan Louisa yang sedang digenggamnya. Entah takdir apa yang mempertemukannya dengan perempuan dengan nama Louisa. Nama yang diinginkan oleh cucu kesayangannya. Dan wanita itu benar-benar bersyukur, setelah meminta agar bisa bertemu dengan Louisa, lalu melihat seperti apa perempuan tersebut. Masih muda, cantik, dan juga sexy. Dia yakin putranya akan dengan senang hati menikahi wanita ini—Berta membatin senang. “Aku punya permintaan untukmu.” Louisa refleks menarik kedua alisnya ke atas. “Permintaan?” Melihat anggukan kepala wanita dermawan yang membeli dua lukisannya seharga 10 ribu dollar, serta membayar penampilannya memainkan piano seharga 8 ribu dollar, Louisa menggerakkan kepalanya turun naik. “Katakan saja, Nyonya.” Louisa tersenyum. “Aku ingin mengajakmu bertemu keluargaku. Mereka pasti senang bertemu dengan seniman hebat sepertimu.” Sepasang mata Louisa mengerjap cepat. Seniman hebat? Dia? Oh … mulut wanita itu terbuka. Untuk pertama kalinya ada yang mengatakan jika dia seniman hebat. Louisa menurunkan pandangan tatkala merasakan remasan di telapak tangannya. “Mau, ya? Cucuku sedang bersedih. Dia pasti akan senang setelah bertemu denganmu.” “Ah ….” Louisa mengedarkan mata mencari keberadaan ibunya. Wanita kesayangannya itu sedang berbincang dengan beberapa teman sosialitanya. Louisa langsung mengalihkan pandangan kala tak sengaja bertemu tatap dengan David. Tanpa sadar wanita itu berdecih. “Ada apa?” “Oh … maaf.” Louisa nyaris melupakan wanita tua yang masih menggenggam tangannya. “Ada masalah?” “Tidak, Nyonya. Baru saja aku melihat sampah di laut.” Nenek Ellio mengernyit bingung. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan muda di depannya. “Jangan dipikirkan, Nyonya. Bukan hal penting.” Louisa kembali tersenyum. Wanita itu menghembuskan napas samar ketika melihat kepala wanita tua di depannya mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu, bisa kita pergi sekarang, Louisa? Aku sudah tidak sabar mempertemukanmu dengan cucuku.” Sepasang mata wanita tua itu menatap Louisa penuh harap. Ditatap seperti itu, Louisa menjadi tidak tega. “Baiklah, Nyonya. Tapi, aku harus berpamitan pada ibuku lebih dulu. Bisa tunggu sebentar?” tanya Louisa yang kemudian berpamitan setelah mendapat anggukan kepala dari sang lawan bicara. “Ya ampun … beruntung sekali, Bastian,” guman wanita tua itu sambil menatap kepergian Louisa. Wanita itu tersenyum. Dia akan langsung melamar wanita itu, nanti setelah mempertemukannya dengan Sebastian dan Ellio. Tentu saja jika Louisa mau menerima Ellio. Karena baginya, Ellio yang paling penting.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD