Louisa menganga mendengar Ellio memuji ayahnya yang … tua. Dengan mata membesar, Louisa menatap Ellio yang sedang menatapnya dengan wajah polos ala anak-anak. Orang paling tampan nomor dua di dunia, kata Ellio. Oh ... Louisa tidak mempercayainya. Tentu saja dia tidak akan menyangkal yang nomor satu. Ellio memang tampan.
Louisa buru-buru menutup mulut ketika tersadar ada dua pasang mata yang menatap ke arahnya. Wanita itu berdehem, kemudian memutar kepala. Louisa mengalihkan pandangannya dari sepasang mata tajam milik papa Ellio. Netra wanita itu mengedip saat bertemu dengan netra pemilik butik. Louisa mendesah.
“Jangan melihatku seperti itu. Seorang anak pasti akan memuji ayahnya. Semua orang tahu itu.” Lalu Louisa terkekeh. Tangan kanan wanita itu terangkat lalu mengibas. “Kami tidak punya hubungan selain wali murid dan guru. Kamu tahu seleraku.” Louisa melirik Sebastian sepersekian detik, sambil mengangkat tangan kiri untuk menghalangi Sebastian melihat gerakan bibirnya. “Aku tidak suka pria tua,” kata lirih Louisa.
Louisa menggerakkan kepala turun naik seolah menegaskan pada Stephanie jika apa yang dikatakannya benar.
“Jadi … sebenarnya siapa yang akan menikah?” Sang pemilik butik menatap Louisa. Begitu melihat Louisa mengangkat ringan kedua bahunya, Stephanie mengalihkan tatapan pada Sebastian.
Sebastian yang sadar kemana arah tatapan Stephanie, membuka mulutnya. “Tidak ada. Kami hanya kesasar sampai ke tempat ini.” Lalu Sebastian menghampiri putranya. Pria itu langsung mengangkat tubuh Ellio, kemudian berjalan meninggalkan Stephanie yang menatap dengan wajah bingung.
Louisa menggaruk kepalanya sambil meringis ketika pemilik butik sudah memutar kepala ke arahnya. “Jangan bertanya padaku. Orang tua itu yang bilang kalau kami kesasar. Sudah dulu, ya. Aku pergi. Bye.”
Stephanie menatap tidak percaya punggung Louisa yang sudah menjauh. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kesasar? Aneh,” ujar Stephanie sebelum memutar tubuh, lalu berjalan kembali ke meja kerjanya.
“Papa … tunggu Mommy.” Ellio yang berada dalam rengkuhan kedua lengan sang ayah memukul bahu ayahnya. Sepasang mata anak itu mencari keberadaan Louisa.
Sementara Louisa sengaja menyembunyikan diri di balik rombongan beberapa gadis yang sedang berjalan bersama. Astaga … mimpi apa dia semalam, sampai dipanggil mommy oleh muridnya. Oh … Louisa mengibaskan tangan ke wajahnya yang terasa panas. Sepertinya dia harus pergi ke salon.
Louisa memutar kepala, lalu berjalan cepat menuju lift. Dia akan pergi ke salon di lantai 5 gedung perbelanjaan tersebut. Louisa baru benar-benar merasa lega setelah masuk ke dalam kotak besi. Wanita itu menarik, lalu menghembuskan napasnya.
Sementara Sebastian menahan tubuh Ellio yang mulai meronta. Seperti biasa, Ellio akan tantrum ketika keinginannya tidak tercapai.
“Ellio mau Mommy Louis. Mommy Louisa, Papa!”
Sebastian menahan ringisan ketika kepalanya terasa nyeri. Ellio menjambak rambutnya. Pria itu terus berjalan keluar dari tempat perbelanjaan tersebut. Tidak Sebastian hiraukan tatapan orang-orang yang melihat Ellio sedang tantrum. Sudah biasa.
Alex—tangan kanan Sebastian yang sedang berdiri di luar gedung perbelanjaan terkejut ketika mendengar suara Ellio menangis. Pria itu dengan cepat berlari ke arah mobilnya terparkir. Beruntung sang bos memiliki parkiran tersendiri di tempat tersebut—tepat di depan gedung.
“Mommy Louisa, Papa!” Ellio terus memukul, atau menjambak rambut sang ayah. Anak itu menangis hingga wajahnya basah. Sementara sang ayah hanya diam seribu bahasa.
Sebastian mengatur napas. Biasanya dia bisa dengan mudah mengendalikan Ellio yang sedang tantrum. Biasanya, hanya dengan dipeluk, Ellio bisa perlahan menjadi tenang. Namun, kali ini dia tidak berhasil memberikan ketenangan pada sang putra. Entah apa yang sudah perempuan itu lakukan pada Ellio, hingga putranya ini begitu menginginkannya.
Sebastian berdiri menunggu hingga mobil yang dikendarai Alex berhenti di depannya, kemudian Alex keluar. Pria itu berlari memutari setengah badan mobil, lalu membuka pintu penumpang belakang.
Sebastian membawa paksa Ellio yang masih meronta—masuk ke dalam mobil. Pria itu mengikuti, lalu kembali mendekap sang putra erat-erat, sementara Ellio masih menangis.
“Mommy Louis … Mommy Louis … Mommy Louis.” Suara Ellio berubah serak saat tangis anak itu berubah menjadi isak tertahan.
Sebastian mengusap punggung putranya—mencoba memberikan sang putra ketenangan.
Mobil melaju. Sebastian memutar kepala. Dia tidak melihat keberadaan wanita itu. Ah, sial. Kenapa Ellio harus menyukai perempuan yang ternyata adalah anak pesaing bisnisnya? Awalnya dia sudah tidak peduli. Jika memang Ellio menginginkan wanita itu menjadi Mommy nya, maka Sebastian akan menikahi perempuan itu. Sayang, perempuan itu bukan perempuan yang ingin dia sentuh.
***
Louisa berjalan memasuki sebuah salon ternama. Wanita itu mengedarkan mata mencari sang pemilik yang tidak terlihat. Louisa melanjutkan ayunan kakinya.
“Aldo!”
Louisa mengerjap saat beberapa pasang mata langsung terarah padanya. Dia lupa. Baru saja dia berteriak, hingga membuat perhatian orang otomatis teralih. Wanita itu berdehem sambil mempercepat langkah menghampiri seorang pria dengan dandanan nyentrik dan rambut yang disemir warna hijau.
“Nona Reed … apa kamu lupa kalau ada salon terkenal di sini?” sinis pria bernama Aldo, setelah melihat siapa yang baru saja datang ke salon miliknya.
“Itu salahmu sendiri. Anak buahmu salah memotong rambutku.” Louisa menyahut. Dia tentu saja paham maksud kalimat sinis Aldo. Dia memang sudah lama tidak mengunjungi salon tersebut karena kesal lantaran hasil potongan salah satu barber di salon milik Aldo, membuatnya jadi bahan tertawaan teman-teman kampusnya waktu itu.
“Mana orang itu?” Louisa memutar kepala mencari keberadaan seseorang. “Aku masih mengingat wajahnya. Aku tidak mau dia yang memotong rambutku kali ini.”
“Aku sudah memecatnya. Jangan khawatir. Aku sendiri yang akan mengurusmu. Ayo,” ajak Aldo yang sudah melupakan rasa kesalnya.
Louisa berjalan mengikuti Aldo masih sambil mengedarkan mata—seolah tidak mempercayai apa yang Aldo katakan jika pria itu sudah memecat si barber sialan yang membuatnya terlihat seperti badut.
“Katakan, kamu ingin potongan rambut yang seperti apa?” tanya Aldo yang sudah berdiri di belakang kursi. Pria itu memutar punggung kursi yang kemudian ditempati oleh Louisa.
“Aku tidak tahu. Kamu harus membuatku terlihat sesuai umurku. Ngomong-omong, aku baru saja berumur 22 tahun hari ini.”
Gerakan tangan Aldo menyibak rambut Louisa berhenti. “Hari ini?” Melihat anggukan kepala Louisa dari pantulan kaca besar di depan mereka, Aldo kembali membuka sepasang bibirnya. “Kalau begitu, selamat ulang tahun. Aku akan memberimu diskon untuk hadiah ulang tahun.”
Louisa terkekeh mendengar apa yang Aldo janjikan. Louisa mengibas tangan sambil membalas tatapan Aldo dari kaca di depannya. “Tidak perlu memberiku diskon, Aldo. Berikan saja aku tenggang waktu untuk membayar.”
“Maksudmu?” tanya Aldo dengan kening berkerut. Dia jelas tahu siapa perempuan yang duduk di depannya ini. Putri seorang pengusaha kaya raya di kota mereka. Untuk apa Louisa membutuhkan tenggang waktu untuk membayar?
“Aku sekarang sedang miskin. Lihat saja … aku tidak membawa apa-apa. Aku tidak akan bisa membayarmu sekarang.”
“Memangnya apa yang terjadi? Kamu kecopetan?” tanya Aldo ingin tahu. Pria itu melanjutkan pekerjaannya.
“Tidak. Aku tadi buru-buru sampai melupakan tasku.”
“Astaga.”
“Sudahlah. Pokoknya aku pasti akan membayarmu. Hari ini aku hutang dulu. Sekarang … buat tampilanku muda. Semuda usiaku yang baru 22 tahun.” Louisa mengulang permintaannya. Wanita itu menatap wajahnya sendiri. Sepasang alis Louisa berkerut. Menurutnya, dia masih terlihat muda. Tapi, kenapa Ellio memanggilnya Mommy seolah dia ini sudah tua? Setua ayah anak itu.
Louisa menekuk bibirnya. Dia masih tidak mengerti.
“Memangnya ada yang mengatakan penampilanmu lebih tua dari usiamu yang baru 22 tahun hari ini?” Aldo memperhatikan dengan seksama wajah pelanggannya. Louisa jelas memiliki wajah yang super terawat. Bahkan menurutnya, Louisa masih pantas menjadi siswa SMA. “Tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Tapi aku akan sedikit merapikan rambutmu.”
“Benar, bukan? Aku juga bingung.” Louisa menggerakkan wajahnya ke kanan, lalu ke kiri sambil memperhatikan dari dalam cermin. “Tapi kenapa anak itu memanggilku mommy?”
“Hah?” Sepasang mata Aldo menyipit.
Louisa menggerakkan kepala turun naik. “Makanya aku berpikir apa penampilanku terlihat tua? aku tidak mau dipanggil mommy. Itu menjatuhkan pasaranku. Pokoknya kamu harus membuatku terlihat muda supaya Ellio tidak lagi memanggilku Mommy Louisa, tapi … Miss. Miss Louisa. Aku seorang guru.” Louisa menyebut profesinya dengan bangga. Wanita itu tersenyum pada dirinya sendiri.
"Siapa Ellio?"
"Oh ... anak kecil tampan yang menggemaskan tapi juga menyebalkan karena terus saja memanggilku mommy."
"Mungkin dia ingin menjodohkanmu dengan ayahnya. Apa ayahnya duda? Jangan sampai kamu dijadikan istri kedua, Louisa. Selidiki dulu. Apa dia tampan?"
Louisa mendelik mendengar kalimat sepanjang rel nyaris tanpa jeda yang baru saja Aldo ucapkan. Dan yang semakin membuat bola matanya ingin meloncat keluar dari kelopaknya adalah pertanyaan terakhir Aldo. Tampan?
"Dia ... tua."