MPE Bab 3

1363 Words
Louisa berakhir duduk di dalam mobil bersama Ellio dan pria yang kemudian dia ketahui sebagai ayah Ellio. Bukan pengawal Ellio seperti yang dia perkirakan di awal. Jangan salahkan dia, karena perawakan dan wajah ayah Ellio—sekalipun harus dia akui lumayan tampan, lebih pantas menjadi seorang pengawal. “Mommy … Ellio mengantuk.” Louisa menoleh ke samping. Wanita itu meringis ketika Ellio sudah menarik ke atas kakinya, lalu membaringkan tubuh dengan kepala berada di atas pahanya. Sepasang mata wanita itu mengedip kala bertemu tatap dengan manik coklat bening sang murid. Louisa berhedem pelan. “Ellio sayang, ingat ya … panggilnya Miss.” Louisa menekan kata terakhirnya. “Miss … Louis.” Wanita itu menegaskan. Dia tahu tidak bisa langsung memaksa anak kecil ini, apalagi marah-marah lantaran Ellio terus saja memanggilnya mommy. Dia harus memberitahu secara perlahan. Louisa mendesah saat melihat gelengan kepala Ellio, sesaat sebelum anak itu menutup sepasang kelopak matanya. Sabar Louisa … sabar, batin wanita itu menenangkan dirinya sendiri. Anak seperti Ellio ini harus diperlakukan dengan sangat spesial. Mereka memiliki hati yang begitu lembut, hingga tidak bisa diperlakukan dengan keras. Louisa mengingat apa yang dijelaskan oleh sahabatnya—Meredith, sebelum dia bergabung di sekolah tempat wanita itu mengajar. Sebastian menggulir bola matanya ke spion tengah. Sepasang mata pria itu menatap seseorang yang tidak sadar jika sedang ia perhatikan. Sepasang mata pria itu menyipit ketika melihat wanita yang duduk dengan memangku sang putra—mengusap pelan kepala putranya. Tangan Sebastian terangkat—mengusap hidungnya. Pria itu kemudian menoleh ke samping. “Kita ke butik,” perintah pria itu pada seseorang yang duduk di belakang kemudi. Begitu melihat anggukan kepala pria tersebut, satu sudut bibir Sebastian terangkat. Louisa menatap bingung ketika mobil berbelok masuk ke sebuah tempat perbelanjaan. Salah satu dinding kaca di bagian depan memiliki tulisan 'butik pakaian pengantin'. Untuk apa mereka ke tempat itu? Apa papa Ellio ingin membeli sesuatu terlebih dahulu? Batin bertanya Louisa. “Ayo turun,” perintah Sebastian setelah mobil berhenti di depan pintu masuk. “Untuk apa turun?” tanya Louisa sambil membalas tatapan pria di depan yang sudah memutar kepala ke belakang. Satu alis Sebastian terangkat dengan sendirinya. “Untuk apa? Tentu saja untuk mencari gaun pengantin. Apa kamu tidak bisa membaca tulisan sebesar itu?” Sebastian mengedik ke arah butik. Dengan kening berkerut Louisa berkata, “Turun saja kalau kamu mau turun. Aku tidak butuh baju pengantin.” Louisa mengangkat ringan dua bahunya. Sebastian menahan geraman. Memutar kepala ke depan, pria itu melepas seat belt, lalu mendorong daun pintu. Sementara Louisa dengan santai menyandarkan punggungnya. Louisa tersentak ketika pintu di sampingnya terbuka, lalu kepala Sebastian menyembul ke dalam. “Ayo keluar. Apa kamu ingin telanjang di hari pernikahanmu?” “Aa-apa?” Sepasang mata Louisa membesar. Wanita itu mengutuk ayah Ellio dalam hati. “Hei … aduh. Tunggu.” Louisa menarik tangannya ketika Sebastian memaksanya untuk turun. Dengan kesal akhirnya Louisa mengangkat kepala Ellio, lalu meletakkan pelan ke kursi. Membiarkan anak itu tetap tidur, lalu dia keluar. Menutup pelan daun pintu, Louisa baru akan membuka mulut untuk mengomel sebelum urung, saat tangannya sudah tertarik keras. Wanita itu bahkan sedikit kesulitan menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh sambil mengikuti tarikan ayah Ellio. “Apa-apaan anda, Tuan. Ini kekerasan. Saya bisa melaporkan anda.” Sebastian tidak menggubris ancaman Louisa. Pria itu terus menarik tangan Louisa hingga keduanya masuk ke dalam tempat perbelanjaan. Sebastian memutar langkah menuju tempat yang berada di bagian depan bangunan tersebut. Sebuah tempat yang menjual berbagai model gaun pengantin, dan gaun malam. Sebastian mendorong pintu kaca dengan satu tangan yang bebas sementara satu tangan lain masih menarik pergelangan tangan Louisa. “Sebastian?” Seorang wanita dengan dres ketat sepanjang setengah paha, berjalan cepat menghampiri. Wanita itu menatap bingung seorang perempuan muda yang datang bersama pria yang dia kenal dengan baik. “Louisa?” Kini gantian Sebastian yang bingung menatap perempuan yang tidak lain adalah mantan teman kencannya. “Kalian saling kenal?” tanya pria itu dengan kening yang sudah berlipat. “Tentu saja. Aku kenal banyak keluarga pengusaha kaya di sini. Bukan hanya kamu.” Sontak Sebastian langsung menoleh ke samping. Pria itu memperhatikan perempuan yang berdiri di dekatnya. Lipatan di kening pria itu bertambah banyak. “Jadi, ada apa kalian berdua datang ke sini? Tidak mungkin kalian berdua datang sebagai pasangan, bukan?” Stephanie menatap dua tamunya bergantian. “Pasangan apa?” Louisa langsung melotot. Sementara Sebastian masih terlihat bingung. Dalam hati bertanya siapa Louisa sampai Stephanie mengenalnya? “Aku dengar dari nyonya Reed kalau kamu tidak mau melanjutkan kuliah. Katanya kamu lebih memilih untuk menikah.” Stephanie memicing. “Tapi aku tidak percaya kalau pilihanmu duda beranak satu ini.” “Jangan bicara sembarangan. Siapa yang mau menikah dengan duda? Ya, ampun. Aku masih muda. Aku bisa mendapatkan pria tampan yang masih single di luar sana.” Stephanie tertawa. “Kupikir seleramu berubah. Pacar terakhirmu itu apa kabar?” “Ke laut,” saut kesal Louisa. Stephanie kembali tertawa. “Jadi, apa yang bisa kubantu sekarang? Kenapa kalian datang berdua?” “Mommy!” Tiga orang yang sedang berdiri berhadapan tersebut sontak menoleh ke arah datangnya suara. Ellio berjalan masuk dengan wajah bangun tidurnya. Bocah enam tahun itu menekuk wajahnya—terlihat kesal. “Ellio?” Stephanie bergegas melangkah menghampiri Ellio. “Apa sekarang Ellio mau bermain dengan Mommy Stephi?” Wanita itu sudah menurunkan tubuhnya. Stephanie menatap Ellio dengan senyum lebar. Sementara yang ditatap justru mengernyit. “Ellio tidak suka Onty.” “Onty? Tadi Ellio panggil Mommy.” Ellio memutar kepala, lalu jari telunjuk kanan anak kecil itu terangkat. “Yang itu Mommy Ellio. Mommy Louisa.” Sepasang bola mata Stephanie langsung membesar seketika. Menegakkan kembali tubuhnya, wanita itu berbalik. Sementara Ellio sudah berlari, lalu menabruk kaki Louisa. “Ellio mencari Mommy.” Louisa menelan salivanya. Wanita itu menarik napas pelan-pelan sambil mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap tenang. Mungkin saat ini Ellio sedang berhalusinasi melihat sang ibu kandung dalam dirinya. “Sebastian,” panggil Stephanie. “Jadi benar, kamu memilih Louisa? Apa karena dia putri tuan Reed?” “Tuan Reed siapa yang kamu bicarakan?” “Tuan Reed siapa? Tentu saja Adam Reed, ayah kandung Louisa.” Bola mata Sebastian membesar seketika. Pria itu menggeser fokus mata pada seorang gadis yang sedang dipeluk oleh Ellio. Jadi, perempuan itu anak Adam Reed? Sungguh … Sebastian tidak menduganya. Dia pikir, Louisa hanya seorang gadis biasa yang bekerja di sekolah putranya untuk bisa mendapatkan uang. Untuk apa perempuan itu bekerja di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus? “Ada apa?” tanya Louisa saat menoleh dan melihat cara Sebastian menatapnya. “Kamu baru tahu kalau aku putri Adam Reed?” Louisa berdecak pelan. “Aku tersanjung. Ternyata masih ada yang tidak mengenalku. Aku senang.” Lalu wanita muda itu tertawa. “Mommy … ayo kita pulang.” Oh … Louisa melupakan masalahnya. Bagaimana cara melepaskan diri dari Ellio si bocah menggemaskan sekaligus menjengkelkan ini? “Ellio … tolong berhenti memanggilku Mommy. Kamu membuatku terlihat tua. Coba lihat wajah Miss Louisa baik-baik.” Louisa menurunkan tubuhnya. “Lihat, kan? Miss Louisa masih muda, so … jangan panggil Miss Louisa Mommy. Kamu akan membuat pria-pria tampan itu menjauh dariku.” Louisa mengedik ke arah luar butik. Beberapa pria yang sedang berjalan melintas—menoleh ke arahnya. Sementara Sebastian sedang sibuk dengan ponselnya. Dia tahu Adam Reed memiliki seorang anak. Tapi, dia tidak pernah melihat anak itu. Jari-jari Alonzo bergerak mengetikkan nama Adam Reed, lalu menggulir layar. Menemukan apa yang dicarinya, pria itu menekan satu artikel yang membahas tentang keluarga saingan bisnisnya tersebut. Dan betapa terkejutnya Sebastian ketika melihat gambar seorang perempuan yang benar-benar sama seperti perempuan yang sedang berbicara dengan putranya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Tidak mungkin dia menikahi anak dari pesaing bisnisnya. Tapi, bagaimana dengan Ellio? Sebastian jelas tahu jika Ellio sulit dikendalikan. Anak itu akan terus mengejar ketika menginginkan sesuatu. “Papaku lebih tampan dari mereka, Mommy.” Ellio yang sudah mengikuti arah pandang Louisa berucap. Anak itu memutar kembali kepalanya. “Mommy lihat baik-baik.” Ellio menunjuk sang ayah yang berwajah pias setelah mengetahui siapa Louisa sebenarnya. "Papa pria paling tampan nomor dua di dunia." Louisa mengerjap. "Siapa yang nomor satu?" "Ellio." Lalu anak kecil itu tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi rapinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD